Monday, October 20, 2014

Daeng Saodah

(penggalan ini sedianya akan jadi bahan novel tentang Pasar Cidu, namun setelah beberapa hari lalu Daeng Saodah berpulang, maka kujadikanlah ini sebagai memorabilia buat beliau)


Meski memaksa mengingat, aku tak pernah tahu sejak kapan Daeng Saodah tinggal di Pasar Cidu. Aku hanya ingat ia berjualan kelapa dan berbagai rempah di depan rumah kakek tempatku menghabiskan masa kecil. Dengan tubuhnya yang kecil ringkih ia dengan lincah memulai hari mempersiapkan dagangannya. Ia menjual buah kelapa dan segala macam turunannya. Mulai dari buah Kelapa, sabut dan tempurung hingga minyak kelapa yang selalu dimasaknya dari sisa kelapa yang telah berubah bentuk menjadi kopra.

Selain buah kelapa, barang turunan lainnya yang dijual Daeng Saodah, adalah kulit pembungkus kelapa, baik itu kulit luar yang disebut sabut hingga tempurung kelapa. Sabut dan tempurung kelapa sering dipakai sebagai arang untuk membakar ikan ataupun memanggang daging. Buah kelapa yang sudah dikupas dari tempurungnya memiliki usia tersendiri. Setelah berusia beberapa hari, kelapa ini tak bagus lagi untuk dijadikan bahan makanan. Maka Daeng Saodah akan membuatnya menjadi kopra dengan menjemurnya. Kopra ini akan dimasak hingga beberapa jam menggunakan kayu bekas ataupun tempurung untuk dijadikan minyak goreng.

Minyak goreng yang dimasak dari kelapa ini baunya gurih dan wangi. Berbeda jauh dengan minyak sawit curah buatan pabrik. Namun berbeda jika minyak itu dilumur ke rambutmu. Setiap akan berangkat ke taman-kanak-kanak, nenekku sering mencelup sedikit jarinya ke kaleng besar berisi minyak kelapa Daeng Saodah itu lalu diusapkan ke rambutku yang tipis. Karenanya aku selalu ingat bau sengak dari minyak kelapa di rambutku jika terlalu lama terjemur terik matahari.

Kelapa, santan, dan minyak, dari situlah hidup Daeng Saodah berputar. Tapi kami tak pernah tahu sejak kapan ia tiba dan menetap di salah satu lubuk labirin Pasar Cidu ini. Tubuhnya kurus dan kecil, nyaris ringkih. Namun tenaga dan semangat yang tersimpan di dalamnya jauh lebih kuat. Ia bangun setiap dini hari sebelum azan subuh berkumandang. Setelah menunaikan sholat subuh di mesjid, ia mulai bekerja saat hari masih gelap. Dan bagi sebagian besar warga Pasar Cidu yang masih terlelap, itulah penanda pagi sudah dimulai, bukan kokok ayam jantan peliharaan Pak RT. Betapa tidak, raungan mesin pemarut kelapa miliknya yang bisa jadi seusia dirinya saking tuanya, begitu memekakkan telinga. Dan bagiku, itulah alarm sebelum nenekku datang membangunkan tidurku yang sebenarnya sudah dibangunkan sejam yang lalu oleh pekikan mesin tua itu. Aku selalu ingat deru Helikopter yang melintas di atas Pasar Cidu, saat Bapak Presiden Soeharto dikabarkan akan berkunjung menyaksikan hasil pembangunan di salah satu daerah di propinsi ini.

Setiap hari ia bekerja dari subuh hingga hampir tengah malam. Aku hanya kadang menemukan ia bersitirahat sekedarnya selepas sholat Lohor, saat ia duduk terkantuk-kantuk di bangku kayu miliknya. Ia berjualan hingga lepas isya, dan lapak jualannya itu hanya ia tutup dengan terpal sekedarnya. Khusus mesin pemarut andalannya, dirantai ke kaki meja agar tak ada yang nekat mencurinya demi dijual ke penampung besi bekas atau melempar-jangkarkan mesin itu demi menyelamatkan ketenangan fajar di Pasar Cidu.

Tapi bagi kami, terkhusus buatku. Kehadiran daeng Saodah membawa berkah tersendiri. Selain Bos Besar yang biasanya memberi kami pekerjaan mengambil air, ia juga salah satu yang menyimpan uang jajan tambahan kami. Apalagi di musim permainan seperti musim layangan maka ia adalah penyimpan tiket untuk mendapatkan uang tambahan pembeli layangan dan benang berkualitas lebih bagus. Juga demi mainan yo-yo yang sedikit lebih bagus dari yang bisa dijangkau sisa uang jajan kami.

Setiap kami datang menawarkan jasa, ia hanya mengangguk. Bagi kami, Ia seperti God Father yang bersedia menerima siapapun yang tiba menjual tenaga asal rela dibayar murah. Banyak pekerjaan yang bisa kami lakukan di onggokan butir kelapa miliknya. Biasanya, karena tak harus tidur siang, kami menuju lapak Daeng Saodah.

Setelah remaja tanggung yang juga mencari uang tambahan selesai mengupas kelapa dari tempurungnya, kami bisa menjadi tukang bungkus tempurung yang selanjutnya dijual per kantong. Ketika menjadi pemula, caranya tak bisa sembarangan. Untuk membungkus tempurung kelapa ke dalam kantong plastik, kami harus menyusun potongan tempurung kelapa yang berukuran kecil di bagian bawah selanjutnya potongan lebih di atas ditaruh di bagian atas. Selain agar susunannya lebih bagus, susunan itu akan lebih menarik bagi pembeli. Setidaknya begitu tutorial singkat dari Daeng Saodah yang dijelaskan, juga dengan cara yang cepat dan tergesa dengan sebagian besarnya adalah potongan bahasa Mandar, kampung halaman Daeng Saodah, yang tak kami mengerti. Intinya, jika tak berhati-hati membungkus tempurung ini, sudut kulit kelapa yang tajam itu bisa membuat kantong plastik robek. Dan bagi Daeng Saodah itu, bisa jadi adalah pemborosan yang besar. Tak ada kesepakatan sebenarnya tentang besaran upah. Namun kantong plastik yang robek, dan tempurung yang berceceran adalah alamat hal buruk atau upah yang lebih kecil dari biasanya.

Setelah sekian lama menjadi tukang bungkus tempurung kelapa, kami bisa mulai belajar mengupas kelapa dari tempurungnya atau disebut papara’ kelapa. Ya kami harus mempelajarinya. Sebab jika salah mengupas kelapa, kami bisa saja membuat kelapa itu retak atau pecah dan airnya berceceran. Harga kelapa yang pecah dan tidak lagi berisi air kelapa di dalamnya berbeda dengan kelapa yang masih utuh dengan air kelapa di dalamnya. Kulit tempurung kelapa yang keras, dikupas menggunakan parang atau golok pendek dengan bilah yang tebal dan tajam. Parang jenis itulah yang terbaik digunakan untuk mengupas kelapa dari tempurungnya.

Jika belum terlatih kami harus belajar mengupas kelapa yang memang sudah pecah saat pengiriman. Upahnya separuh atau kurang dari upah mengupas sebutir kelapa utuh. Sebelah tangan mengupas kelapa menggunakan parang pendek yang bilahnya tebal untuk memisahkannya dari daging kelapa, sementara tangan yang satu memegang dan mengendalikan kelapa agar parang bisa mengenai titik tempurung yang pas, agar bisa dikupas dengan lebih mudah.

Resiko mengupas kelapa cukup besar karena selain kegagalan yang menyebabkan kelapa pecah yang berarti upahnya dipotong, jika tak berhati-hati, kau bisa saja kehilangan ruas jarimu --terutama jari jempol.
Jika sudah terlatih, maka kau bisa menjadi pa-papara’ seperti memiliki mata di tanganmu yang menggenggam parang. Tanganmu akan lincah menari mencukur bersih tempurung kelapa yang keras itu. Aku sering melihat beberapa pengupas kelapa atau disebut pa-papara’ yang dikenal lincah, mengupas kelapa sambil mengobrol atau tertawa-tawa bersama kawannya. Dan hanya butuh tak sampai sepuluh detik, ia telah menyelesaikan kelapa yang dikupasnya. Dalam sekali kontrak mengupas kelapa, ia bisa mengupas hingga ratusan butir kelapa.

Jumlah anggota terlatih ini tak banyak. Pa-papara' yang berkeahlian mumpuni selalu dicari saat menjelang lebaran, sebab permintaan santan kelapa untuk penganan lebaran meningkat. Beberapa nama beredar saat menjelang lebaran. Biasanya sepekan sebelum lebaran, para penjual kelapa termasuk Daeng Saodah sudah mencari pa-papara’ ini untuk dipekerjakan mengupas kelapa yang jumlahnya hingga seribuan butir. Agar lebih menarik, selain upah yang lebih tinggi beberapa rupiah, mereka juga sering mendapat rokok agar betah mengupas kelapa hingga jauh malam. Dan bagi remaja tanggung di Pasar Cidu, proyek itu bisa menjadi tiket untuk membeli celana ‘blue-jeans’ yang cukup kaku untuk dipakai ke rumah gadis incaran demi menyambung silaturahmi atau bibit asmara.

Itu tentang pa-papara' yang terlatih, soal urusan kulit kelapa ini, karirku tak panjang di dunia mengupas kelapa atau papara’. Saat menjalani ‘masa magang’ dengan mengupas kelapa sisa yang sudah terlanjur pecah, meski aku telah cukup bertekun, aku nyaris memangkas ruas jempolku. Darah langsung bercucuran dari jariku yang terkena parang. Aku nyaris saja menangis melihat banyaknya darah yang keluar dari jariku yang perih dan berdenyut-denyut nyeri.

Namun untuk luka seperti itu, tak perlu ada kepanikan berlebihan. Nenekku hanya maklum saat melihat tanganku berlumur darah. Daeng Saodah juga cukup mengeluarkan asuransi pertanggungan andalannya. Ujung jempolku cukup dibebat dengan plaster obat (yang di Pasar Cidu disebut hendiplas, mengacu pada merk Handyplast), dan untung saja parang tajam itu tidak memotong tulang jariku. Rupanya banyak orang yang melihatku, termasuk Nenekku dan Daeng Saodah tentu saja sudah menduga kalau aku tak punya bakat. Kata mereka karena aku kidal. Dan Dunia Pasar Cidu yang dikuasai ‘mayoritas kanan’ menganggap orang yang kidal hanya berbakat menjadi seperti Elias Pycal, petinju yang mengharumkan nama Indonesia lewat kepalan tangannya saat itu.

Pertimbangan dan trauma itu juga yang membuat aku memilih karir lain di Pasar Cidu. Yang paling utama adalah menjadi pengangkat air bagi Bos Besar. Dan kedua tanganku, terutama tangan kiriku yang tidak piawai menarikan parang pendek di atas butir kelapa, terasa lebih berguna menghasilkan recehan dengan menimba air dan mengisi baskom besar milik Bos Besar pengutip retribusi pasar.
..demikianlah..
Selamat beristirahat di sana, Mak.. Salam pada Nenekku yang telah lama mendahuluimu. Semoga dilapangkan tempatmu disana, seluas langkahmu yang selalu menyambung silaturahmi..

Friday, November 08, 2013

Warung Kopi, Jantung Pasar Cidu

Di Pasar Cidu, pagi selalu dimulai di warung kopi. Sepertinya inilah darah pertama yang menentukan bagaimana hidup warga di kawasan Pasar Cidu dimulai. Dengan gelas-gelas kopi dan perbincangan yang rutin, ganti berganti warga di sekitar pasar ini datang ke warung kopi kecil yang dibangun melengket di dinding bekas gudang rotan. Dengan dinding kayu dan beratap seng sederhana, beberapa meja panjang maka jadilah warung kopi ini menjadi melting pot warga Pasar Cidu. Tempat warga mencair dan bertatap muka.

Begitu hari belum terang tanah, kursi di warung kopi yang sebenarnya tidak terlalu banyak, mulai terisi. Bapak-bapak haji yang pulang dari masjid usai menunaikan salat subuh, singgah untuk memulai sarapan mereka.Tempat mereka adalah di meja panjang di belakang persis berbatasan dengan tembok gudang. Masih membawa sajadah dan sorban yang menjadi penghangat, sekadar penahan dingin dari kulit leher mereka yang telah renta. Sorban model kafayeh yang selalu dipakai Yasser Arafat, pentolan PLO, biasanya berwarna putih dengan garis pembagi berwarna hitam atau merah ini juga menjadi penanda kalau mereka telah menunaikan haji.

Perbincangan mereka mulanya hanyalah hal yang remeh dan sederhana. Tentang kondisi kesehatan mereka dan orang-orang yang mereka kenal—juga, jika baru saja ada tetangga atau rekan mereka yang berpulang, maka sempatlah mereka membahas bagaimana almarhum di masa hidupnya. Tak perlu soal pencapaian mereka di masa hidup, penghormatan kepada yang telah selesai berurusan dengan hidup ini tetap penting dengan mengenang kebaikan mereka yang telah berpulang. Mereka selalu membincang soal itu dengan nada getir, sebab meski ajal tak pernah jelas kapan tibanya, namun bagi mereka, hal itu mengintai lebih dekat.

Setelah itu barulah mereka membincang hal di luar diri mereka.Tentang harga beras yang naik karena panenan yang gagal dihajar wereng coklat dan pemerintah yang saat itu terus menggenjot swasembada pangan. Aku selalu ingat Bapak Presiden berpidato di televisi tetangga. Bagi sebagian Pak Haji ini, pemerintah tidak boleh kalah oleh wereng coklat dan harus terus berbuat bagi masyarakat. Bagi sebagian lainnya, panenan yang gagal bisa menjadi hal yang metafisik: jika pemerintah tidak mencegah kemungkaran, maka hasil panen akan selalu gagal seperti yang termaktub dalam kisah-kisah umat nabi di kitab suci. Dan perdebatan di bagian ini selalu panjang dan bertele-tele. Meski aku tak mengerti benar, seingatku ada seorang di antara mereka yang mengutip masa paceklik yang dikisahkan dalam mimpi Raja Mesir yang ditafsirkan Nabi Yusuf, putra Nabi Yakub.

Lalu di bagian inilah mereka kerap berdebat kencang sambil sesekali menyeruput kopi hitam, dengan gula yang sedikit demi menghindari kencing manis di usia mereka yang tak lagi muda. Beberapa di antaranya merokok. Salah seorangnya, si juragan tembakau, membawa kotak anyaman pandan yang berisi tembakau dan lembaran kertas. Ia melintingnya menjadi sebatang rokok. Ketika dihembuskan, asap rokok ini menyembunyikan wajah pemiliknya dalam kabut. Semakin hangat perbincangan semakin kencanglah asap beraroma tembakau itu mewarnai udara pagi. Dan sepertinya, selain asap dari kompor yang memasak kopi arabika, asap itulah yang turut mewarnai dinding yang semula dilapisi cat kapur putih menjadi kuningan kusam.
Matahari mulai tampak. Satu per satu anggota kelompok ini pulang. Ada yang membuka kios di pasar, ada pula mengisi waktu di rumah mereka dengan menunggu salat dhuha, atau sekadar bermain dengan anak cucunya.Tak ada janji besok mereka akan bertemu lagi.

Dan berdasar jadwal yang entah siapa menetapkannya, kelompok kedua warung kopi ini mulai datang. Umumnya yang datang adalah usia pertengahan yang menjadi pegawai kantoran, atau mereka yang akan membuka toko. Mereka membutuhkan penyemangat sebelum bertempur meraup laba atau duduk berdiam di kantor. Mereka biasanya telah memakai seragam pegawai negara ataupun pakaian rapi lengkap dengan rambut yang disisir ke samping. Mereka tak pernah ingin menunggu terlalu lama pesanan mereka diantarkan. Mungkin berkejaran dengan jadwal masuk kantor, sedikit saja pesanan mereka tertahan, mereka akan segera menyeru pada kami pelayan di warung kopi ini.

Umumnya kelompok ini memilih kopi susu dengan menyebut ‘Tipis’ atau ‘Tebal’, dipakai untuk menunjukkan kadar kepekatan kopi yang dicampur susu kental manis. Mungkin yang pertama menahbiskan penyebutannya membayangkan rasa kopi seperti lembaran-lembaran kertas yang akan lekat pada lidahmu lalu lebur menjadi lembaran-lembaran lain yang melekat di lambung hingga aliran darah. Bersama mereka, hari mulai terasa tergesa. Dan si peracik kopi akan lebih kencang mengangkat-turunkan tapisan berisi biji kopi yang telah digiling kasar dari cerek kuningan, lalu memindahkan cairan kopi kental ke dalam gelas yang telah diberi susu kental. Takaran tergantung keinginan tadi: tebal atau tipis.

Selain Tebal-Tipis, kadang ada yang memesan kopi yang dicampur telur ayam kampung. Sepertinya mereka percaya kandungan protein kuning telur ayam kampung akan memberi mereka tenaga lebih untuk bekerja lebih giat, atau mengembalikan semangat mereka setelah melewati malam dengan kepayahan.

Biasanya mereka membaca koran yang baru saja tiba, lalu berbincang sekadarnya tentang berita yang sedang hangat. Tak banyak jenis koran waktu itu. Setelahnya, tak pernah cukup lama, sebagian dari mereka kemudian beranjak. Melihat dari cara mereka menengok arloji di pergelangan tangan, beberapa di antaranya memang mengejar jam masuk yang ditentukan dengan mesin pencatat kehadiran dengan memasukkan kertas ke dalam celah mesin. Pengunjung lain yang tidak harus mengejar detik jam di mesin absen, juga bergegas kembali ke toko untuk mencoba peruntungan; dengan harapan ’setebal laba’ dan ‘setipis rugi’



Lalu tibalah kelompok yang utama di warung kopi ini.Aku menyebut ‘kelompok utama’ sebab merekalah pengisi waktu terlama di warkop ini. Ibarat babakan drama, maka setelah prolog singkat, maka inilah babak utama yang panjang. Merekalah para Perantara atau Makelar. Atau aku, beberapa waktu kemudian, lebih suka menyebut mereka sebagai Si Pembawa Harapan, meski untuk hal yang mustahil. Mereka selalu datang dengan semangat penuh dan senyum yang terkembang. Suara mereka selalu optimis dan penuh sugesti. Lidah mereka penuh puji dan janji.

Cara mereka meminta kopi lebih tergesa dibanding kelompok pegawai. Seolah mereka berkejaran dengan waktu yang lebih pendek dari orang lain. Kelompok ini selalu memesan kopi susu ‘tebal’. Begitu kopi pesanan tiba, mereka hanya akan menyeruputnya sedikit, tampak sekadar merasakan panas kopi menggigit lidah mereka. Setelahnya mereka akan menyulut rokok lalu mulai berbincang sesama mereka.

Dibanding kelompok sebelumnya, sebenarnya mereka sangat cair. Dengan mudah mereka membaur ke meja siapa pun, kendati orang yang semeja dengan mereka tak mereka kenal sebelumnya. Dengan mudah percakapan segera mengalir. Kopi susu di depan mereka masih penuh dan mengepul harum. Suara mereka menggebu membincangkan proyek ataupun rencana bisnis jutaan yang akan mereka garap. Ada tanah seluas berhektar-hektar yang akan dibeli oleh pengusaha dari luar negeri karena akan dibangun pabrik pengolahan sesuatu yang entah apa. Atau proyek pemerintah yang bernilai ratusan juta. Dan yang paling hangat dan menggoda, adalah perburuan barang antik, seperti emas Soekarno yang mereka anggap masih berdiam di suatu tempat menunggu tangan-tangan yang terampil dan beruntung menemukannya. Perburuan dollar brazil (yang terakhir kukenali sebagai cruseiros dan dinyatakan tidak berlaku lagi) yang jika diuangkan kabarnya bisa mencapai miliaran rupiah. Cara mereka bercerita begitu meyakinkan, seolah mereka telah menerima titah dari Presiden Soekarno untuk mencairkan Dana Revolusi. Janji terus mengalir membuai mereka yang tidak waspada. Matahari mulai tinggi tak ada lagi kesan tergesa yang awalnya mereka bawa ketika datang. Kopi di depan mereka mulai dingin dan tinggal separuh.

Hari beranjak siang, obrolan mereka akan bergeser ke hal yang lebih sederhana. Biasanya mereka akan saling menunjukkan jam tangan atau arloji yang mereka pakai. Jika salah satu menunjukkan arloji yang mereka pakai, menyebut harga dan keunggulan merk, lainnya hanya mengangguk mengiyakan. Begitu pun sebaliknya. Meski kelihatannya mereka saling meragukan keaslian dan kejujuran rekan semeja mereka, tetapi siapa peduli kejujuran di meja warung kopi?

Setelah arloji, ada yang menunjukkan cincin akik di tangan mereka. Ada banyak jenis batu yang melekat di cincin perak atau cincin dari besi putih yang mereka pakai, permata mata kucing dari pedalaman Kalimantan, batu rubi, sampai batu safir dengan alur menyerupai tembaga. Konon garis yang berwarna tembaga yang melekat di batu safir mereka, bisa terus tumbuh dan membentuk pola-pola yang begitu aneh tetapi disebut indah. Dan tiap pola, bagi penyuka batu ini, dipercaya memberi keberuntungan tersendiri. Ada yang bisa memberi manfaat keberuntungan dalam berdagang, sebagai pengasih, sebagai penjaga dalam perjalanan, bahkan pemberi keselamatan dalam setiap usaha.

Namun di waktu lain, jika ada lagi batu permata lain diceritakan pemiliknya, mereka yang saling kenal ataupun hanya kebetulan berada di meja yang sama, turut merubung meneliti batu dari cincin yang diedarkan dari tangan satu ke tangan yang lain. Bahkan ada yang sengaja mengambil kacamata baca dari sakunya untuk mengamati lebih dekat alur motif dari batu yang kehebatannya sedang diceritakan si empunya. Batu-batu yang cantik dan konon kaya manfaat ini tentu saja bisa dijual; meski itu kadang diakui sebagai warisan dari moyang yang telah wafat. Harganya tidak terlalu tinggi. Mereka kadang menyebut harga puluhan ribu, tapi aku tak pernah melihat mereka berjual-beli cincin yang mereka bawa. Meski kadang aku pernah melihat langsung ada orang yang nyaris memakai cincin akik di setiap jari tangan yang dimilikinya, dan tetap saja ia tak kelihatan begitu gembira dan kaya raya. Mungkin cincin itu belum memberi khasiatnya, pikirku. Malah seringkali, setelah menceritakan kisah beberapa cincin yang melekat di jarinya, ia akan selalu berkata pada para penyimaknya ketika pamit, “Tolong bayarkan dulu, ya. Nanti kuganti uangmu!” Mau tak mau, ada saja di antara para penyimak itu yang menyanggupi. Mungkin itulah khasiat cincin yang dipakainya—kusebut dalam hati sebagai “Cincin Pembayar Kopi”.

Di kali lain, obrolan tentang khasiat batu lalu menjurus pada jimat-jimat yang sampai kini tak pernah kusaksikan. Istilah awam di Sulawesi Selatan untuk benda semacam ini adalah Kulau (mustika). Kulau ini ada banyak jenis, karenanya lebih sering sebagai dongeng, yang tak perlu diusut dari mana muasalnya. Ada Kulau Besi yang akan membuat pemakainya kebal senjata tajam, karenanya sering dipakai para pendekar dan jagoan. Kulau Air yang akan menjagamu agar tidak tenggelam di sungai ataupun lautan. Kulau ini dianggap cocok bagi mereka yang suka berlayar. Ada Kulau yang mendinginkan hati yang panas, menjagamu selama merantau. Ada Rantai babi sampai tanduk kucing. Dan yang menakjubkan sekaligus membingungkanku; ada juga mantera untuk mencegah istri atau kekasih berkhianat selama sang suami atau kekasih memburu peruntungan di negeri orang. Namun sungguh aku belum pernah melihat satu pun orang yang memakainya di warung kopi itu meski cerita tentang benda yang menakjubkan itu hampir setiap hari kudengar.

Saat sore hingga petang menjelang kelompok utama terus bergantian mengisi kursi di warung kopi yang terkenal di kawasan utara Kota Makassar.Warung kopi ini seperti halte tempat mereka singgah mengaso setelah jauh berjalan mengais peruntungan sebagai perantara berbagai hal. Segalanya bisa dimulai di meja warkop dengan membincangkan jam tangan kualitas rendah, batu permata dengan segudang kisah, hingga motor bekas ataupun baru titipan dari orang dealer motor yang belakangan juga mulai menjamur di Makassar. Hingga petang obrolan tentang sekian kemungkinan terus mengalir. Hingga jalan di depan warung kopi mulai remang dipeluk malam. Lalu mereka pulang, siap dengan harapan baru keesokan harinya.


tulisan ini pernah dimuat di www.makassarnolkm.com


Sunday, March 10, 2013

Capung yang tiba sore

;sofia
Sore yang setengah sendu, setelah berkali-kali hujan singgah di beranda. Lalu belasan ekor capung berwarna coklat keemasan terbang tak jauh di depan jeruji beranda, mengapung di udara seperti menyapa. Tertegun, sekelebat ingatan masa kecil tentang serangga bermata cembung itu. Kami sering berebut mengejarnya di semak dekat rumah, saat kemarau tiba. Atau kadang, mengendap seperti pencuri demi bisa menangkapnya.
Ingin kupanggil Sofia untuk menceritakan serangga cantik itu. Tapi baru tersadar kalau putriku itu sedang berlibur bersama sanak menikmati permainan elektronik di salah satu mall di selatan kota. Nak, Mungkin kini musim telah berganti dan selera telah bersalin lain, tapi kelak aku akan mengajakmu menyapa capung yang tiba sore di beranda kita..

Tuesday, December 25, 2012

pengemis yang terluka



nak, entah mengapa ingatan ini menggangguku. aku ingin bercerita padamu tentang seorang anak yang meminta-derma di perempatan jalan dekat rumah. begitu lampu merah menyala, maka ia akan gegas datang menyodorkan tangannya yang tertekuk menengadah seraya dengan wajah yang -dibuat- memelas ia meminta selembar ataupun sekeping koin recehan.

yang sedikit berbeda dengan beberapa anak yang mengemis sebelumnya; sambil berjalan, kaki kirinya diseret rapat di atas aspal untuk membuatnya terlihat pincang. meski aku merasa tak ada masalah dengan kakinya dengan melihat bentuk ataupun tak adanya luka yang membuatnya bisa pincang dan terlihat separah itu, namun anak belasan tahun itu tetap menyeret kakinya.

tak banyak yang ia minta sesungguhnya. bagiku ia malah berkorban terlalu banyak dengan menyeret kaki-di aspal, tanpa alas kaki pula, untuk sekedar selembar-dua uang kecil dalam sekali lampu merah.
namun aku tak urung memprotes aktingnya yang buruk; "ndak usah menyeret kaki, nanti malah kau tidak bisa jalan kalau kena apa- kakimu itu" kataku. dia hanya memandangiku sambil berusaha mempertahankan akting memelasnya yang sedikit lebih baik dari akting pemain sinetron di layar tivi kita. aku tak memberinya recehan karena merasa terganggu pada akting menyeret kaki-nya yang berlebihan. apa perlunya ia pura-pura pincang dan terluka demi uang kecil yang tidak sebanding menurutku.

lalu lampu hijau, dan aku pun berlalu. lalu sekelebat ingatan menegurku. kau tahu mantan preisden negara ini? hingga hayatnya usai, ia telah lolos dari berbagai persidangan dan upaya hukum untuk menjeratnya atas sejumlah kasus 'dugaan' pelanggaran hukum, 'dugaan' korupsi, dan sejumlah kasus yang pada akhirnya cuma berujung pada dugaaan. kondisi mantan orang nomor satu di negeri ini selalu didukung pernyataan tim dokter dan sekerumun orang yang membela.

banyak yang menganggap mantan orang nomor satu itu hanya berpura-pura. lalu seiring waktu, berbagai petinggi negeri, pejabat propinsi, pejabat kabupaten, hingga politisi artis, selalu mencoba jurus yang sama untuk berkelit dari jerat hukum di negeri ini yang rasanya begitu mudah ditekak-tekuk. bahkan ada mantan pejabat di propinsi kalimantan timur yang mendapat grasi dari presiden karena dia sudah tergolek tak sadar di ranjang rumah sakit. dan tak lama setelah grasinya berlaku, ia dikabarkan diberikan kesehatan hingga pulih dan gembira saat merayakan ulang tahunnya yang ke sekian.

mereka berusaha menghindari jeratan dari dugaan pencurian uang dan persekongkolan yang dirunut ke mereka. itu bukan uang yang sedikit. itu uang milik rakyat banyak. uang anak-anak yang seharusnya bisa sekolah dan tidak perlu menyeret kakinya di atas aspal panas tanpa alas kaki.

dan aku, serta sebagian besar warga negara ini pada akhirnya lebih mahfum pada aksi para pencuri uang rakyat itu daripada pengemis yang pura-pura terluka demi selembar atau sekeping recehan.

dan sesudah itu, nak. sungguh aku sangat menyesal tidak bisa merogoh barang selembar uang recehan dari saku ayahmu yang tak banyak ini..

di hari natal ini, aku mengingat sepotong kisah tentang anak yang terabaikan dalam kisah anak penjual korek api yang meninggal dalama damai natal yang membeku. semoga anak yang menyeret kaki itu tetap baik-baik saja dengan cuaca hujan yang menggigit ini.

(kepada sofia dan sarah, aku mengingat anak yang kutemui di lampu merah dekat rumah)

Tuesday, November 20, 2012

`Menulis Boge dan hal-hal yang tak selesai’

*sekedar Kado pernikahan


Menulis tentang Abdul Rahman Farisi alias Boge, menulis tentang kawan lama, menulis tentang rekan yang baik. Kawan baik, lalu apakah selesai di situ? Apakah sepotong kata klise bisa menyimpul sosok yang –secara ukuran kasat mata memang sedikit besar disbanding beberapa kawan dekat lainnya yang –di masa muda dulu, masih kurang makan. Tentu saja tidak. Namun izinkanlah saya sedikit bercerita.


Ia kawan yang baik, tentusaja. Saya tidak pernah menemukan ia marah, meski postur seperti itu bagi saya yang besar di lingkungan pasar, adalah modal yang cukup untuk menjadi jumawa dan bertindak sebagai aggressor.


Saya mula mengenalnya saat Opspek Fakultas Ekonomi di sekiraAgustus 1998. Di sore yang kering dan putusasa, saat matahari mulai gelincir ke barat, para senior menemukansosok yang bisa membuat mereka lebih gembira, dan sekaligus menyatukan segala penderitaan kami. Ya, mereka menemukan Abdul-RahmanFarisi, pemuda tambun dengan celana lebar, dan baju polo-shirt berhias garis. Lelaki kelahiran 1 Juli, di kampong halamannya di selatan Sulawesi Tenggara, ia dipanggil La Boge. Meski penggunaaan ‘La’ untuk nama di Bugis-Makassar juga lazim digunakan, namun untuk lebih singkat, dan menghindarkannya menjadi asosiasi atau diduga sebagai orang Prancis atau Spanyol (yang bisa jadi membingungkan orang di kemudian hari) Maka jadilah ia cukup dipanggil Boge.


Selain itu, bentuk cukur rambut kami sebagai mahasiswa baru --yang tertindas—diharuskan Mohawk, dengan mencukur habis kedua sisinya membuat ia menemukan nama lain. Sore itu ia juga dilantik menjadi Godzilla (mengacu tentang monster yang mengacaukan kota New York, yang sedang diputar di bioskop pertengahan tahun 1998). Siluet matahari senja memastikan ia sebagai sosok yang setengah menakutkan, setengah misterius. Tapi itu hanya di sore itu.


Dan kisah itupun terus berjalan. Makin lama makin menebal. Di awal di kampus, Boge memilih aktif di perkumpulan Mahasiswa Pencinta Mushalla (semacam Remaja Masjid) di Fakultas Ekonomi. Saya tentu saja tak tahu motif utama Boge memilih aktif di lembaga penggiat mushalla sebagai organisasi pertamanya di kampus, mungkin memang didasari karena dia memang lelaki yang beriman. Di masa awal di kampus, sosok Boge juga kukenali sebagai kawan yang berani berteriak memegang mikrofon saat kami turut serta menduduki Bandara Internasional Hasanuddin. Perbuatan yang membuat kami diganjar gas air mata dan pentungan petugas, bahkan saat kami belum menyelesaikan semester pertama. Keberanian yang umumnya tak kami punyai, sebagai anak muda yang bingung memasuki dunia yang bergerak begitu cepat. Tapi ia berani dan berbeda.


Selebihnya kami seperti mencoba mencari bentuk lain di wadah yang berbeda. Mulai di lembaga Senat Mahasiswa hingga Boge melanlang buana ke tempat yang jauh. Saya lebih banyak di kampus, namun dalam jarak kami tetap berkawan hingga jauh di kemudian hari.
Sepanjang rentang itu, saya banyak lebih mengenal Boge melalui berbagai tulisan yang dibuat khusus untuk atau tentangnya. Baik oleh kawan Joko Hendarto, hingga komentar yang dalam-bijak-bestari dari Abdullah Sanusi. Ia telah di ibukota, dan berakhir pekan dengan badminton dan serunya politik di Senayan. Sesekali kami bertemu di meja kopi. Ia tak berubah menurutku; ramah, murah senyum dan terlihat bahagia. Kadang tentang jazz dan tea-time (kadang ia pernah membayangkan sebagai bangsawan Inggris yang menikmati rutinitas menikmati teh –meski pada dasarnya ia adalah salah satu bangsawan Muna, satu di antara sedikit yang terpilih)


Dan kinilah dia, mengabarkan akan meminang seseorang yang akan mengawaninya meniti jembatan kehidupan yang tak lagi bersendiri. Dunia yang akan lebih kaya dan berwarna dari hidupnya yang berisi politik, badminton dan sedikit kopi. Malam yang sedianya akan menjadi rahasia hingga Boge menyampaikannya sendiri, batal menjadi Rahasia (denganhuruf R). Rencana yang saya yakin disusun rapi, bocor kepada kawan-kawan yang tetap memantau Boge dari jauh. Dan kami pun bisa berbahagia lebih awal dari seharusnya. Saya yakin ada yang menghela nafas panjang dengan rasa syukur yang buncah sembari membatin –atau mungkin berseru; “Finally..” that’s oke. Itu tentu bukan karena apa-apa, selain rasa syukur yang telah demikian lama menanti kabar bahagia.


Pada pertemuan setelah ia melamar perempuan yang dipilihnya, kami sempat bertemu; dan cahaya wajahnya sangat berbeda. Kulihat ia bagai remaja yang merona-saat menerima telepon dan menjauh dariku yang sengaja ia datangi untukbertemu. Ah, mungkin itulah pengaruh Cinta..
Akhir kalam, tak ingin saya berdoa yang rumit kepada pasangan yang diberkati itu; seperti selamat menempuh hidup baru, semoga langgeng, sakinah bla..bla.. bla.. saya takut pasangan ini jadi khawatir jika terlalu banyak harapan dalam doa yang dititipkan pada mereka. Saya hanya bisa menyampaikan pesan yang tak banyak; SelamatBersenang-Senang..


Ya! Hanya itu agar senang senantiasa..dan rasa senang itulah yang menurut saya akan menyelesaikan banyak hal termasuk krisis, konflik atau ketidak-sefahaman akan mudah selesai jika didasari keinginan mencapai kesenangan.. –untukhal yang lebihreligius, siapalah saya ini yang berani menitip khutbah pada kalian?


Seorang senior yang telah lama menikah pernah berkata kepada saya; "maaf tidak bisa memberi nasehat, perkawinan kami pun belum selesai.".. selama semua berjalan, hanya mereka yang menjalaninya yang memahami bagaimana menyelesaikan semua aral yang melintang, yang bisa jadi menghalangi rasa senang mereka.



SelamatMenikah, Kawan. Sekali lagi selamat bersenang-senang!



Friday, August 10, 2012

mencoba menulis lagi

“Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” ― Pramoedya AnantaToer
setelah sekian lama, aku mencoba menulis kembali. rasanya seperti memunguti berbagai hal aneh di sepanjang jalan, sembari membayang-bayangkan akan menjadi apa. seperti memunguti penutup botol untuk sekedar dijadikan kerecekan setelah dibuat gepeng dan dipakukan ke sebatang sisa balok kayu. menulis seperti memunguti kata entah darimana. dari keping koran. dari laman orang. atau dari entah. tanpa tahu pasti akan kemana semua bermuara. jika begitu, betapa merisaukan menulis itu rasanya. berkali-kali mencoba menulis, lalu berhenti lagi, lalu menulis lagi, dan jenuh lagi. terasa angin-anginan dan tidak fokus. jujur kadang terasa kehilangan dorongan untuk menulis. tapi mesti bagaimana lagi ditengah deraan pekerjaan yang kadang terasa menekan ini. mungkin memang seperti itu ya? tapi tak apa, semua yang bergerak ini mungkin perlu sedikit dikenang; dan menulis mungkin membuat kita bisa seidkit abadi. :)

Thursday, April 29, 2010

Menemukan Sepotong masa Lalu Makassar



Awal Kota dan bandar makassar berada di muara sungai Tallo dengan pelabuhan niaga kecil di wilayah itu pada penghujung abad XV. Sumber-sumber Portugis memberitakan, bahwa bandar Tallo itu awalnya berada dibawah Kerajaan Siang di sekitar Pangkajene, akan tetapi pada pertengahan abad XVI, Tallo bersatu dengan sebuah kerajaan kecil lainnya yang bernama Gowa, dan mulai melepaskan diri dari kerajaan Siang, yang bahkan menyerang dan menaklukan kerajaan-kerajaan sekitarnya. Akibat semakin intensifnya kegiatan pertanian di hulu sungai Tallo, mengakibatkan pendangkalan sungai Tallo, sehingga bandarnya dipindahkan ke muara sungai Jeneberang, disinilah terjadi pembangunan kekuasaan kawasan istana oleh para ningrat Gowa-Tallo yang kemudian membangun pertahanan benteng Somba Opu, yang untuk selanjutnya seratus tahun kemudian menjadi wilayah inti Kota Makassar.

Pada masa pemerintahan Raja Gowa XVI ini didirikan pula Benteng Rotterdam di bagian utara, Pemerintahan Kerajaan masih dibawah kekuasaan Kerajaan Gowa, pada masa itu terjadi peningkatan aktifitas pada sektor perdagangan lokal, regional dan Internasional, sektor politik serta sektor pembangunan fisik oleh kerajaan. Masa ini merupakan puncak kejayaan Kerajaan Gowa, namun selanjutnya dengan adanya perjanjian Bungaya menghantarkan Kerajaan Gowa pada awal keruntuhan. Komoditi ekspor utama Makassar adalah beras, yang dapat ditukar dengan rempah-rempah di Maluku maupun barang-barang manufaktur asal Timur Tengah, India dan Cina di Nusantara Barat. Dari laporan Saudagar Portugal maupun catatan-catatan lontara setempat, diketahui bahwa peranan penting Saudagar Melayu dalam perdagangannya yang berdasarkan pertukaran surplus pertanian dengan barang-barang impor itu. Dengan menaklukkan kerajaan¬kerajaan kecil disekitarnya, yang pada umumnya berbasis agraris pula, maka Makassar meningkatkan produksi komoditi itu dengan berarti, bahkan, dalam menyerang kerajaan-kerajaan kecil tainnya, para ningrat Makassar bukan hanya menguasai kawasan pertanian lawan-tawannya itu, akan tetapi berusaha pula untuk membujuk dan memaksa para saudagar setempat agar berpindah ke Makassar, sehingga kegiatan perdagangan semakin terkonsentrasi di bandar niaga baru itu.

Dalam hanya seabad saja, Makassar menjadi salah satu kota niaga terkemuka dunia yang dihuni lebih 100.000 orang (dan dengan ini termasuk ke-20 kota terbesar dunia Pada zaman itu jumlah penduduk Amsterdam, kota terbesar musuh utamanya, Belanda, baru mencapai sekitar 60.000 orang) yang bersifat kosmopolitan dan multikultural. Perkembangan bandar Makasar yang demikian pesat itu, berkat hubungannya dengan perubahan¬-perubahan pada tatanan perdagangan internasional masa itu. Pusat utama jaringan perdagangan di Malaka, ditaklukkan oleh Portugal pada tahun 1511, demikian di Jawa Utara semakin berkurang mengikuti kekalahan armada lautnya di tangan Portugal dan pengkotak-kotakan dengan kerajaan Mataram. Bahkan ketika Malaka diambil-alih oleh Kompeni Dagang Belanda VOC pada tahun 1641, sekian banyak pedagang Portugis ikut berpindah ke Makassar.

Sampai pada pertengahan pertama abad ke-17, Makassar berupaya merentangkan kekuasaannya ke sebagian besar Indonesia Timur dengan menaklukkan Pulau Selayar dan sekitarnya, kerajaan-kerajaan Wolio di Buton, Bima di Sumbawa, Banggai dan Gorontalo di Sulawesi bagian Timur dan Utara serta mengadakan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di Seram dan pulau-pulau lain di Maluku. Secara internasional, sebagai salah satu bagian penting dalam Dunia Islam, Sultan Makassar menjalin hubungan perdagangan dan diplomatik yang erat dengan kerajaan¬-kerajaan Banten dan Aceh di Indonesia Barat, Golconda di India dan Kekaisaran Otoman di Timur Tengah.
Hubungan Makassar dengan Dunia Islam diawali dengan kehadiran Abdul Ma’mur Khatib Tunggal atau Dato’ Ri Bandang yang berasal dari Minangkabau Sumatera Barat yang tiba di Tallo (sekarang Makassar) pada bulan September 1605. Beliau mengislamkan Raja Gowa ke-XIV I¬MANGNGARANGI DAENG MANRABIA dengan gelar SULTAN ALAUDDIN (memerintah 1593-1639), dan dengan Mangkubumi I- MALLINGKAANG DAENG
MANYONRI KARAENG KATANGKA yang juga sebagai Raja Tallo. Kedua raja ini, yang mulai memeluk Agama Islam di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 9
Nopember 1607, tepatnya hari Jum’at, diadakanlah sembahyang Jum’at pertama di Mesjid Tallo dan dinyatakan secara resmi penduduk Kerajaan Gowa-Tallo tetah memeluk Agama Islam, pada waktu bersamaan pula, diadakan sembahyang Jum’at di Mesjid Mangallekana di Somba Opu. Tanggal inilah yang selanjutnya diperingati sebagai hari jadi kota Makassar sejak tahun 2000, yang sebelumnya hari jadi kota Makassar jatuh pada tanggal 1 April.

Para ningrat Makassar dan rakyatnya dengan giat ikut dalam jaringan perdagangan internasional, dan interaksi dengan komunitas kota yang kosmopolitan itu me¬nyebabkan sebuah “creative renaissance” yang menjadikan Bandar Makassar salah satu pusat ilmu pengetahuan terdepan pada zamannya. Koleksi buku dan peta, sesuatu yang pada zaman itu masih langkah di Eropa, yang terkumpul di Makassar, konon merupakan salah satu perpustakaan ilmiah terbesar di dunia, dan para sultan tak segan-segan memesan barang-barang paling mutakhir dari seluruh pelosok bumi, termasuk bola dunia dan teropong terbesar pada waktunya, yang dipesan secara khusus dari Eropa. Ambisi para pemimpin Kerajaan Gowa-Tallo untuk semakin memper-luas wilayah kekuasaan serta persaingan Bandar Makassar dengan Kompeni Dagang Belanda VOC berakhir dengan perang paling dahsyat dan sengit yang pernah dijalankan Kompeni. Pasukan Bugis, Belanda dan sekutunya dari Ternate, Buton dan Maluku memerlukan tiga tahun operasi militer di seluruh kawasan Indonesia Timur. Baru pada tahun 1669, akhirnya dapat merata-tanahkan kota Makassar dan benteng terbesarnya, Somba Opu.

Bagi Sulawesi Selatan, kejatuhan Makassar di tangan federasi itu merupakan sebuah titik balik yang berarti Bandar Niaga Makassar menjadi wilayah kekuasaan VOC, dan beberapa pasal perjanjian perdamaian membatasi dengan ketat kegiatan pelayaran antar-pulau Gowa-Tallo dan sekutunya. Pelabuhan Makassar ditutup bagi pedagang asing, sehingga komunitas saudagar hijrah ke pelabuhan-pelabuhan lain.
Pada beberapa dekade pertama setelah pemusnahan kota dan bandar Makassar, penduduk yang tersisa membangun sebuah pemukiman baru di sebelah utara bekas Benteng Ujung Pandang; benteng pertahanan pinggir utara kota lama itu pada tahun 1673 ditata ulang oleh VOC sebagai pusat pertahanan dan pemerintahan dan diberi nama barunya Fort Rotterdam, dan ‘kota baru’ yang mulai tumbuh di sekelilingnya itu dinamakan ‘Vlaardingen’. Pemukiman itu jauh lebih kecil daripada Kota Raya Makassar yang telah dihancurkan. Pada dekade pertama seusai perang, seluruh kawasan itu dihuni tidak lebih 2.000 jiwa; pada pertengahan abad ke-18 jumlah itu meningkat menjadi sekitar 5.000 orang, setengah di antaranya sebagai budak.

Selama dikuasai VOC, Makassar menjadi sebuah kota yang terlupakan. “Jan Kompeni” maupun para penjajah kolonial pada abad ke-19 itu tak mampu menaklukkan jazirah Sulawesi Selatan yang sampai awal abad ke-20 masih terdiri dari selusinan kerajaan kecil yang independen dari pemerintahan asing, bahkan sering harus mempertahankan diri terhadap serangan militer yang ditancurkan kerajaan-kerajaan itu. Maka, ‘Kota Kompeni’ itu hanya berfungsi sebagai pos pengamanan di jalur utara perdagangan rempah-rempah tanpa hinterland – bentuknya pun bukan ‘bentuk kota’, tetapi suatu aglomerasi kampung-kampung di pesisir pantai sekeliling Fort Rotterdam.

Pada awalnya, kegiatan perdagangan utama di beras Bandar Dunia ini adalah pemasaran budak serta menyuplai beras kepada kapal¬kapal VOC yang menukarkannya dengan rempah-rempah di Maluku. Pada tahun 30-an di abad ke-18, pelabuhan Makassar dibuka bagi kapal-kapal dagang Cina. Komoditi yang dicari para saudagar Tionghoa di Sulawesi, pada umumnya berupa hasil laut dan hutan seperti teripang, sisik penyu, kulit kerang, sarang burung dan kayu cendana, sehingga tidak dianggap sebagai langganan dan persaingan bagi monopoli jual-beli rempah-rempah dan kain yang didirikan VOC.
Sebaliknya, barang dagangan Cina, Terutama porselen dan kain sutera, dijual para saudagarnya dengan harga yang lebih murah di Makassar daripada yang bisa didapat oleh pedagang asing di Negeri Cina sendiri. Adanya pasaran baru itu, mendorong kembali aktivitas maritim penduduk kota dan kawasan Makassar. Terutama penduduk pulau-pulau di kawasan Spermonde mulai menspesialisasikan diri sebagai pencari teripang, komoditi utama yang dicari para pedagang Cina, dengan menjelajahi seluruh Kawasan Timur Nusantara untuk men¬carinya; bahkan, sejak pertengahan abad ke-18 para
nelayan-pelaut Sulawesi secara rutin berlayar hingga pantai utara Australia, di mana mereka tiga sampai empat bulan lamanya membuka puluhan lokasi pengolahan teripang. Sampai sekarang, hasil laut masih merupakan salah satu mata pencaharian utama bagi penduduk pulau-pulau dalam wilayah Kota Makassar.
Setetah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menggantikan kompeni perdagangan VOC yang bangkrut pada akhir abad ke-18, Makassar dihidupkan kembali dengan menjadikannya sebagai pelabuhan bebas pada tahun 1846. Tahun-tahun berikutnya menyaksikan kenaikan volume perdagangan yang pesat, dan kota Makassar berkembang dari sebuah pelabuhan backwater menjadi kembali suatu bandar internasional.
Dengan semakin berputarnya roda perekonornian Makassar, jumlah penduduknya meningkat dari sekitar 15.000 penduduk pada pertengahan abad ke-19 menjadi kurang lebih 30.000 jiwa
pada awal abad berikutnya. Makassar abad ke-19 itu dijuluki “kota kecil terindah di seluruh Hindia-Belanda” (Joseph Conrad, seorang penulis Inggris-Potandia terkenal),dan menjadi salah satu port of call utama bagi baik para pelaut-pedagang Eropa, India dan Arab dalam pemburuan hasil-hasil hutan yang amat laku di pasaran dunia maupun perahu-perahu pribumi yang beroperasi di antara Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.
Pada awal abad ke-20, Belanda akhirnya menaklukkan daerah¬daerah independen di Sulawesi, Makassar dijadikan sebagai pusat pemerintahan kolonial Indonesia Timur. Tiga-setengah dasawarsa Neerlandica, kedamaian di bawah pemerintahan kolonial itu adalah masa tanpa perang paling lama yang pernah dialami Sulawesi Selatan, dan sebagai akibat ekonominya berkembang dengan pesat. Penduduk Makassar dalam kurun waktu itu meningkat sebanyak tiga kali lipat, dan wilayah kota diperluas ke semua penjuru. Dideklarasikan sebagai Kota Madya pada tahun 1906, Makassar tahun 1920-an adalah kota besar kedua di luar Jawa yang membanggakan dirinya dengan sembilan perwakilan asing, sederetan panjang toko di tengah kota yang menjual barang-barang mutakhir dari seluruh dunia dan kehidupan sosial-budaya yang dinamis dan kosmopolitan.
Perang Dunia Kedua dan pendirian Republik Indo¬nesia sekali lagi mengubah wajah Makassar. Hengkangnya sebagian besar warga asingnya pada tahun 1949 dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada akhir tahun 1950-an menjadi¬kannya kembali sebuah kota provinsi. Bahkan, sifat asli Makassar-pun semakin menghilang dengan kedatangan warga baru dari daerah-daerah pedalaman yang berusaha menyelamatkan diri dari kekacauan akibat berbagai pergolakan pasca¬ revolusi. Antara tahun 1930-an sampai tahun 1961 jumlah penduduk meningkat dari kurang lebih 90.000 jiwa menjadi hampir 400.000 orang, lebih daripada setengahnya pendatang baru dari wilayah luar kota. Hal ini dicerminkan dalam penggantian nama kota menjadi Ujung Pandang berdasarkan julukan ”Jumpandang” yang selama berabad-abad lamanya menandai Kota Makassar bagi orang pedalaman pada tahun 1971. Baru pada tahun 1999 kota ini dinamakan kembali Makassar, tepatnya 13 Oktober berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999 Nama Ujung Pandang dikembalikan menjadi Kota Makassar dan sesuai Undang-Undang Pemerintahan Daerah luas wilayah bertambah kurang lebih 4 mil kearah laut 10.000 Ha, menjadi 27.577Ha
sumber : http://makassarkota.go.id