Thursday, August 31, 2006

Senja di Losari

---dear tejji kara
Aku rindu senja.
Ketika kau tertegun dan tak ingin ada suara yang menyela bergulirnya bundaran merah cair itu di kaki langit. Kau ingin kita diam, hanya melihat ia hingga hilang menyisakan lembayung.

Lalu Senja pada manik matamu. Seperti bara.tembaga di dasar danau. Kubayangkan yajuj-majuj yang ditawan raja zulkarnain, di kaki langit terjauh, tempat kaldera menyala merah bara yang baka. Dimana ia serupa aku; terpenjara. Dan kekal ia pada matamu.

Aku rindu senja.

sajak kenangan

Kau pergi dan mungkin aku akan segera menutup pintu. Mengunci semua jendela dan lubang angin agar tak kuindera lagi suara cuaca dari luar tempat kita pernah bermain dengan salju, matahari dan guguran daun.

Kau akan pulang pada rahim tempat kau bermula, katamu. Tempat semua dongeng tentang lampu-lampu yang tak pernah padam, tempat matahari tak pernah benam ditelan musim. Kau ingin kembali pada hari ketika waktu belum terputar dan membawamu pada kenyataan.

“Ah waktu kalau saja semua baka, dan kita tak perlu menjadi tua. Kita bisa jadi peter pan, yang melintasi angin dan awan tanpa perlu takut terluka”
“Tapi kita bukan peter pan, dan waktu tak mengizinkan kita kekal” Maka kau harus berangkat, mengemasi semua yang sempat tertinggal.

Usai kau berkemas, mengapa tak kau kemasi semua kenangan ini, agar tak mengusik di tiap sunyi malam. Meski telah kukunci semua jendela, lubang angin dan pintu. Mengapa kau biarkan kenangan ini tertinggal; kini menjelma semak yang tumbuh cepat di ingatanku. Dan ia tak juga ranggas meski telah berkali kemarau tiba.
2006

::orkestra pasar cidu

Pagi. Hari masih terang tanah. Cahaya matahari jauh di timur masih melukis barisan pegunungan bulusaraung. Aku di beranda, menggenggam segelas kopi yang masih panas. Melihat satu persatu mereka tiba. Semuanya berkiblat ke satu hadap. Semuanya menghadap ke jalan. Lalu mulai menyusun harapan mereka untuk hari itu. Suara masih seperti bisik yang mulai agak keras.

Seorang ibu muda mulai mengangkati balok-balok kayu untuk dijadikan tatakan di meja jualannya. Sebelumnya, Ia meletakkan balok perlengkapannya itu di balik meja. Ia menjual kelapa butiran, jadi harus meletakkan balok-tatakan, agar kelapa bundar miliknya tak menggelinding jatuh ke jalan. Satu per satu disusunnya, seperti membingkai tepi meja. Lalu bersama bedak yang baru saja ia pupur di wajahnya, ia pun tersenyum; dan
Sesekali bersenandung; mungkin membayangkan persetubuhannya semalam.

Datang Lelaki bertubuh besar gempal, berkumis lebat menyandarkan kendaraannya. Diturunkannya bakul berisi sayuran gandengannya –bakul ini 2 buah, dipasang bersisian, dalam bahasa Makassar, disebut, Kamboti. Ia datang dari Takalar, sekitar 70 kilometer dari tempat ini. Pelan ia mulai memasang tenda, dinaikinya bangku yang kuragu bisa menopang tubuh raksasanya. Tapi ia naik. Berjinjit dan satu-satu mengikat tali tenda miliknya. Dari punggungnya, tersingkap sebilah pisau besar-berkilat yang biasa ia gunakan menggurus sayur-sayurnya. Ia sempat tersenyum melihatku di atas beranda.

Aku teringat cerita orang-orang, ketika lelaki bertubuh besar ini, pernah tak muncul selama sepekan. Rumahnya, kata orang-orang, baru saja dimasuki kawanan perampok, dan Ia sendirian mengusir kawanan itu, setelah membunuh seorang di antaranya. Dan warga kampungnya ramai-ramai mengaku telah menghakimi perampok yang tewas itu, agar lelaki bertubuh besar ini tak diciduk polisi. Kubayangkan lelaki itu mematahkan batang leher perampok itu, seorang diri. Atau menebas kawanan ini seperti Miyamoto Musashi menebaskan samurainya. Apakah ia tersenyum saat membunuh perampok itu.

Hari mulai terang. Matahari sudah naik. Sinarnya menerpa wajahku. Kuhirup kopiku, masih hangat. Di timur, langit kian terang.

Di persipangan, kulihat penjual ayam menunggui dagangannya; ayam mati yang dihinggapi satu-dua ekor lalat. Wajahnya agak pias Beku tanpa senyum. Hanya duduk melihat orang lalu lalang. Mungkin ia telah tiba pagi-pagi sekali dan membunuhi ayam-ayam putih itu, sebelumnya melemparnya ke dalam air panas. Ia jagal yang berani merenggut kehidupan, tapi ia seperti lelaki kesepian yang duduk menunggui jenazah kerabatnya yang telanjang tanpa kafan yang entah kapan dimakamkan. Meski tak ada temaram lilin, namun wajahnya cukup menegaskan suasana duka.

Di seberang. Penjual rempah bertubuh pendek, mulai menyusun semua dagangannya dengan cepat. Satu persatu dan tergesa. Merica. Ketumbar. Bawang. Pala. Kunyit. Rasanya ia seperti perempuan tukang masak bertubuh tambun di rumah seorang Portugis, yang baru saja merampas rempah-rempah di Maluku atau mungkin dari Malaka.

Dari selatan, terseok-seok becak mengangkut potongan tulang-tulang kerbau, yang masih berwarna merah darah. Paling di atas, tengkorak kepala dengan mata yang masih dalam liangnya. Membelalak. Berkali-kali ia mencoba menghalau penjual yang menghalangi jalannya. Ia dari rumah jagal dan sepertinya merasa pulang sebagai pahlawan. Atau ia membayangkan isi tubuhnya sendiri. Jika saja ia yang teronggok di becak yang tungganginya.

Lalu penjual ikan datang. Ia baru saja dari tepi lautan. Mengambil isi perut kapal yang baru saja pulang berlayar bermalam-malam, bersenggama dengan laut, malam dan cuaca. Dan ikan-ikan itu pun terlahir. Ia segera menjual ikan-ikan yang serupa manekin beku. Telentang dengan mata tanpa kelopak.

Penjual kue memajang kue-kuenya. Gorengan-gorengan yang bernapas seperti potongan-potongan tangan atau kaki, membuat kaca lemari berembun minyak.

Suara mulai bising, berisi banyak percakapan. Satu persatu mulai memainkan alat musiknya dan jadilah orkestra Pasar Cidu. Matahari mulai meninggi.