Saturday, December 27, 2008

satu lagi selesai

hampir tak terasa, satu lagi selesai. entah berapa yang tersisa. semoga semua tetap menyediakan beragam laksa warna. semoga.

Wednesday, December 10, 2008

di luar hujan. tapi di tempat ini, aku tak pernah tahu bagaimana cuaca di luar. di sini aku selalu membayangkan memiliki sebuah jendela besar, hanya untuk melihat satu-satu titik hujan jatuh, berkumpul menyatu lalu mengalir membentuk lajur-lajur ke bawah. hanya itu. kadang kusadar, banyak kesederhanaan yang demikian memukau.

*bagaimana kau di luar sana?

Wednesday, October 29, 2008

Pasar Gelap

Malam ini aku kembali singgah, setelah sekian lama terhisap dalam rutinitas di pusat kota. Aku selalu suka tempat ini. Bagiku atau kami, tempat ini selalu menyediakan kemungkinan lain dari sekian banyak pilihan di dunia perburuan di luar sana.

Menyediakan pilihan lain, ketika waktu tak berpihak pada kita, dan buruan telah selesai. Kami tak bisa memutar waktu mundur kembali, namun jika toh ada kemungkinan lain, maka disinilah tempatnya mengais.

Di tempat ini, ‘sesuatu yang paling berharga’ di dunia kami ditukarkan. Meski tak diikat akad ataupun akta, hampir serupa persaudaraan rahasia lainnya; setiap yang pernah datang mengambil sesuatu, maka kelak ia akan membawa sesuatu. Tak harus berjanji dan tak ada hukuman sebenarnya, tapi semua tampaknya tetap berjalan dengan ritme dan polanya sendiri.

Di tempat ini, setelah duduk di sofa di depan pintu masuk, aku selalu merasakan temaram cahaya dari bohlam lampu putih. Merasakan sejuk pendingin ruangan, dan dengan senyum yang kurasakan ganjil, aku selalu menyebutnya sebagai ‘Pasar Gelap’.

Inilah pasar gelap, tempat dimana tak ada dosa eksklusifitas. Tidak ada persaingan kejam memburu rating dan meraih peringkat ciptaan setan Nielsen. Peringkat yang menandakan betapa ‘tempat kami’ bekerja pantas bagi para penjual untuk menawarkan jualan mereka–termasuk kemolekan tubuh dan peruntungan nasib. Sistem peringkatan yang membuat ‘tempat kami’ bisa menangguk uang dari iklan yang mereka pasang untuk membujuk mereka yang didera kebingungan.

Entah sampai kapan tempat ini tetap ada. Mungkin selama dunia perburuan itu tetap ada, maka selalu ada tempat serupa ini. Tempat Pulang. Meski sebenarnya ini adalah pilihan terakhir kami para pemburu..

Sunday, October 26, 2008

Kenangan dan Satu Malam di Pasarcidu

Terbuat dari apakah itu Kenangan? Mengapa ia menyerbu dan menyiksaku; saat aku yakin telah membunuhnya dan menguburnya dalam-dalam. Terbuat dari apakah ia? Mengapa ia ternyata tak bisa begitu saja hilang saat telah kuputuskan semuanya sudah selesai.

Aku sadar, “terus berjalan” ternyata tak cukup untuk melupakan semua yang tentram tersimpan di masa silam. Juga labirin yang memerangkap itu ternyata tak musnah meski kuyakin telah kubakar dengan keyakinan bahwa semuanya akan baik-baik saja setelah kita “tetap bernafas” dan ini tak lebih dari sekedar merayakan hidup yang sebentar.

Dini hari, sebelumnya bermula dari secangkir kopi yang lezat*, lalu insomniaku pun kembali meraja, Aku dan Aku lainnya serasa berebut tubuhku untuk Tidur atau Jaga. Kelelahan, pola siklus harian tubuh dan redup cahaya sudah hampir membuat tubuh kurusku lelap dan hilang ke pusaran mimpi.. Namun tak butuh waktu lama Kenangan, Cemas dan semua balatentaranya membuatku kembali terjaga. Mendera dan meliputiku dalam jalinan ingatan yang entah bermula dan berujung dimana-kemana.

Aku terjaga, dan meski tenggorokanku sudah protes, kupikir hanya Philip** dan asapnya yang bisa menemaniku.

Dari teras kamarku akupun tersadar, kalau lansekap atap-atap rumah di sekitar Pasarcidu ternyata membentuk topografi yang cukup cantik. Rumah-rumah yang tumbuh berdempetan,juga atap-atap bangunan dari ruko-ruko orang tionghoa, tiang listrik dengan kabel listrik yang berjejalin rapat-rumit, dan cakrawala dilingkupi kapas awan dan sebaris awan panjang di langit timur..Lampu jalan seperti Kekunang yang diam, terperangkap dalam gerimis yang jatuh satu-satu.

Rumah yang serupa bukit-bukit kecil di padang kota yang luas, melindungi mereka semua yang lelap dan tentram. Adakah di antara mereka yang mungkin saja terbangun karena didera Kenangan. Tapi tak ada yang terjaga di puncak “rumah entah disana” di kejauhan. Hanya gerimis dan lampu jalan.

Terbuat dari apakah Kenangan sebenarnya? Dimanakah ia sebenarnya tersimpan, dan menunggu sebelum menyergap kita? Ah, Kenangan.. Sudah pagi. Selamat Tidur, sampai bertemu di malam entah kapan. Kau pasti sulit datang saat Ramai Hari sudah datang.

*aku selalu menyukai Kafein di bagian ini sebenarnya; selalu membuat mata dan otakku menyala lebih baik. Tapi tidak kusadari kalau sekuat ini, saat berkumpul kembali dengan 3 orang kawan yang akrab di waktu kuliah dulu dan kami memutuskan minum kopi di tempat kami dulu pernah sering bertemu dan menyebutnya dengan istilah “ngantor”. Dan meski tak kubilang semuanya mudah, tapi aku selalu takjub dengan perkawanan kami berempat.

**Rokok buatan Philip Morris Indonesia, Jakarta, dengan merk dagang Marlboro, Kemasan Flip Top Box, isi 20 Batang, Dengan Tulisan besar “MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN”. Ada juga Tulisan tentang kandungan Tar dan Nikotin yang tak kupahami seperti apa bentuknya.

Friday, October 24, 2008

Daeng Saodah dan Yang Wafat

Beberapa pagi yang lalu, selepas sholat subuh. Suara dari pengeras masjid mengumumkan; " Innalillahi wainna ilaihi rojiun....telah berpulang.." Satu lagi seseorang di sekitar Pasarcidu tutup usia. Meski aku selalu terhenyak mendengar suara itu.. kadang kurasakan mereka sebagai orang yang beruntung; dijemput Maut dalam dini hari yang senyap..

Entah mengapa, aku teringat daeng Saodah. Perempuan bertubuh kecil yang mungkin seusia almarhum nenek. Di ingatanku, entah sejak kapan ia mulai menjual kelapa dan beragam hasil lain dari kelapa sampai gula merah, di depan rumah nenek. Diingatanku yang tersisa, saat masih kecil, sebelum aku berangkat ke taman-kanak-kanak, nenekku sering mencelup tangannya ke minyak kelapa yang dijual daeng saodah lalu mengusapnya ke rambutku hingga mengkilap basah. meski kadang wanginya terasa sengak di hidungku yang kecil, aku tak bisa menolak. sering juga uang jajanku diambil dari uang logam di keranjang daeng saodah, kalau saja nenekku tak punya uang kecil.

Aku tiba-tiba mengingatnya saat mendengar pengumuman mencemaskan di pagi buta itu. aku teringat kebiasaan Daeng Saodah, Setiap ada orang yang meninggal, di sekitar pasarcidu, ia pasti selalu hadir untuk bertakziyah dan memberikan sumbangan sekedarnya, meskipun ia sama sekali tak mengenal orang itu. Ia hanya datang mendengar ceramah tentang kematian, ataupun mungkin berbincang sedikit dengan sesiapa yang mungkin saja dikenalnya di tempat itu.

Jika ditanya mengapa ia hadir padahal ia tak mengenal si fulan yang meninggal, ia hanya tersenyum. tak banyak bicara. Ia tak bercerita tentang silaturahmi ataupun "jaringan" yang rumit, apalagi tentang adat ketimuran dan kohesi sosial. Menurutnya sudah seharusnya begitu jika ada yang wafat,tak lebih.

Mungkin ia datang, meski itu sekedar utnuk menunjukkan betapa ada yang hendak mengenang kehidupan seseorang yang berharga. Mengenang sesuatu yang pernah berarti saat semuanya usai. Atau ia hanya datang, mungkin untuk sekedar mengingat maut. Mengingat sesuatu yang diam-diam menunggu waktu kita. Yang Diam menunggu detik dengan presisi yang rasanya tak mungkin bergeser, meski itu sepersekian sekon...

Aku teringat daeng saodah.

Wednesday, October 01, 2008

Lebaran


aku selalu merasa memiliki aku yang lain yang kadang tak kuingini. Kadang kukenali ia sebagai si pahit lidah (sekedar mengingat nama pendekar -kalau tidak salah, dari melayu, yang mampu menjadikan musuhnya menjadi batu). sering aku memakai tanduk dan menjadi jahat. kadang aku menjadi "bom gotri" yang meledak dan menyembur kemana-mana. sering aku menjadi aku,--yang dalam keadaan sadar, sungguh tak kuingini.

betapa kuingin di puasa kali ini, aku bisa membunuhnya; tapi sepertinya mereka masih setia pada aku. mungkin memang iblis tak pernah mati..

aku yang hina ini, kepada semua yang pernah terluka atas semua lakuku yang tak berkenan, semoga tuan sudi memaafkannya. Selamat Lebaran, semoga kita semua diberi kelapangan hati

Sunday, September 14, 2008

Purnama

Semalam Purnama Sempurna. Bundar seperti keping kerang berwarna kuning keperakan. Tergantung di langit, bersinar lembut. Aku terkenang-kenang dongeng tentang bulan dan anak yang terbang ke bulan. Juga Kabayan yang bertemu Nini Anteh. Juga purnama yang dipenuhi Puisi. Membayangkan ada sebuah dunia di luar sana, dunia yang juga memandang kembali ke mataku saat kumemandangnya.

Monday, August 25, 2008

selepas perkawinan seorang kawan di benteng rotterdam

::bz

musik mengalun. mengalir dalam angin yang menyisir dinding-dinding batu yang tegak mengelilingi kita. di bawah sorot lampu kekuningan yang menyepuh setiap wajah serupa emas agar tampak bahagia, aku serasa membaca gurat cemas di dalam matamu, kawanku.

apa yang hendak kau katakan? apa yang kau takutkan? kau khawatir pada usia kita yang terus menetes habis seperti dalam jam pasir? jika hidup rasanya tak berpihak pada pejalan-pejalan seperti kita, apakah kita harus menyalahkan hidup yang fana ini? bukankah kita hanya berebut mengecap yang nisbi?

kawanku, aku tak menyangkal kalau aku kadang bertanya; di dada siapakah bagian rusukku yang lain tertanam, tetapi janganlah terlalu cemas. perempuan itu masih dipingit Tuhan untukmu, dan mungkin juga untukku.

kawanku, setelah malam yang berangin ini, percayalah pada pemilik semesta ini. juga Ia yang memiliki setiap rahasia kita.

ps: v, maafkan, mengapa kau berada di sana; dan anakan rambut di dahimu membutku tertegun..

Friday, August 15, 2008


tabik...

menemukan sajak lama, di timbunan inbox. 14 juli 2006, tapi rasanya sebangun dengan semua yang kualami belakangan ini. maafkan bukan merayakan sakit ini; sekedar membetahkan diri dengan semuanya. --atau mungkin juga aku takut ini hilang entah kemana, padahal berkali-kali saya mencoba menulis sajak kembali, tapi tetap saja betapa sulit mendapatkan lagi kutukan sajak...

dingin terasa tajam, menelusup dalam tulang.
langit putih bersih. bintang kerlip, serupa kedip lilin di kejauhan.
bulan kuning bundar sempurna. angin terasa riuh bertiup tetapi malam terasa
kuncup.

lalu kukenang bundar matamu yang sering berkerjap kekanakan. lurus.
diam dengan senyum yang tertahan mengembang seperti menunggu semesta pecah.

serasa debar. ketika tahu, kau bisa saja lenyap; ketika musim beranjak dan
mungkin saja waktu merentang jarak.
akan kugapaikan tangan kemana, jika saja kau gaib dalam angin.

mungkin memang selalu ada saat; ketika dalam ombak, kita lelah bersikukuh, dan
memutuskan hanyut dalam arus laut.
dan kita tak bisa menampik waktu yang tiba.

serasa hujan dalam hatiku. jarum-jarum dingin terasa kian runcing.

Thursday, August 14, 2008

::

melihatmu menjalani hidup dengan lebih berwarna; membuatku berpikir, jalan ini sepertinya lebih baik buatmu. meski berkali kau coba menampik; kalau selalu ada jalan buat kita berdua; rasanya tak mungkin.

dan jika ini berat dan perih buatku, apalagi yang bisa kulakukan? aku merasa tak punya pilihan lain... saya hanya berharap "lupa" bisa membantuku sedikit mengurangi sakit..

kucing garong

pagi tadi ditubruk sedih. melintas di depan balaikota makassar, melihat ratusan siswa, sebagian besar berseragam pramuka lengkap dengan tongkat kayu panjang. mereka sedang berjingkrak-jingkrak mengikuti irama dangdut bergaya housemusic "kucing garong"... ah, kalau saja guru dan pembina mereka faham kalau lagu itu sebenarnya bicara tentang perilaku yang mesum...
ah, betapa menyedihkan melihat pendidik dan pemerintah yang tidak mengerti pembentukan karakter anak didik mereka... aku merasa sedih, maafkan.

Wednesday, July 09, 2008

Gie

"Hidup adalah soal Keberanian,
menghadapi yang tanda tanya.
Tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar.

Terimalah dan Hadapilah"


Soe Hok Gie
Jakarta, 19 Juli 1966

Negeri Bahagia


Dari Kompas.Com: Rabu, 2 Juli 2008 | 03:00 WIB

Denmark, Negara Paling Bahagia di Dunia

Washington, Selasa - Denmark, dengan demokrasi, kesetaraan sosial, dan atmosfer damai, merupakan negara yang paling bahagia di dunia, menurut para peneliti hari Senin (30/6).
Zimbabwe, yang terkoyak oleh perselisihan politik dan sosial, merupakan negara yang paling kurang bahagia, sedangkan negara terkaya di dunia, Amerika Serikat, menduduki urutan ke-16.
Secara keseluruhan, dunia semakin bahagia, menurut World Values Survey—survei yang didanai oleh Pemerintah AS dan dilakukan secara reguler oleh jaringan ilmuwan sosial global.
Survei itu menemukan meningkatnya kebahagiaan dari tahun 1980 hingga 2007 di 45 dari 52 negara yang dianalisis.
”Saya menduga keras bahwa ada korelasi kuat antara perdamaian dan kebahagiaan,” kata Ronald Inglehart, ahli ilmu politik pada Lembaga Riset Sosial Universitas Michigan, yang memimpin kajian itu. Menurut Inglehart, ada korelasi kuat antara kebahagiaan dan demokrasi.
”Denmark merupakan negara yang paling bahagia di dunia,” kata Inglehart dalam pernyataan audio yang dikeluarkan National Science Foundation. ”Denmark bukan negara paling kaya di dunia, tetapi makmur,” katanya.
Puerto Riko dan Kolombia juga berada di urutan atas, bersama dengan Irlandia Utara, Eslandia, Swiss, Irlandia, Belanda, Kanada, dan Swedia.
Dua pertanyaan
”Walau bukan negara paling bahagia di dunia, dari perspektif global, posisi AS cukup baik,” kata Inglehart. ”Negara itu tak hanya makmur, tapi juga berada di urutan atas dalam kesetaraan jender, toleransi etnis dan keragaman sosial, dan memiliki tingkat kebebasan politik yang tinggi.”
Survei itu, yang pertama kali diadakan tahun 1981 dan yang kali ini melibatkan 350.000 responden, dilakukan dengan hanya dua pertanyaan sederhana: ”Mempertimbangkan semua hal bersama, apakah Anda merasa sangat bahagia, cukup bahagia, tidak terlalu bahagia, sama sekali tidak bahagia?” Dan, ”Mempertimbangkan semua hal, bagaimana Anda menilai hidup Anda secara keseluruhan sekarang ini?”
”Determinan terpenting kebahagiaan adalah sejauh mana orang punya pilihan bebas dalam menjalani hidup mereka,” kata Inglehart. (Reuters/DI)


Ah, ada juga peringkatan tentang kebahagiaan ya? Kalau itu, soal berapa banyak pilihan yang tersedia; di negeri tercinta ini, seberapa banyak pilihan yang kita punya? Negeri Bahagia, swarga dipa...

Bukankah kita tak pernah bisa memilih tanah tempat terlahir? Tanah air, bisakah kita hidup di dalamnya, tanpa harus mencintainya? Agar tak ada luka, agar tak ada kecewa? Tapi toh, kita fana. Dan kita hanya berebut semua yang nisbi..

Thursday, June 26, 2008

sepi

hari berlalu, terasa begitu sepi. waktu terasa berdetik lamban. pusaran terasa memerangkap, dan merasa terjebak dalam labirin yang demikian mencemaskan. kadang aku tak ingin tahu apapun, dan hanya melangkah; menempuh setiap kemungkinan seperti berjudi dengan kenyataan esok. tapi kali ini aku memilih berhenti. bimbang menimbang. ah, bagaimana keluar dari kegamangan ini? andai saja bisa semudah itu...
entah mengapa aku demikian berharap ada tangan yang mengulur, kemudian menemaniku menelisik setiap sudut lorong. betapapun tak membawaku keluar, cukup di sisiku; menemani melewati setiap lorong kemungkinan. ah, andai saja..

Saturday, May 10, 2008

Cerpen lama


Beberapa Cerpen lama

Merkuri
Oleh : Ahmad K. Syamsuddin
“Goll…!” teriak bocah dekil itu sambil mengangkat kedua tangannya. Ia BERLARI kegirangan dan memamerkan jejeran rusuk yang menonjol dari legam kulitnya. Tubuhnya mengkilap bermandi keringat, memantulkan sinar matahari yang kuning kemerahan. Di suatu sore, di sebuah jalan sempit yang setiap hari berubah fungsi menjadi pasar darurat. Pasar yang tiap pagi dipadati beragam orang dari bermacam tempat. Entah kapan pasar itu terbentuk, mungkin sejak pasar induk tidak mampu lagi menampung luapan kaum urban yang sebentar saja sudah menyesaki kota.
“Kenapa bisa gol?,” separuh bergumam, seorang bocah menyayangkan temannya yang menjadi gawang. dipungutinya bola plastik yang telah tercemplung di selokan. Sebentar kemudian bola itu sudah ditendangnya, dan kembali mereka bermain tanpa perlu peduli bola yang telah berkali-kali jatuh ke got. Kembali mereka bermain, juga dengan keringat yang kian berkilat-kilat.
Tak lama suara azan dari mesjid di lorong sebelah menyela. “Lepas magrib, kita sambung. Pasti kami menang,” seorang bocah yang dipanggil Aco berteriak dan permainan itu berhenti. Sambil meraih bajunya, ia mendongak sekilas ke atas tiang listrik yang baru saja dipasangi lampu, ia bergumam pelan dan lirih, “lampu itu belum menyala”. berjalan. Sebentar kemudian yang lain mengikutinya masuk ke lorong. Lorong sempit di belakang sebuah rumah kayu berlantai dua yang agak kumuh. Dan jalanan itu kembali sepi. Hanya ada dua orang yang asyik bermain catur yang sejak tadi tak terusik dengan gaduhnya anak-anak yang berebut bola. Seorang ibu keluar dari lorong tersebut, tampak mencari sesuatu lalu masuk lagi. Lalu jalan itu sepi kembali. Tidak terusik, dua orang tua tetap bermain catur. Diam. Satu jam lebih.
“Ah, sudah petang. Sudah hampir azan.” Ucapnya sambil mengemasi buah caturnya.
“Oke, besok lagi” kata yang satunya. Memandang senja lalu tersenyum, memakai sendal lalu mengikuti bapak tersebut, juga ke lorong belakang rumah. Lorong itu berada diseberang selokan besar dan hanya dihubungkan dengan sebuah jembatan dari kumpulan kayu-kayu bekas bongkaran bangunan. Bau. Dan setiap malam, ada saja yang membuang hajat di selokan itu. Selokan itu sudah ada sejak awal zaman pembangunan dan bersamaan dengan terbentuknya pasar darurat itu, belasan tahun yang lalu. Sejak itu juga selokan itu menjadi tempat sampah yang sangat panjang. Tapi entah mengapa kali ini semuanya jadi begitu jelas. Jauh lebih jelas dari ribuan malam sebelumnya
***
Kali ini senja terasa cepat sekali turun. Dan sebentar saja pemuda-pemuda belasan tahun, yang masih menebarkan aroma sabun mandi, duduk diatas meja bekas penjual sayur dan mulailah mereka mengandai, mereka adalah tokoh utama yang dikelilingi banyak wanita dan keajaiban. Mereka berkumpul dibawah benda yang mengeluarkan cahaya putih kekuningan, yang awalnya, agak sulit menyebutkan namanya dan hanya menyebutnya dengan sekedar, sebagai; lampu.
Lampu itu lampu merkuri 250 watt yang dipasang beberapa hari yang lalu, oleh beberapa orang yang berseragam merepotkan dan bersepatu sol karet yang tebal. Lampu itu membawa perubahan yang terkesan janggal. Seperti ada sebuah yang dipaparkan oleh hadirnya lampu itu, dan begitu telanjang. Meja penjual ikan yang ditumpuk begitu saja setelah pasar usai tampak jelas dan kotor. Terangnya lampu itu menggarisbawahi betapa kumuhnya jalan ini. Anyir sisa air ikan yang ditumpahkan begitu saja menjadi semakin tegas. Juga sampah-sampah yang menggenang tampak lebih nyata, mengapung diatas selokan. Bangkai tikus kelihatan jelas berulat. Semuanya menyerap sinar putih kekuning-kuningan itu. Sinar itu menegaskan pada sekian indera, tak hanya mata, tetapi juga yang lainnya. Sinar merkuri itu membuat semuanya begitu jelas dan semakin jelas. Sinar itu seolah memperpanjang waktu siang. Dengan sinarnya, malam serasa tidak pernah datang. Hari terasa semakin panjang dan waktu untuk memandangi kumuhnya jalan ini juga semakin panjang dan terasa ada yang menusuk, tidak hanya kepadaku tapi juga disegenap hati orang-orang disepanjang jalan dan disudut-sudut lorong itu.
* * *
“Ada keanehan yang saya rasakan,” seorang berbisik kepada seorang yang lainnya. Di suatu malam ketika sekumpulan orang tua yang hanya bersarung asyik berbincang tentang malam dengan ditemani kopi tubruk dan goring ubi. Sebelumnya mereka asyik berbincang tentang nomor buntut, bola juga pertandingan domino yang digelar di kelurahan seminggu yang lalu sambil memndangi anak-anak mereka yang sedang bermain bola..
“Keanehan apa?” yang lainnya menyahut.
“Saya baru sadar betapa kumuhnya jalan ini. Dan saya jadi sadar, kalau selama puluhan tahun saya besar dan tua di jalan ini”
“Saya juga mulai merasakannya,” sahut yang lainnya.
“Saya asing. Iya, asing,” seorang menjawab tergagap lalu diam.
Lalu, “Aco, Ali, ayo masuk nak, pergi tidur sudah malam!” Teriak seorang bapak dengan suara yang berat dan lamban. Jalan itu langsung sepi, tak ada lagi yang tinggal bermain bola. Tinggal bapak-bapak tua itu, ditepi jalan dibawah lampu.
Semuanya serentak memandangi sinar yang menghujani mereka. Sinar putih kekuningan. Sinar merkuri. Kemudian mereka menoleh ke kumpulan orang-orang mabuk yang bernyanyi di bawah merkuri lainnya, disudut jalan lainnya. Lalu satu persatu masuk ke lorong gelap di belakang bangunan kayu bertingkat, sambil tertunduk. Diam. Lalu sepi
* * *
Malam ini malam ketujuh jalan di depan rumahku terlihat sepi, tak ada lagi anak-anak muda tanggung yang berbicara tentang mimpi. Tak ada bapak tua yang main catur. Tak ada lagi bocah-bocah yang keringatnya berkilat-kilat memantulkan sinar lampu ketika sedang bermain bola. Juga tidak ada lagi pemabuk-pemabuk yang ribut bernyanyi di sudut jalan lainnya. Semuanya seperti tersadar betapa kusamnya potret tempat mereka pernah menggantungkan harapan. Betapa kumuhnya hidup mereka selama ini. Yang tinggal hanyalah sinar merkuri itu. Tampak kesepian dengan sinar putih kekuningannya, hanya ditemani sampah, anyir selokan dan kumuhnya malam.
***
Malam ini terasa agak lain. Sinar itu sudah tidak ada. Entah kapan lampu Merkuri itu pecah. Jalanan jadi gelap kembali, tak berbeda dengan beberapa bulan yang lalu. Dan sejak itu satu persatu anak-anak muncul kembali, bermain petak umpet. Juga pemabuk-pemabuk mulai minum lagi diatas meja penjual ikan, tepat di bawah lampu merkuri yang sudah pecah bohlamnya. Irama jalan itu kembali lagi. Jalan itu memang masih tetap kusam dan kumuh tapi lampu itu juga sudah pecah, bersama menguapnya keterasingan. Mungkin, di jalan itu tak ada lagi yang menyesali nasib.
Makassar, Oktober 2001

*******

Suatu Hari di Lebanon*

Oleh; Ahmad K. Syamsuddin

“Jeklek! Jeklek! Jeklek!...." mode continues kameraku terus bekerja. Motor kameraku terus menarik rol film dan menangkap gambar sekelilingku. Dari ‘jendela intip’ kameraku, kulihat mereka satu persatu; tentara berpakaian lengkap, dengan senapan otomatis yang terus bergetar memuntahkan peluru. Selongsong peluru yang muntah bersamaan dengan hamburan peluru terdengar berdenting menyentuh aspal. Nyaring dan asing. Fokus kameraku terarah ke wajahnya; kenapa ia seperti ketakutan? Matanya tampak berair, mungkin ia marah atau sedih. Ia menangis, kukira atau mungkin matanya hanya perih karena gas airmata yang dilemparkan serdadu lainnya. Seorang mengganti magasin pelurunya. Ia kelihatan sangat cemas. Dan begitu terpasang, ia kembali menghamburkan pelurunya. Matanya menyala merah, rahangnya mengatup keras. Sepuluh orang yang berbaris siaga dengan seragam lengkap itu terus maju bersama hamburan pelurunya. Di belakangnya, di dekat kendaraan lapis baja, seorang tersenyum kecut sambil menghisap rokoknya. Ia sepertinya puas melihat pasukannya terus maju, aku sempat merekamnya ketika ia menelan ludah. Di sekitar kaki serdadu itu, teronggok ratusan selongsong peluru. Ia hanya diam mengawasi, sambil sesekali tersenyum seperti menghadapi permainan yang menyenangkan.

Di ujung jalan, di sasaran tembak mereka, sebaris pemuda belia berlarian menghindari maut yang datang bersama peluru tajam serdadu itu. Mereka menuju tempat sebagian teman mereka berlindung sebelumnya. Bersembunyi, dan selebihnya mengintip menunggu waktu untuk melempar bom molotov. Sebagian menggenggam erat batu besar di tangannya. Satu diantaranya memegang ketapel, erat sekali. Dan sekali lagi kameraku merekamnya, fokus ke dua mata dibalik sorban yang menutupi wajahnya, ada sesuatu yang menyala di situ.
Ketika berlari, seorang bernasib naas. Ia tertembak. jatuh dan darah segera menggenangi jalan. Aku merekamnya. Sebelum jatuh, Ia berteriak dan wajahnya kemudian diam, putih dan sangat diam; lima frame filmku mengabadikannya. Sebagian kemudian sibuk menyeret temannya, mengamankannya ke balik toko yang pintunya sudah banyak berlubang ditembus peluru. Darah tergaris memerahi jalan sepanjang tubuh itu diseret. Wajah anak-anak muda di balik sorban itu terlihat berduka. Dari mata yang tak tertutup, kulihat mata mereka menyala dan dipenuhi air mata, aku merekamnya. Dada mereka turun naik, mungkin berusaha meredakan marah, atau menelan kesedihannya. Seorang diantaranya memeluk jasad itu, berkali-kali mengusap airmatanya dan berbicara dengan suara yang serak, selebihnya hanya diam mematung dengan mata berkilat.
Sebentar kemudian angin bertiup. Kota ini rasanya sudah lama mati, tak ada suara yang lain selain desing peluru dan ledakan bom. Semuanya diam dan menunggu. Serdadu mengisi magasinnya, dan anak-anak muda itu mulai bersiap. Keduanya hanya menunggu. Angin seperti tak bertiup, semuanya serasa beku, hanya bau mesiu dan gas air mata yang menggantung di udara.

Ini hari ketiga aku masuk ke kota ini. Dan hari ini, saat matahari belum tinggi aku sudah kelima kalinya mengganti film, dan entah sudah berapa wajah yang sempat kurekam. Entah sudah berapa tubuh yang terkoyak yang kumasukkan dalam filmku. Entah berapa luka.
Tentu jika dibandingkan ingatan manusia, tentu saja film ini tidak ada apa-apanya. Setiap hari penduduk kota ini mengisi hidup dengan ketakutan. Setiap kali berjalan, mereka selalu ragu apakah mereka mampu menyelesaikan hari ini bersama keluarganya. Tak satupun yang tahu, El maut seperti hanya tinggal mengundi siapa yang duluan dijemputnya.

Tadi pagi di belahan lain kota ini, seorang anak kecil diantar ke pemakaman. Semuanya hanya diam seperti menjalankan pemakaman yang rutin dan biasa. Ada yang menangis tapi tak ada yang meraung dan menyesalinya. Barangkali mereka menganggap kematian bagi anak kecil yang tak berdosa di kota ini jauh labih baik, atau barangkali saja itu adalah tambahan bara bagi api perlawanan mereka. Aku hanya bisa memotretnya ketika semuanya hanya tertunduk diam berjalan. Ada yang membawa bendera, tapi hanya dikibarkannya pelan dalam angin yang juga seperti berhenti. Beriringan, mereka ke tepi kota. Beberapa kuburan, yang sepertinya baru saja digali beberapa hari yang lalu tampak masih menyisakan tanah merah yang berdebu. Tak ada bunga, seperti habisnya tangis.

Aku kini diam, duduk berlindung ke dinding, dan baru kurasakan denyut jantungku. Aku dalam sebuah gedung yang telah jadi puing, dan setiap bergerak, kudengar derak puing yang kuinjak. Sejenak kuamati lensa tele-ku yang telah menemaniku berjalan di kota ini. Lensanya mulai berdebu. Dalam waktu yang diam itu, dari jendela yang separuh kacanya pecah, kulihat semuanya masih di sana. Aku baru merasakan ketegangan ini. Detik halus arlojiku semakin menggedor debar jantungku.

“Hei apa yang kau lakukan di sini,” tanya suar dari belakangku. Aku tahu itu bukan suara serdadu yang kasar. Suara itu pelan, dan halus tapi aku tak urung tersentak. Pelan aku berbalik, kulihat seorang anak kecil berdiri di depanku. Usianya mungkin baru sepuluh tahun, rambutnya hitam, alisnya tebal dan matanya-- aku tak tahu apa warnannya, hitam mungkin coklat tapi kulihat sangat dalam. Ia mengenakan jaket merah yang agak lusuh, juga sepatu kets biru. Di tangannya tergenggam sebungkus krayon, mungkin untuk menggambar pohonan atau matahari, mungkin juga darah.

Ia terus menatapku, “Apa yang kau lakukan di sini?” kembali tanyanya, suaranya seperti gaung yang jauh. Ia sekilas menatapku, lalu memandangi para serdadu yang sementara mengokang senjata. Lalu ia menatap anak-anak muda yang juga bersiap. Ia kembali menatapku, aku terhenyak. Matanya begitu bening dan dalam. Aku seperti melihat telaga yang tenang, dan di bolamatanya, sebaris senyum anak-anak. Dari matanya, aku seperti ditatap berpuluh pasang mata kanak-kanak yang jauh dan tak tersentuh.
“Kenapa matanya begitu jernih,” batinku.
“Jika kau lama menetap di kota ini, matamu akan semakin jernih. Di sini mataku selalu dibasuh air mata. Aku dan lainnya selalu menangis karena hanya itu yang bisa kami lakukan. Dan kau tentu tahu; hampir tak ada yang peduli” tiba-tiba saja ia menjawab pertanyaan hatiku. Aku hanya bisa melongo, menggenggam kameraku, menyalurkan cemasku.
Sambil menerawang ia lalu berbicara. Ia berbicara seperti hanya untuk dirinya, pelan tapi seperti menyimpan gejolak yang mengiris.”aku hanya ingin bebas berlarian di jalan seperti dulu lagi, tanpa perlu takut ada peluru yang merobek jantungku…”
Aku mendongak, kusangka ia marah dan kemudian akan menangis, tapi tidak, ia hanya terus bicara sambil memandang langit dari jendela yang separuh kacanya sudah pecah dirobek peluru.
“Seperti kanak-kanak lainnya yang punya tempat bermain, di sini, puing seperti ini jadi taman bermain yang begitu menyenangkan. Jauh sebelum serdadu itu datang dengan tank dan derap sepatu larsnya. . Tapi sejak perang ini, kami tak punya lagi tempat bermain, aku jadi tahu masa kanak-kanak di negeri ini adalah saat yang paling mengerikan. Kami tak bisa ikut membela tanah ini, tapi juga tak satupun bisa menjaga kami kalau saja para serdadu itu mengejar dan menembaki kami sambil tertawa seperti memburu kelinci di Padang Siberia”. Ia terus berbicara, aku hanya mendengarkan dan aku takut suaranya terdengar oleh serdadu yang berjejer di luar sana.
Lalu, “menurutmu, Tuhan menyediakan taman bermain di surga buat kami anak-anak yang baik?” Ia berbalik menatapku, matanya menagih seperti ketakutan atau mungkin putus asa.
Aku tak tahu, “ngg…” aku juga tak mengangguk. Ia seperti menungguku mengatakan sesuatu. Ia menatapku dan bening mata itu seperti menyihirku. Aku hanya diam, dan kembali hanya bisa meremas tali kameraku, aku ternganga. Ia terus menatapku.

Kemudian pelan ia mendongak ke matahari, wajahnya terlihat pucat disepuh sinar kuning, ia seperti tergesa. “Aku mau pergi..”
“Kau akan ke mana? Di luar, tentara itu masih berjaga”. Aku bangkit ingin mencegahnya, tapi ia menepis tanganku. Aku hanya terdiam, tanganku tergantung putus asa melihatnya berkeras.
“Aku ingin mencari ayah dan kakakku; aku cuma mau bilang agar jangan memelihara dendam jika kelak tanah ini merdeka. Tak punya ingatan apa-apa di negeri ini, rasanya jalan yang terbaik….tanpa ‘lupa’ di tanah seperti ini, kanak-kanak sepertiku hanya akan jadi gila… tapi sudahlah..” suaranya terus mengalir, deras tapi seperti dari lembah yang dalam. Ia menerawang lalu, ia seperti ingin berlari keluar
“Hey.., ”aku memegang erat tangannya, mencegahnya.
“Aku hanya ingin berlari di jalan itu, merasakan debu.. seperti dulu..” ia menepis tanganku. Lalu berlari ke luar lewat pintu yang sebagian pintunya sudah koyak. Ia berlari, aku sontak bangkit ingin mengintipnya lewat jendela tempatku memotret sebelumnya. Aku pasti tak kuat melihatnya menggelimpang di jalan, dihajar peluru serdadu itu. Tapi kulihat jalan itu lengang, tak ada suara tembakan. Juga tak satupun serdadu yang tadi mengokang sejata. Anak-anak muda di samping toko, tak ada lagi. Hanya angin yang berkesiur, membawa aroma mesiu dan gas air mata. Kulihat krayon anak itu tergeletak begitu saja, dan tak terasa aku menangis. Kulihat malam mulai turun. Lampu-lampu mulai menyala, dan kota ini tetap mati.

* Sebuah kenangan pada Rami, yang terbunuh bersama ayahnya di Netzarim, Gaza City, 30 September 2000 lalu.


******

PERAHU NUH
(satu fragmen)
Oleh A. K. Syamsuddin
“Rasanya kita seperti umat Nabi Nuh yang diselamatkan dari tangan nasib, yang demikian kejam hendak mencacah kita..” bisiknya pelan menerawang ke langit. Ditatapnya langit lekat-lekat seperti hendak menerka cuaca yang mungkin akan turun sebentar malam. Ia seperti membaca gugusan awan di langit yang belum jernih benar. Langit yang tak kunjung berwarna biru. Setelah itu, barulah ia menoleh dengan dagu yang seperti menanduk, dan ia menatap wajahku meminta jawaban. Lalu ia kembali memandang langit, lalu hamparan air yang semalam tiba-tiba saja datang entah dari mana, dan menggenangi kampung kami. Dan kini, kami mengapung di atasnya; mengecipak air, menjalani nasib.
“Iya pak. Tapi eh, saya tidak tahu...” tergagap, aku tak bisa menjawab tudingan dagunya. Ia hanya diam. Kali ini, ditatapnya punggung anggota SAR yang menjemput kami. Mereka mengenakan baju oranye menyala dengan sebaris garis berwarna perak yang berkilauan jika diterpa berkas cahaya, meskipun hari mendung. Sepasang dari mereka sibuk mengayuh, dua lainnya duduk di depan, seperti kapten kapal Phinisi yang berdiri anggun menentang angin. Mereka hanya diam.
Di kejauhan, tampak bonggol-bonggol pisang mengapung. Juga jejeran puncak rumah kami tampak menyembul dari air, seperti sirip-sirip hiu yang diam. Pucuk batang-batang pohon yang menyeruak, nampak seperti kerangka yang ditinggalkan. Semuanya kehitaman direndam air, seperti nasib kami di tangan air.
Diulurkannya tangannya ke air, dan air yang kecoklatan membelah di tangan tuanya yang dipenuhi urat-urat yang mulai mengendur. Air itu seperti menari dan menciumi tangannya dengan gembira. Ia menikmatinya. Lama ia diam, lalu ia tersenyum.
“Betul, kita seperti umat Nuh, iya seperti umat Nuh…..”
Semua orang yang berada di perahu itu hanya menoleh padanya, tertegun dan tidak berkata apa-apa. Di perahu karet marinir ini, kami bertumpuk. Berdesakan dengan lutut dan siku bersentuhan. Kami merapat, sebagian memeluk lututnya, mencari hangat. Baju yang kukenakan sudah lembab dan berbau lumpur, dan celanaku yang basah seperti lengket dan menyatu dengan kulitku, seperti dengan anak kecil yang ada di depan. Sama dengan ibu tua yang memegang erat buntalan sarungnya. Sama dengan lelaki kurus yang menunggu bersama anak-anaknya di bubungan rumahnya yang terendam air, menunggu sepotong tangan menjemputnya.
“Kalian tahu, kita seperti sekumpul umat Nabi Nuh yang diselamatkan, karena Tuhan masih berkenan kita ada....” ia berbicara lagi, dan membiarkan suaranya menggantung di udara.
“Tidak pak, kita tidak sama dengan umat Nuh. Mereka diperintahkan pindah karena orang-orang yang ingkar akan diazab oleh Tuhan, sementara kita….”
“Bocah, kau salah!” lelaki itu memotong. ”Kita sama dengan umat Nuh. Kita ingkar, kita tidak peduli pada sasmita alam. Dan kita telah acap diperingati, juga sekarang…walaupun kita masih disayang, dan masih berkenan diselamatkan”. Ia menegang, dan semua yang ada di perahu menoleh, semuanya menatap bapak itu dalam-dalam, ada seorang yang mengangguk-angguk, mungkin setuju.
“Mungkin, tapi mungkin juga tidak…” jawabku menggantung, mencoba mengabaikannya. Aku menoleh ke langit, ”barangkali sebentar malam, hujan akan turun lagi…”batinku.
***
Telah s emalaman penuh, dalam dingin gerimis kami berjaga di pucuk-pucuk rumah atau pohonan tinggi. Semalam, tidur kami yang nyenyak tiba-tiba saja digedor kentongan tanda datangnya air bah yang entah dari mana. Suasana kampung tiba-tiba saja ribut oleh pekik panik dan tangis bayi. ”Banjir…Banjir…..”, dan kami berebutan memanjat atap atau pohonan yang tinggi, memandangi air yang pelan-pelan meninggi, seperti mengejar kami. Gerimis yang turun lewat di atas kampung kami ternyata mengantar luapan air yang tak tahu dari mana asalnya.
Aku tiba-tiba membayangkan tempat yang kami tinggalkan; kampung pinggiran kota yang terkucil dari bising ramai mesin kendaraan. Tempat yang masih mengizinkan mangga, durian, rambutan, dan tanaman besar lainnya untuk tumbuh. Tempat yang masih menyediakan tempat bagi anak-anak untuk main bola atau bermain layangan setiap menjelang kemarau. Rasanya mustahil air bisa ada sebanyak ini dalam waktu semalam. Dari mana datangnya air ini. Mengapa demikian banyak hal yang tak mudah dipahami?
Semalam kami masih mengisi kampung ini dengan bincang-bincang usai shalat magrib di mushallah. Ada Bahri yang menjual bakso, juga Dul yang mendorong gerobaknya, menjajakan kue hangat. Basrul masih membincangkan pasaran harga durian yang jatuh. Dan, sekarang semua rasanya begitu cepat berubah. Sekarang kami semua terpaksa dijemput satu persatu dari atas rumah dan pepohonan, “Sungguh nasib tak bisa ditebak, tapi barangkali bapak itu benar. Kami seperti umat Nabi Nuh yang ingkar, dan dikirimlah banjir sebagai peringatan karena kami mengabaikan sasmita Tuhan. Atau kami hanya sekumpul orang yang harus menikmati segalanya, tanpa perlu menampik. Sekumpulan orang yang tak dihitung dan dipertimbangkan?” aku hanya bisa membatin. Menelan sisa air hujan yang melekat di ujung bibirku, rasanya seperti lumpur.
***
Kupandangi bapak itu, ia masih tertegun. Bapak itu memeluk erat celengan ayam dari tanah liat, satu-satunya harta yang bisa diselamatkannya. Di sudut, agak terlindung dari suaminya, Mbak Ima menyusui anaknya. Dan Sati, anak belasan tahun yang seingatku sekolah di SMP dekat balai desa hanya duduk diam. Dua baris garis bekas air mata tampak di pipinya yang coklat, mungkin ia teringat sekolahnya.
“Tapi umat Nuh, pergi ke tanah baru, dan tak kembali. Sementara kita hanya pindah sebentar dan kembali lagi menunggu nasib. Kita seperti tak punya pilihan. Kita tak bisa memilih nasib”. Sekali lagi, bapak itu berbicara. Pelan, nyaris tak terdengar ditelan bunyi kecipak air. Tatapannya jauh menaut pada horizon. Di kaki langit, pada hamparan air coklat yang menyatu dengan langit mendung.
“Hmmm. …atau kita hanya kumpulan ternak yang ikut diambil agar tidak punah ditelan air…seperti ayam, tikus, atau mungkin anjing. Iya, ayam kan tak bisa berenang. Seperti kita yang jadi korban padahal kita tak paham keinginan orang-orang yang membangun rumah baru, tapi malah merusak jalur sungai...He.. eh..kita korban, seperti ayam…” bapak itu terus berbicara, lalu terkekeh. Suaranya tak bisa menyembunyikan ironi yang sedih. Semua yang ada di perahu mengangguk-angguk pelan, sepertinya mereka setuju.
Di kejauhan, di depan perahu, tampak barisan warga yang berhasil dibawa lebih dulu ke tepi dataran tinggi. Mereka berdiri berdesakan di dalam tenda yang dipasang tentara. Barang-barang menumpuk di antara kaki-kaki mereka. Kasur, kompor, piring, pot bunga, dan sebingkai foto. Masih sempatkah semuanya diselamatkan ketika saat yang datang begitu mendesak, dan tergesa? Apakah mereka demikian yakin; bisa kembali dan memulai lagi semua kehidupan yang terenggut hanya dalam semalam? Sepertinya hanya keyakinan seperti itu yang membuat mereka bertahan, meski hanya sekedar untuk menjalani nasib. “Toh tak ada yang bisa memilih nasib, tapi mengapa nasib rasanya tak bisa dipahami dengan jernih?”

Kemudian hujan turun. Dingin kembali pelan-pelan menusuk tulang Dan hampir serempak, kami menegadah menatap langit. Sementara perahu terus membelah air menuju dataran yang lebih tinggi; ”mungkin kami memang seperti umat Nuh. Tapi apakah kami memang hanya serupa ternak?”. Kulihat bapak itu tersenyum kecil, pahit dan sedih.
Pebruari 2002-2003

beberapa puisi


Menemukan beberapa puisi lama yang sempat terselamatkan;beberapa pernah dimuat di media, beberapa lainnya diterbitkan bersama kumpulan penyair muda di Sulawesi Selatan, pernah diberikan ke gadis yang kutaksir, selebihnya mengendap di komputerku. Ini sekedar mneyimpannya ke tempat lain..sekedar melawan dari lupa.

Kunang Kunang Padam

ada yang memadamkan lampu, ketika aku sedang mabuk dan menghitung kunang-kunang yang mengitari bola mataku.
makassar, September 2000

***

Malam ini Malam Lebaran

malam ini, malam lebaran
gemuruh takbir sudah lama berhenti. tinggal bintang, lampu merkuri, dan angin dingin yang berjaga-jaga diluar.
senyap menari di tik-tak jam weker yang terburu-buru.

malam ini malam lebaran
dulu, setiap lebaran selalu mengulang rindu pada kenangan irama beduk.
tapi kali ini, malam fitri ini begitu mencemaskan;
kemarin ada bunyi nyaring yang membunuhi orang-orang di rumah-rumah suci.
dan tadi pagi ada lagi yang pergi –seperti lebaran yang lalu- dicabik-cabik sepi

esok hari yang suci, tapi kenapa aku semakin takut melihat pagi

kenapa malam kemenangan di negeri ini
seperti malam menjelang pelaksanaan hukuman ?
dan detik-detik terasa begitu keji mengiris hati.
kekasih, aku takut tidak sempat mengunjungimu esok pagi.
kutakut kalau-kalau ada yang membunuhi kita satu-satu; dengan tersenyum.

ibu, izinkan kucium tanganmu sebelum datang pagi.
aku takut esok pagi, aku juga dipilih dijemput damai –yang sakit-

ibu, kenapa di negeri ini, malam kemenangan seperti malam menjelang penggantungan.
dan waktu yang berhenti serasa mengoyak hati.

makassar, malam lebaran 1421 H

***


Tamu dari Tivi

1\:
dalam letih dan ekstasi ia tiba diantar malam yang renta.
dari kisi-kisi jendela itu ia meniti titik-titik warna bersama liputan berita paling terakhir
tentang sebuah perang sipil di dekat sahara.

setelah ia mengecup mata kita hati-hati, dirogohinya hati kita. lalu berbisik; “besok aku akan datang lagi. kalau kau berkenan, kubawakan lagi mimpi seperti hari ini.”
sebelum pergi, sempat ia mencemooh percakapan-percakapan sunyi kita: “tuhan hanya imaji, sejarah hanya kliping koran, cinta hanya puisi usang”

lihatlah sisa jejak di beranda yang menjauh ke utara. ia menggaris bawahi janjinya bersama kerinduan absurd kita.

2\:
hari ini ia akan datang lagi, diantar koran pagi atau penyiar tivi bersama kabar
yang entah mengutip air mata dari mana.

ia akan segera datang sebelum kita sempat berpikir untuk mengelak.
tak ada lagi ruang bagi kita untuk bercinta sekalipun itu tergesa-gesa.
tak ada tempat istirah bagi mata kita yang merah perih menahan kantuk
tak ada ruang untuk kenangan, tak ada harapan untuk masa depan. tak ada ruang untuk diam.

3\:
kali ini ia datang bersama sebaris cerita tentang genocide, sesekali ia tertawa sambil mengunyah hati kita. dan kita bertepuktangan tanpa sedikitpun cemas.

2001

***



"Kita Bermimpi, Nak"

Di setiap tidur kita bermimpi tentang nabi-nabi yang diantar Koran pagi.
Bersama sedikit resah tentang pernag etnis dan sebaris janji pada headline
Tiap tidur, kita juga mimpi tentang pantai dan hangat matahari
Juga rumah mungil dengan jeruji yang rapi

Sepotong mimpi yang rutin dan tak lagi asing, tak lebih dalam satu musim dalam sebingkai coretan dinding hitam putih yang seragam.

Dan mimpi itulah yang setia kita pugar
Di sepotong cagar,
Dalam tiktok jam yang harmonis
Juga teratur seperti makan pagi di bui

“tapi mimpi itu sebuah asa, nak”
“tapi mimpi itu juga potret sebuah represi, pak”
“kita bermimpi, nak. di negeri ini, itu mukjizat”

2001

***


Ayat-Ayat Hujan

langit kelabu; ada yang mengadu pada waktu.
“jarum-jarum hujan telah memerihkan luka yang sebenarnya tak pernah kering”
makanya kita lupa pada rindu uap tanah di hujan pertama.
seperti terhapusnya wangi rumput basah; yang serupa wangi dada ibu yang acap mengundang kita menelusup setiap petir mengilat.

hujan adalah risau pada sawah di tanah-tanah rendah.
hujan adalah resah di bukit-bukit tandus.
hujan adalah jelaga pada ingatan kita tentang waktu.

langit kelabu; ada yang memanjatkan doa entah pada siapa. menagih ayat-ayat yang pernah terbaca pada satu waktu yang juga entah.
“semoga hujan seperti di kitab suci; akan menumbuhkan buah-buahan dan airnya akan jadi minum bagi ternak kita”.

tapi bukankah kita sudah lama lupa bagaimana membaca ayat dan gelagat.

makassar 2002

***



Sajak Tahun Baru

tik..tik, dan tergesa kita membaca mantra penolak takdir buruk; teet...treet ..dhuar!
tapi siapa sebenarnya yang pertama mengajari kita mengisi malam dini dengan pekik terompet yang gaduh.

kita paham, luka yang hendak kita tinggalkan di lampau tidak akan pernah benar beranjak. itu adalah bentang durasi hari yang abadi.
lalu dalam pekik terompet, kita lemparkan ketakutan pada waktu; “seperti itukah sangkakala Israfil yang akan membunuh sang kala. juga durasi hari?”.

dan, seperti kemarin; kita masih setia mengirimkan mimpi lewat kembang api.
barangkali Tuhan melihat kita girang menembaki bintang sambil berharap horoskop hidup bisa berubah kalau ada bintang yang jatuh dan kita mengucapkan permohonan.

tapi ilusi itu seperti candu. seperti igau yang gagu.

tak ada yang pergi. hanya lembaran kalender yang habis kita sobek tanpa tahu persis berapa jumlah lembarannya. lagu rutin saban hari seperti jadwal besuk matahari.

tak ada yang pasti datang, selain sisa pendar kembang api yang usai menjelang pagi.
makassar 2002

***


Arafah

Terbacakah jejak sejarah di Arafah? Dipasirpasir, dibukitbukit batu, dan diangin gurun setelah berjuta-juta pasang jelejak kaki menelisik serangkai urutan perjalanan panjang; perjalanan menuju Sang Yang Mengatur kiblat dan arah angin.

Arafah; berjuta kaki, wajah, dan hati dalam satu reuni keluarga, sejak Rasul Adam dan ibu Hawa menegaskan perpisahan dalam buku hidup anak cucunya, seperti mereka yang terbuang dari firdaus.

Pada pasir, bukit batu, angin, dan matahari terbaca nama-Mu. Di alur nadi, air mata, lidah, dan hati kutahbiskan firman-Mu. Tapi terbacakah sejarah Arafah pada semua tanah yang menyebut nama-Mu.

(Ya..Rabbi, bolehkah kami menangis?)

Makassar, 2002

***


Almanak

1/
Lembar almanak sudah habis kita sobek. Segera kita meniup terompet dengan sedih tertahan. Ada luka yang coba kita semburkan dalam pekik parau itu; pada waktu, pada lampau, pada rindu yang jauh.

Tumpukan tiga ratus enam puluh lima kertas almanak lalu kita bakar bersama kembang api; mengirim masa lalu pada langit yang jenuh.
Dan rutin seperti awal tahun kemarin, kembali memasang kalender baru dengan rasa asing yang tak kita pahami, seperti gamangnya waktu datang yang abu-abu.

Menatap almanak seperti memandang pantulan wajah kita di cermin; wajah yang terus menetes habis dalam jam pasir.

2/
Kita yakin besok, masih akan ada bunyi weker yang setia membangunkan; agar kita segera mulai merobek almanak. Setiap pagi satu.
Merobeki lembar almanak seperti menguliti wajah kita sendiri; wajah yang terus menua setiap kita bercermin di pagi hari.

Dan harihari seperti surat cinta yang kita tulis dengan penuh gelegak rasa,
yang kita lupa bahwa kita sudah pernah menulisnya; kemarin dengan huruf dan rindu yang sama.

3/
Cintaku, kelak ketika kau berulang tahun, aku ingin mengirimimu selembar almanak;
agar kau tahu akan banyak yang kita sesali dari kefanaan ini. Disini, aku takut menjadi bahagia

(kau tahu gambar wajahmu kini mulai berwarna sephia)

Makassar, 2002

***


Repertoar kertas Kosong

ada kertas kosong yang terlupa di meja rapat.
setelah berhari-hari sebelumnya ada orang yang berbicara tentang banyak orang lain.
kertas itu tidak berisi catatan apapun, hanya kertas kosong yang tertinggal di meja rapat. sepi, dipeluk kayu mengkilat.

kertas itu tidak mengisahkan apapun,
selain; memang selalu ada yang luput
ketika kita berusaha merangkum kenangan,
bahwa selalu ada yang terjerat amnesia
dari begitu banyak lembar-lembar sejarah.

atau kita memang memilih lupa untuk menyembuhkan luka?
makassar, 2000-2002

***


Reportase dari lebanon

1/:ibu
di Lebanon, setiap ibu berkerudung hitam yang ditenun dari benang nestapa dan belasungkawa yang panjang. namun telah lama mereka berhenti mengusap air mata.
"sudah lama kami berhenti berkabung. sebab yang mati, tak bisa lagi kami hitung. sudah terlalu rutin. begitu sering".
dan setiap hari, kaki-kaki ibu yang pergi terus mencipta nyanyi dan baris-baris puisi diantara nisan, senapan, dan kawat duri.

2/:maut
di lorong-lorong kota, jika pun desing peluru, batu, dan asap berhenti, maut masih menanti. barangkali masih ada yang menuggu kematian bersama rindu yang mendegup-- dengan atau tanpa peluru.
tengah malam di lebanon, seperti deadline yang tergesa di ruang redaksi. malaikat maut begitu sibuk mengantri yang akan diantar ke haribaan Tuhan yang Maha Kasih

3/:ratap
"Tembok Ratapan belum boleh dipakai. harap simpan ratapan anda sampai tahun depan, kami mengambil cuti tahunan. kau tentu tahu, tahun ini, seperti yang lalu-lalu, sangat meletihkan" tertulis rapi-- menyender di tembok keramat yang juga dijaga serdadu- sebaris surat dari malaikat maut yang pergi.

4/:di Lebanon
di Lebanon, jika pun malam padam dan serdadu tak lagi terjaga, aku ingin menulis surat cinta buat semua yang masih mengenang tanah ini, tempat banyak nabi --dan orang biasa-- terbunuh. tapi kemarin, kudengar merpati pos mati tertembak di perbatasan. (doa pun, aku tak tahu, apakah akan sampai ke langit. kalau-kalau saja malaikat yang pulang tertembak di zona larangan terbang)
Makassar, Juni 2002

***


Di Satu Malam
--buat Bahri A. Iskandar dan Abdullah Sanusi--

1\
satu malam, menghitung pijar lampu jalan. ada yang tergesa menggaris udara dengan cahaya kuning. bergegas, membelah dingin malam sambil merapatkan pelukan.
malam seperti ini, kita sebenarnya tak ingin ada di kota. sebab bias kuning merkuri telah merampas terangnya sinar bintang. di kota, banyak sudah yang hilang tanpa pernah kita kenali apa. kita sering dilanda lupa. kita tak pernah ingat kapan mulai menenggak tuak, dan mabuk pada kali pertama.

satu malam, menyesap asap nikotin. ada yang diam-diam mengemasi botol anggurnya, takut kalau saja malam merampas mabuknya. katanya, selalu saja ada tentara dari tangsi sebelah yang menodongnya dengan senapang sambil mengecup gugup perempuan jalang dengan dada yang terus berdegup.

2\
kadang kita ingin jadi gelap. jadi latar. jadi yang tak dihitung, sebab, barangkali kemahaluasan langit tak akan mungkin selesai diindera. berkali-kali, meteor selalu luluh menempuh malam.
(dan aku telah luluh menempuh jalan menujumu. menjadi debu. menjadi sekadar serbuk dalam jalan itu)
"ada perempuan yang suka berbicara tentang surga", kataku.
mungkin ia tak baca koran pagi ini. surga sudah dijual dan tak ada tempat buat orang seperti kita. kita hanya peziarah yang tahu surga dari ingatan nenek moyang kita. mereka meramal surga dengan setumpuk kartu, sepertinya tak bisa keliru.

3\
ada ambulans membawa orang yang ditikam takdir. memekik, menjenguki kecemasan kita. dan begitu ia masuk ke rumah sakit negeri, orang itu katanya mati; ia pegawai negeri, tak bisa bayar anestesi. jadi dibiarkan saja ia meraung nyeri.
(di depan rumah sakit ada spanduk seminar tentang usaha pembebasan dari nyeri; free pain for all)
"kami tak bisa menghalangi malaikat maut. sebenarnya kami ingin menundanya, tapi kehidupan, barangkali memang harus dibeli; kau tentu tahu" ujar perawat, prihatin.
kita sudah tak boleh prihatin, kataku. apalagi di rumah sakit negeri.

4\
malam mulai diam, membiarkan kita mengecup luka hidup ini. dalam. anyir.
"tulislah tentang cinta!" katamu. tidak! aku jadi ingin menulis tentang mimpi buruk.
lalu berkemas pulang. menelan rindu dalam-dalam. "sungguh aku sulit melupakan pertemuan ini.
(tolong jangan pernah katakan pada perempuan itu; bahwa aku merindukannya. kau tahu aku menyukai matanya. toh, kalau itu keliru, mohonkanlah aku maafnya)

pintu dua, makassar 2002

***


bah di meulaboh
seperti kan’an yang ditelan bah.
kutuk bagi penduduk negeri setelah menampik tuhan nuh, menolak sembah.
dan mencemooh bahtera di puncak bukit yang menyiapkan sauh;

ini meulaboh.
kota kecil di tepi pantai yang terendam penuh.
oleh bah yang tiba tergesa pagi-pagi lalu kembali setelah jenuh,
melandai pada kaki bukit terjauh.

aku tak tahu apakah negeri di sisi barat ini, juga menampik nuh
tapi sungguh, tak ada lelaki yang bersibuk di bukit, siap berlabuh
dan menawari kami bahtera dan iman nuh.

hanya izinkan kami istirah pada kakimu.
lelap pada lumpurmu. pada jejakmu.

(mungkin memang moyang kami putra nuh yang ingkar, lalu kami terus memanggul tulahnya)

2005

***


sebuah sarapan

: fragmen satu babak di meulaboh

ibu:
sepotong kue dan perbincangan yang tak pernah cemas.
meski di gunung, paman-kemenakanmu terus berseteru dengan tentara untuk tanah yang lebih baru. hanya haru-biru menjelang tidur, katamu.
“ibu, ini kota yang diberkati. dengan syair memuji tuhan dan tari seudati,” katamu.
nak, kopimu bahkan belum tandas.
setiap pagi --selalu hanya sisa ampas, kukira engkau selalu gegas.


anak:
kota ini bahkan belum gegas. selalu ramah, ibu.
senyum-bersendawa dengan bau pantai dan harum ganggang.
lihat dekat muara, nelayan tiba dengan senyum terkembang.
ibu ingin membuat ikan-pindang?
jalan belum bising. pagi masih terbilang. jam belum sembilan.

(ombak datang mengetuk pintu. dengan bau pantai dan harum ganggang)

pagi, sebelum jam dinding beku.
di pesisir yang baru terjaga.
2005

***


Rumah

cerita itu bermula dari serangkum peluk hangat setiap kita pulang. juga sekembang senyum dari keluarga yang menunggu rindu.
tapi ranah itu lebih dari segugus serat yang menjaga sepotong metamorfosa. lebih dari sekedar sesusun kenangan.
rumah tak hanya berisi nafas, keringat, dan air mata.

dari yang terusir; yang hilang bukan hanya setumpuk album foto. atau seikat buku harian. makanya airmata tidak akan pernah cukup jernih mencuci luka. juga tak akan bisa mengajari lupa. barangkali hanya matahari pagi yang berkenan bersaksi untuk pagi yang lebih damai.

***


Tamalanrea

Katamu; Disini seperti negeri ajaib, dan kita alice yang riang bersenandung mencari kejutan di tiap kemungkinan yang kita temui.
Kita peter pan yang terus bermain, kanak-kanak yang terus tertawa,
tanpa takut harus menjadi dewasa dan tak bahagia.
disinilah, tempat dimana waktu hanya berarti hari yang terus berjalan
tapi tak ada yang beranjak tua.

Ini tamalanrea. Tempat mimpi seperti abadi.

Makassar 2008

Monday, March 31, 2008

senja, burung layang, dan pulang


dari jendela maharaja, mampang, 30032008
hari sudah hampir selesai. langit kemerahan sudah mulai kelabu. dari jendela, kulihat sehimpun burung layang terbangberputar-putar mengitari liang sarang mereka, mencari jejak tempat mereka mula. mencari tempat mereka ingin mendekam melewati malam. berputar lalu satu-satu bersembunyi. gedung-gedung di kejauhan mulai menjelma siluet. sebagian dihiasi lampu satu-satu. di bawah, jajaran rumah yang sesak seperti padang kunang-kunang. (kendaraan di bawah, melintas. tergesa.)

aku teringat pasarcidu. di atas rumahku, sore yang serupa, burung layang yang terbang dengan pola yang hampir sama. mengitari jejak mereka tadi pagi, untuk kembali. burung layang, yang pulang setiap senja itu, selalu menjelaskan padaku tentang pulang. kembali, pada tepi. titik kembali dari siklus yang terus berputar. semacam jeda.

cuma senja rasanya disana masih menyimpan langit ungu kemerahan. setiap tempat, memang punya langitnya masing-masing. lansekap yang serasa hampir lengkap menjelaskan padaku tentang pulang.

::

senja jatuh. kuning menyepuh pepohonan beton kota yang menjulang. burung layang terbang berputar melintasi udara kelabu. setelah sekian himpun jarak, inilah batasnya jauh. baginya inilah tepi. kembali pada serentang sarang yang merengkuh-lindungi.

juga setelah semua titik yang sempat kurangkai, padamu aku ingin kembali. tapi tanganmu yang mengulur, itukah rentangan yang akan meredam semua luka dan bilur ini?

300308

Friday, March 28, 2008

suatu malam

::seusai menyusuri sudut-sudut kota


suatu malam, setelah sekian malam lainnya menyusuri jalan ibukota; terkadang terbit juga rasa takjub melihat kota yang sementara terlelap. lampu jalan yang masih benderang, kuning seperti kekunang yang berbaris takzim menunggu datangnya pagi, sebelum mereka padam, lalu hilang dalam terik siang. juga gedung-gedung beton yang tegak seperti raksasa yang termangu menunggu. dan jalan yang lengang-lapang. aspal yang basah setelah dibasuh hujan. pohon-pohon yang menunduk.

terakhir aku bertanya, inikah kota yang sama? yang terlihat demikian menyesakkan saat siang meraja? kemana semua pergi? (di beberapa titik jalan tertentu, hanya ada perempuan yang menunggu mereka yang hendak melepas sepinya dengan pergumulan-pergumulan yang sebentar. juga mereka yang melintas menempuh jarak).

tapi malam di kota ini --sebagaimana semua lansekap yang diterangi merkuri, tetap tak tersedia sebutir pun bintang. di langit, kita tak bisa mengindera legam malam yang seperti telaga yang demikian dalam. juga tak bisa menunggu meteor yang luluh melintasi rentangan langit malam, mencipta gegaris "bintang jatuh", dan sesekali membuat permohonan. sesuatu yang--kita tahu tak masuk akal, tapi rasanya melegakan.

itulah mengapa aku, pada akhirnya aku tak bisa betul-betul menyukai kota.

Wednesday, February 27, 2008

lagi, kurusetra universitas hasanuddin


mahasiswa universitas hasanuddin tawuran lagi. kira-kira selama sejam. beberapa mahasiswa kena timpuk. tempatnya di area terbuka antara fakultas ilmu alam dan ilmu sosial. ratusan generasi penerus bangsa ini, saling menukar lemparan batu. sebagian mengacungkan tangan; menghina. kawasan yang kuanggap identik dengan kurusetra dalam lakon mahabharata. kurusetra mementaskan lakon pandawa-kurawa. serumpun keluarga yang berbunuhan hingga rusak-musnah hanya karena soal sepele. ah, kalau saja kita sadar, betapa kebanggaan seperti itu betap semu, betapa nisbi... ah, kalau saja

Saturday, February 23, 2008

"nenek, telah setahun"



setahun yang lalu, nenek berpulang. sekedar mengingat betapa ia membenci kalau aku mulai memanjangkan rambut atau ketahuan menghisap batangan tembakau.

untuk urusan rambut, menurutnya rambut yang terbaik adalah yang pendek-cepak,potongan ala militer. mungkin ia menyaksikan bagaimana BKR (badan keamanan rakyat) atau Tentara Keamanan Rakyat atau mungkin ABRI (angkatan bersenjata republik indonesia) di masa awal indonesia baru merdeka --berjalan memasuki kampung demikian gagah. tentara-tentara negara masuk menumpasi pergerakan DI-TII atau di kampung ku disebut "gerombolang". ia mungkin berpikir, dengan cepak, cucunya akan terlihat gagah. dulu, aku sering dibawanya untuk bercukur pada tukang cukur langganan kakek yang membuka tempat cukur di atas kanal besar yang melewati pasar cidu.

soal tembakau, menurutnya akan lebih bagus kalau uang untuk membeli tembakau itu kubelikan kue atau sesuatu yang mengenyangkan lainnya. pun jika aku merokok karena telah punya uang untuk membeli tembakau, akan lebih baik kalau uang itu kuberikan padanya --meski aku tahu, ia tak lagi betul-betul memerlukan uang. ia tak tahu tentang beraneka jenis kanker yang menumpang di tar dan nikotin yang setiap hari kuhisap itu.

telah setahun, masih kuingat bagaimana di hari itu, sebelum ia berpulang, ia kubangunkan dari pembaringannya agar bisa memakan bubur instan yang telah disiapkan untuknya. beberapa waktu sebelum ia benar-benar sakit; lupa telah menyergap ingatannya lebih dulu. ia tak lagi ingat siapa aku sebenarnya. meski ia tahu aku adalah kerabatnya, namun baginya aku adalah orang yang datang dari kampung halaman kami. setiap aku menjenguknya, ia selalu memintaku agar bermalam; dengan pandangan aku sebagai orang yang jauh.

dari situ semuanya berjalan, hingga tepat setahun yang lalu, ia akhirnya berpulang. kembali pada Yang meniupkan Roh padanya.

banyak yang masih lekat tentangnya, semua masih berdiam di benakku. mungkin hingga kelak, lupa juga menyergap. mencacah ingatanku ini. sebagaimana lupa akan selalu mengintai dan mencabik-cabik ingatan-ingatan kita. kelak, kepadamu semua, aku selalu memohon maafmu, kalau saja aku mulai melupakanmu.

("nek, kini aku mulai memanjangkan rambut dan terus saja menghisap berbatang-batang rokok setiap hari")

Thursday, February 14, 2008

kelapangan hati


aku belajar tentang kelapangan hati, di suatu hari di patallassang, gowa, sulawesi selatan. namanya daeng ngewa. katanya;"sampaikan pada anakku, agar ia tak perlu bersedih. kita tak boleh menangis untuk yang seperti ini". kata yang satunya, dia dipanggil daeng nyarang, "kita memang tak pantas menangis untuk hal seperti ini". dengan matanya yang mulai kelabu melewati usia, mereka hanya memandang dari jauh juru sita pengadilan yang membongkar rumah dan menebangi pepohonan di bidang ladangnya. ia telah tinggal di petak tanah itu sejak 37 tahun lalu. rumah itu, satu-satunya tempat ia bernaung.

hujan turun deras. airnya tempias.

namun oleh kerabatnya sendiri ia digugat, dan pengadilan hingga mahkamah agung, menyatakan kalau ia tak lagi berhak atas tanah beserta segala isinya. dan oleh itu, maka sepasukan juru sita pengadilan negeri gowa, sulawesi selatan dan dijaga ketat aparat bersenjata, pun harus juga mengosongkan tanah yang tak lagi miliknya.

ia hanya duduk di bawah rumah warga, bersama beberapa orang warga lainnya, memandangi orang-orang yang tak dikenalnya sama sekali, mengangkuti bantal, piring-piring, pakaian, juga sisa lauk ikan asin pallu cella --sepertinya sisa makanan terakhirnya di rumahnya itu.

dengan dilapisi kantong plastik lecek, ia masih mengantongi dokumen tanah yang pajaknya ia bayar setiap tahunnya. juga sisa amplop balasan berstempel dari mahkamah agung bertahun 1996 (kita bisa saja menduga, di mahkamah sesibuk itu, siapa yang betul-betul peduli pada lelaki tua yang kehilangan hak, hanya oleh orang yang bahkan hampir tak pernah menjejakkan kaki di kampung itu).

ia tahu, ia merasa dizalimi, bahkan oleh kerabat dekatnya sendiri. diusir bahkan saat ia sementara menjalani sisa-sisa usianya hanya bersama satu-satunya cucunya. tapi, ia memilih berkata;"kita tak boleh menangis hanya karena itu," katanya. pun jika terusir dari rumah, tak boleh kita tangisi, lalu apa yang pantas kita tangisi, daeng ngewa? seberapa banyak kerelaan di ruang hati yang kau punya, hingga untuk setitik tangispun, tak kau beri tempat?

Tuesday, January 29, 2008

soeharto dan spongebob



pagi. pasarcidu baru mulai menggeliat. orang belum ramai lalu lalang. hanya beberapa pedagang yang baru menyiapkan dagangan mereka. sebagian terlihat hati-hati membuka bungkusan dagangan yang mereka kemasi setiap pasar usai. seperti membuka benda yang rapuh. seperti membuka harapan yang retas.

terbangun lebih cepat dan tidak bisa lagi tidur pagi seperti biasanya, maka kunyalakanlah televisi. berharap ada yang menarik yang disajikan kotak ajaib itu pagi ini. aku berharap ada cerita yang menarik pagi ini --sekedar menemaniku minum kopi hitam dan merokok. namun meski sudah hari kedua berselang, kotak ajaib itu tampaknya hanya menyediakan menu yang itu-itu juga; pemakaman suharto --orang yang pernah paling berkuasa di indonesia. semua tampak dengan hanya sedikit variasi. ada presiden susilo bambang yudhoyono yang membacakan pidato pelepasan jenazah yang sebentar lagi ditimbun tanah. ada yang bercerita tentang masa lalu yang gilang gemilang di bidang pertanian. ada yang bercerita tentag seorang pencopet yang kedapatan hendak mengais rezeki di pemakaman suharto di astana giribangun. ada yang bercerita tentang keputusan suharto yang memutuskan mantan presiden sukarno--pendahulunya dan juga pendiri bangsa ini, agar dimakamkan di blitar, jawa timur. dan bukan di istana batutulis, bogor, sebagaimana yang diwasiatkan. dan banyak lagi.. sebagian besar sepertinya sementara menegaskan kalau mereka masih setia pada bapak pembangunan ini. sebagian bahkan mengiringi dengan lagu-lagu heroik. salah satu kanal bahkan seperti mencoba memaksakan kalau "pak harto" adalah pahlawan yang harus
dipuji -agar kita tak lupa padanya dibandingkan superman ataupun batman.

aku seperti disergap jenuh. aku mengganti-ganti kanal dan kutemukan menu yang menurutku lebih menarik;spongebob and squarepants. dan aku seperti hanyut melihat film kartun dengan tokoh berwarna kuning ini (seperti warna dominan partai golkar, partai dominan di masa daripada pak harto berkuasa --namun ini tak membosankan rasanya) semuanya mengalir hingga film kartun ini selesai --musik penutup film kartun ini bahkan sempat membuatku turut bersenandung mengikuti irama yang kupikir seperti melodi petikan gitar.

aku bukan apolitis. juga sinis tentang negeri tercinta ini. bukan juga mencoba abai pada apa yang hangat di republik ini. namun gempuran berita sepagi ini rasanya membuatku sedikit muak. apalagi tentang itu-itu saja.

selamat pagi pasarcidu. selamat pagi indonesia.

Friday, January 25, 2008

ia akan datang

ia mengabari kalau ia akan datang lagi. aku tak tahu; apa aku harus berbicara tentang rindu yang telah kuperam, sejak ia memutuskan pergi. tapi seperti burung-burung layang yang berpindah saat musim dingin menuju daratan yang lebih hangat, suatu waktu akan kembali terbang kembali ke daratan ia berasal...aku tahu, ia suatu waktu pasti akan kembali ke tempat ia berasal; ke kehidupannya yang tentram dan nyaman. lalu hidup kembali seperti biasa. berputar.

satu hujan dan pak tua peramal


sebuah malam. terjebak hujan. aku ku menepi mencoba berteduh pada sepotong atap kios yang berdiri di dekat rerimbunan pohon. hujan terus turun. lelaki tua yang sudah duduk duluan di sampingku membuka percakapan; perkenalan biasa mulanya. ia berasal dari salah satu kabupaten di bagian selatan propinsi ini. ia datang ke makassar, dan menawari jasa membantu orang yang kesulitan dengan hubungan dan keturunan. setiap malam, ia menumpang tidur di stasiun pengisian bahan bakar yang sudah tertutup.

aku membakar rokok. menawarinya, ia berterimakasih untuk rokok, yang menurutnya baik di cuaca sedingin hujan malam itu.

ia sempat menceritakan bagaimana kedua kakinya terputus dihajar granat. juga tangan kirinya yang kini kesulitan mengenakan jam tangan. "aku dulu pejuang," tegasnya. meski dengan pelan --tapi serasa juga dengan sepotong harap, ia masih sementara mengurus uang tunjangannya sebagai veteran pejuang. kini tahun ke-tujuh sudah ia mengurusnya, dan dengan sisa senyumnya; ia masih yakin akan memperolehnya dalam waktu dekat ini. namanya "maling" atau daeng maling (ia sempat menjelaskan, alau nama itu di jawa berarti pencuri --dan aku hanya mengangguk)

di luar masih hujan. tempiasnya mulai mengenaiku. aku kembali membakar rokok. menawarinya sebatang lagi, ia hanya menyimpannya dalam tas; "sebentar baru kubakar, menjelang tidur," katanya.

ia percaya kalau bisa meramal sepotong kehidupan seseorang dari hanya melihat matanya. ia percaya saya akan memiliki cukup baik kehidupan. saya hanya tersenyum. ia sempat meramal orang yang juga berteduh bersamaku, kalau hubungannya dengan 2 istrinya tak berjalan cukup baik. orang itu mengaku kalau ramalan itu tepat. lalu mereka terus berbincang. sesekali aku tersenyum mendengar mereka berbincang. sempat ia menduga jejak tangan lelaki yang sudah cukup berumur itu.

[kalau saja tampakannya seperti tukang nujum gypsi yang berwajah dingin dan bola kristal,mungkin aku tak terkejut] lalu ia menunjukku; "dari matamu, kulihat kalau kau mata keranjang. kau banyak kekasih,"... hmmm, aku hanya tertawa. bagaimana mungkin? aku lalu pergi menembus hujan yang masih cukup deras. "mata keranjang?," batinku. ah, ada-ada saja...kalau saja iya, tak perlu aku tersiksa kenangan, seperti biasa jika turun hujan. ada-ada saja pak tua itu.

Saturday, January 05, 2008

lorojonggrang


seringkali kubayangkan ia sebagai lorojonggrang. perempuan di masa dinasti syailendra yang meminta dibangunkan candi sebelum disunting sang pangeran. seribu buah candi harus selesai sebelum fajar tiba. ia sebenarnya tak ingin bersama sang pangeran, namun tak mampu menampik maksud sang pangeran, maka ia pun menyusun muslihat agar candi sang pangeran tetap tak lengkap. mitos ini melekat pada candi prambanan yang juga disebut sebagai candi lorojonggrang.

kubayangkan ia sebagai lorojonggrang, namun aku tentu saja tak bisa membayangkan diri sebagai pangeran yang bisa memerintah sepasukan jin ifrit untuk membantuku mencapai maksudku. aku hanya pejalan yang fakir, yang meniti jalanku sendiri. mungkin kelak, pada akhirnya aku memang harus berdamai dengan kesunyian takdirku..