Friday, December 23, 2005

:::Jelang Hari Raya

Apa yang menarik setiap menjelang hari raya?

mungkin setiap orang, akan membayangkan sesuatu yang membahagiakan, ataupun hal yang menyenangkan lainnya. Menjelang Natal ataupun jelang Lebaran.

Kanak-kanak, mungkin akan membayangkan hadiah yang ditaruh sinterklas di kaus kaki yang mereka gantungkan di dekat perapian. Dalam tidur mereka di malam natal --yang biasanya digambarkan dengan musim dingin yang penuh salju, mungkin mereka bermimpi tentang lelaki tua berjanggut putih dengan kereta yang ditarik oleh barisan rusa kutub dan akan mampir di tiap rumah membagikan hadiah.

Sedang jelang lebaran; setiap anak yang akan berlebaran besok, mungkin akan tidur tak terlalu nyenyak, membayangkan bahwa mereka besok akan berbaju baru- dan akan makan kue dan bertemu dengan kawan-kawan mereka..

tentu saja itu semua mungkin, seperti hal-hal lainnya yang nisbi sebab toh ada wajah lain di malam jelang hari raya. Bagi setiap yang papa; Natal toh tetaplah bisa jadi sebuah siksaan, sebab meski mereka menganggap kasih yesus kristus sampai pada mereka, namun mereka bisa saja mereka menjalaninya dalam lapar.

Dan bagi si fakir; lebaran tak sepenuhnya toh membahagiakan, sebab mereka toh akan lebih memilih untuk menjadi pengemis di lapangan tempat para saudara mereka yang berkecukupan usai berhari-raya.

Masing-masing adalah bagian hidup, yang entah bagaimana mengurai sebuah penjelasan yang cukup bagi setiap kita; bagi setiap hati yang merasakannya.

Tapi, malam di jelang hari raya dekat-dekat ini; setiap kota waspada pada hantu-hantu teror yang bisa saja mengantar ledakan, ketika kita yang ---mungkin, sedang bergembira.

Ah, entah siapa yang mulai mengajari anak negeri ini, meledakkan saudaranya untuk memperoleh surga seorang diri...

Maaf Tuhan, setiap jelang hari raya; aku sulit bergembira...

Monday, October 24, 2005

::insomnia memintaku tak tidur lagi malam itu.

Image hosted by Photobucket.com
nah, cobalah tidur agak larut. lalu dengarlah lagu penutup siaran, dari sebuah stasiun tv dan amati gambar-gambar yang ditayangkannya.
lagu mengalun merdu tentang indonesia (iya, indonesia!!! yang kita cintai atau tidak, tapi karena kita terlahir di sini; maka ini negeri kita)

amati "indonesia" lewat lagu dan gambar-gambar yang menetramkan itu.
di antar lagu yang syahdu mendayu, dan mengalirlah gambar; mulai dari hamparan hutan, gunung, sawah permai, pantai indah dan masyarakat yang tenang memetik hasil alamnya.

benar-benar serupa surga; tempat menyenangkan "untuk akhir menutup mata..."

benar-benar kampung halaman yang dikenalkan sekolah dasar padaku..gemah ripah loh jinawi, tempat --bahkan tongkat pun akan tumbuh.

ah, cerita memang terkadang berlebih-lebihan.

apakah "ini" juga indonesia?
Image hosted by Photobucket.com
utang-kita ke negeri lain, membuat pemerintah republik indonesia tak lagi merdeka menentukan kebijakan; menentukan tujuan. dan jadilah rakyat indonesia (yang memetik hasil bumi dengan riang, dalam gambar di stasiun tv itu) menanggung berbagai kebijakan ekonomi yang menyengsarakan..

salah satunya, harga minyak naik, dan lihatlah bagaimana pemerintah republik indonesia menanganinya lewat bantuan kompensasi kenaikan bbm--juga di tasiun tv yang sama;

berapa banyak yang harus berebut, hingga ada 2 orang tua yang mati karena antri (mungkin ini hanya terjadi di negara komunis beberapa waktu lalu). berapa banyak yang mengamuk dan menjadi anarkis, menjadi wajah-wajah beringas yang mungkin tak kita kenali lagi. berapa banyak warga yang berebut menjadi miskin, menghilangkan kehormatan untuk mendapat 100 ribu rupiah per bulan. itu indonesia

juga nelayan dan petani yang lebih banyak kita kenali dari setiap demonstrasi yang mereka gelar. meminta peraturan pemerintah nomor 36 tentang hak pemerintah indonesia untuk 'merampas' tanah untuk publik(?). nelayan yang tak lagi melaut, karena hanya akan menderita kerugian dari hasil melaut mereka yang tak bisa menutup ongkos sekali melaut.

lainnya, wabah ganti-berganti membunuh anak-anak indonesia, karena pemerintah tak lagi bisa menangani dengan baik, agar anak-anak indonesia bisa tetpa hidup dengan sanitasi dan kesehatan yang baik.

beribu kayu batang dari hutan indonesia yang dicuri, dan segelintir orang menjadi kaya dari tiap tanah longsor dan banjir yang melanda penduduk di sekitar hutan..

banyak hal yang tak muncul dalam siaran penutup di dinihari itu.
(aku tahu, kepalaku berdenyut pelan, hatiku tak tenang, tapi kita tak bisa memilih untuk terlahir atau tidak di sebuah negeri, memang...)

ah, insomnia ini memicu kejut tak hanya di kepalaku, tapi juga di hatiku.
selamat malam, bagaimanapun aku tetap orang indonesia. kita masih bisa tetap hidup di satu negeri tanpa harus mencintainya kan?

selamat malam, sekali lagi.

satu kehilangan

::untuk satu kehilangan
-kematian seseorang adalah tragedi, kematian seribu orang adalah statistik -joseph stalin

pagi yang dingin, dan kepala yang berdenyut, berbincang pelan tentang kematian yang tak berbilang, di sebuah hari kematian kawan tercinta; "berapa pun yang mati, setiap itu adalah nyawa, maka kita berhak bersedih". namun, saat melihat ribuan jenazah teronggok, juga bau bangkai yang menyeruak, terkadang mulanya hanya sebagai sebuah statistik --seperti kata joseph stalin. setelahnya, barulah kita tersadar, setiap yang mati, kita berhak bersedih; sebab itu adalah nyawa.

seseorang meninggalkan kita, terbebas dari dunia yang fana ini; apa yang hilang? sebab semua toh yang hidup akan berangkat menuju-Nya... yang hilang mungkin, adalah tempatnya di hati kita. ruang yang dipenuhi kenangan atasnya. seseorang, dengan segala warnanya. sebagai yang 'tragis', bukan "statistik", sebab setiap orang adalah kerabat --paling tidak dari seseorang yang lainnya. sebab tak ada yang lahir dari sebatang bambu, ataupun keping batu, dan dibesarkan oleh hewan ajaib, selain dalam dongeng-dongeng yang naif.

selamat tidur. selamat jalan, kawan. kau kami kenang

Friday, October 14, 2005

tentang perjalanan dan pulang

::dengan berterima kasih kepada ochan

"When all my work's over. i'll fly home," sebuah kutipan dari entah siapa, yang ia juga ragu telah mengtipnya darimana.

"Aku hanya ingin pulang lebih cepat sore ini, agar masih sempat minum teh dengan senja di depan jendela," kutipan tentang betapa telah lama tak menikmati teduh senja di rumah sendiri, saat lebih sering sibuk berada dalam perjalanan di waktu yang orange itu..

"Tapi selalu kurindu perjalanan. Karena ada yang akan sangat indah setelahnya. Itulah mengapa seseorang harus pergi, apalagi jika dia lelaki, agar bisa menakar dan merasa betapa indahnya pulang --kutipan dari seorang kawan, di halamanrawa.blogspot.com" .

Ah, "pulang", menakar perjalanan, menakar arti yang bergerak. menakar tepi. Betapa "ia" serasa menjadi serupa mantra, yang mengingatkanku dalam perjalanan ini..

aku selalu bertanya; "kemana kelak hati akan pulang, dan menakar semua perjalanan yang telah kutempuh?".

adakah itu kau?

Tuesday, September 13, 2005

::?

Image hosted by Photobucket.com

api. sebentar lalu semua usai menjadi puing

Image hosted by Photobucket.com

lalu hendak kau sebbut apa mata-mata yang menatapmu diam seperti ini?

menjadi kebal. menjadi bebal

Setelah beberapa lama berada di pekerjaan ini; serasa ada sesuatu yang berubah dalam diriku.
Berada di tengah bentrokan yang bergerak riuh dan mengancam.
Berada di depan orang yang menangis setelah rumahnya dibongkar para petugas bersepatu lars.
Menyaksi ibu yang meratap kehilangan anaknya setelah gubuknya dilalap api.
Mencium bau mayat. Menghirup bau tubuh yang baru saja terbakar..
Melihat wajah yang remuk dan amis darah yang berhamburan.
Mendengar riuh sirene yang berkejaran.

Berada di tempat yang terus bergerak; mengapa aku serasa kehilangan peka. Menjadi kebal. Menjadi bebal.

“Kita tak bisa terlibat; kita harus bekerja tanpa emosi..,” kata seorang kawan.

Tapi siapa yang menahan airmata dan rasa yang tiba-tiba saja menyesak melihat langsung semuanya, demikian dekat.

Saturday, September 10, 2005

berhala

Image hosted by Photobucket.com
sebut saja di pedalaman amazon tempat suku-suku kanibal, diam-diam akan memanah para antropolog kawan indiana jones, dan menyantapnya. atau suku primitive dalam dongeng the lost world.

mereka selalu punya patung atau berhala lainnya yang disembah, yang bahkan diasupi darah gadis perawan tercantik sebagai sesajen. kemudian takzim berdoa berharap segala keselamatan, kehormatan, dan kebanggaan datang dari dewa-dewi kepada mereka.

itu ritual khas suku primitif yang hanya kita temui dari film steven spielberg atau film eksotik hollywood lainnya.

namun tak perlu jauh, tiap tahun ada puluhan baligo bergambar seram, dan ratusan umbul-umbul serupa panji perang kublhai khan atau alexander the great memenuhi setiap sudut tempat kita memandang.

juga sosok patung tengkorak tinggi besar berselubung kain hitam berdiri di tepi persimpangan jalan. matanya merah menyala, memegang sabit, dan bangkai tikus.

lalu setiap malam, sepasukan manusia dengan wajah tak ramah, memegang tongkat bergiliran menjaga patung terkutuk itu siang dan malam. sebagian bahkan rela tidur dalam kepungan nyamuk dan dingin malam hanya untuk menjaga kalau saja ada pasukan ninja musuh yang datang merobohkan patung terkutuk itu...

mungkin juga, telah ada yang berdoa dan berharap kehormatan dan kebanggaan dari kaki patung terkutuk itu.

(atau apa telah ada darah perawan derdada sentosa yang telah dikorbankan pada patung itu). tapi tetap tak beda rasanya dengan jejeran patung dan berhala lainnya di goa-goa suku primitive

dan…

setelahnya, hanya hanya karena ada yang merusak salah satu berhala kebanggaan tersebut; pecahlah perang antar suku.

bersenjata panah, batu, dan kayu, ratusan warga suku bertarung mempertahankan “kehormatan”…mungkin juga berdasar wangsit dari dewa-dewa, bahwa mereka diharuskan berperang…agar tanah kediaman suci kembali dengan darah pihak musuh.

setelah perang, berhala mereka kemudian kembali dipuja.

tapi kita tak di amazon. kita ada di tamalanrea, di tempat pendidikan, tempat –konon peradaban mulai disemai.

dan kita yang menyaksikan hanya bisa bersedih diam-diam.

Sunday, August 14, 2005

senyap

Kau yang lelap dalam senyap malam; adakah kau tahu malam ini;aku masih terjaga mengindera malam dalam perih?

Kehilangan Rumah

Sekali lagi, aku harus kehilangan rumah. Tempatku pernah nyaman bernaung. Mungkin aku harus kembali melanjutkan perjalanan. Menempuh jarak menuju "Rumah";Meski hanya menduga jejak. Menuju sesuatu yang berkenan memanggilku singgah, meski kelak suatu waktu, aku harus lagi kehilangannya.

Mm, mungkin perjalanan menuju rumah, seperti perjalanan menuju Senja. Menuju sesuatu yang kian dekat, kian tak teraih. Entah.

sedikit tentang "merdeka"

"merdeka!!!!"
Aku tak hendak berdebat tentang emosi yang meletup ketika para pejuang berteriak merdeka di tiap pertempuran...juga bukan tentang "merdeka" yang diteriakkan dan dicoretkan di gerbong-gerbong kereta selepas proklamasi dibacakan presiden Soekarno,17 agustus 1945 silam.

Atau "merdeka" yang kian rumit didefinisikan belakangan ini. Merdeka yang kemudian menyebut bebas dari intervensi lembaga asing bentukan Bretton Woods; IMF, atau neo-imprealisme lewat budaya, ekonomi atau apa pun.

Menjadi warga, menjadi bagian dari bangunan kekerabatan yang besar, tapi imajiner. Rasanya Menjadi anak bangsa, seperti hanya pada sepotong kalimat sinis; bahwa kita hanya menjadi warga Indonesia saat menjelang batas waktu pembayaran Pajak, dan saat menjelang Pemilu. entahlah.

aku ingin bercerita tentang sekilas perasaan saat menyusuri lorong menuju rumahku di pasar cidu. Sekilas perasaan "sebagai warga sebuah bangsa" saat berjalan menyusur lorong yang dipenuhi dengan bentangan ratusan bendera kecil yang diuntai dengan tali rafia, lalu diikat di tiang-tiang listrik terpasang di atas jalan, ibarat kanopi. Terlihat cantik disinari lampu merkuri. Namun tetap terasa rawan rasanya.

Meski jauh di dasar hati; serasa ada yang tertusuk, tapi bagiku inilah rasanya menjadi warga sebuah bangsa; ketika diam-diam turut tersenyum melihat bendera kecil menari-nari di bawah lampu..

Mungkin rasa "merdeka" di dini hari itu; hanya sebagai senyum simpul saat melihat bendera kecil tersebut menari-nari dalam angin dini hari yang dingin, meski sadar, esok ia akan kusam, putus lalu terlupakan.

Ah, "merdeka" andai saja kata itu tak pernah ada. Atau tak perlu ada?
(Maafkan aku, Bapak Bangsa. Mungkin aku murtad)

Wednesday, July 20, 2005

senja

selalu kukenang kuning senja yang mengapung di telaga matamu.
juga angin laut yang mengantar harummu

seperti telah kutemu jalan pulang saat mengecup kelopak matamu
diam. tentram bersemayam pada hatimu

Sunday, July 17, 2005

nak...

"nak, berbaik-baiklah pada seseorang, dalam tiap pertemuan; sebab hidup ini demikian singkat, bisa saja kita tak akan bertemu lagi dengannya. sementara ingatan akan baqa mengelindan serupa magma yang membakar. sebab ingatan bisa saja kekal dendam dalam ingatan"
--pesan seorang kakek

Monday, July 11, 2005

bening

Image hosted by Photobucket.com

bening...bening...bening.
dalam hening,
semoga hati ini selalu bening menjalani semua ini hingga tiba hening yang abadi

maaf

"aku minta maaf. banyak hal; tanpa kusadari telah mengiris hatimu"
(suatu waktu, jika kau tiba di persinggahan ini; setidaknya kau tahu aku pernah meminta maafmu)

Saturday, July 02, 2005

kilas-kilas alir

Image hosted by Photobucket.com
setiap hal yang berlalu, kini kupahami hanya sebagai kilas-kilas yang melintas. serupa melihat wajah seseorang dari jendela bis yang melaju; mengingat sesaat, lalu membiarkannya berlalu; tanpa harus merasa kehilangan, memahaminya hanya sebagai pertemuan yang harus usai. mungkin di suatu waktu, saat kembali melihat wajah itu, mungkin terasa tak lebih serupa de javu;sesuatu yang kutahu, ada di ruang kenangan, tapi tak pasti dimana. sesuatu yang telah jadi demikian sublim. gaib. tapi ia ada.

ada yang berucap, "mengapa sungai demikian tenang mengalir, sebab ia tahu pasti ia akan ke muara", tapi dimanakah semua ini akan bermuara?
Image hosted by Photobucket.com
I miss u, home...

ini melankolia pejalan? entahlah. tapi hari ini, setelah melalui sekian banyak waktu yang melelahkan; aku demikian merindukan 'rumah'. tapi, aku masih tak tahu kemana aku harus pulang dan bersemayam hingga jiwa ini pulih.
setiap kita, selalu ingin menemu ruang; tempat pulang tanpa harus menjelaskan apa pun. tanpa harus takut menjadi apapun. tempat mengindera semua yang sempat dipunguti dari perjalan yang baru saja lewat?
rumah sebagai kenangan.
rumah sebagai rahim.
rumah udara.

di perjalanan ini, masih kurasa entah; pada tiap yang kutemui..mungkin serupa fatamorgana di kaki langit gurun.
"home, where are u?, I feel so tired.."

Monday, June 20, 2005

kau sebut apa rasa yang menjelma beribu bilah cemas?
aku menyebutnya sebagai rindu.
tapi toh kurasa itu tak cukup.

Wednesday, June 15, 2005

Kanak-kanak dan Waktu di Pasar Cidu


Begitu Senja jatuh, dan malam temaram. Lampu jalan yang redup kekuningan, mulai menerangi jalan seperti sorot lampu yang menyorot panggung. Dan satu lagi kehidupan dimulai. Berputar dalam beratus adegan berwarna buram. Anak-anak di satu jalan di pasar cidu.

Selalu lakon; anak-anak di kala senja.
Beberapa anak mulai berkejaran. Dengan baju dekil, dan wajah yang masih meyisakan bedak yang dipupur seadanya setelah mandi sore. Mereka sedang bermain petak umpet sambil mengendap-endap, mereka saling cari-sembunyi. Setelahnya, kemudian mereka tertawa-tawa.

Ah, bocah itu, beberapa tak terasa telah menginjak sekolah dasar, sebagian bahkan sudah hampir tamat. Padahal masih kuingat, di antara mereka, masih sempat kugendong saat suaranya masih serupa mantra-mantra tak jelas. Yang lain, aku bahkan tak lagi mengingat apa ia lahir di pasar ini, atau ia anak salah seorang migran di sini yang tiba beberapa waktu lalu. Entah.

Aku teringat Aco. Anak lelaki, yang masih sekolah dasar. Ia meninggal setelah tertabrak sepeda saat bermain di jalan ini. Dadanya biru-lebam karena terbentur stir sepeda. Ia tak sadarkan diri beberapa saat lalu meninggal.

Serasa ada yang menarikku ke masa lampau. Betapa semua demikian singkat. Tak terasa. Di pasar ini, hidup lahir, beranjak, lalu usai. Kadang tak terasa. Betapa semua terkadang terasa demikian nisbi. Dan hidup bergulir dari kanak-kanak ini. Betapa getir. Betapa ringkih serupa pepasir.

Dari suatu senja

Friday, June 10, 2005

di pintu II

hari ini tak banyak rasanya yang terjadi denganku. hari hampir terasa rutin. kecuali tadi melintas di pintu II yang kini lengang; dan serasa ada yang menggores hati...hanya jalan yang diam dan sisa lantai dari 40 kios yang telah rata. lampu merkuri, dan juga luka yang kurasa belum kering benar..

aku bertemu dengan tukang parkir yang aku sering bertukar sapa tiap kali melintas di pintu II unhas. aku bercerita betapa sedih saat melihat pintu II musnah ditelan rusuh dan gusur. ia hanya bilang tak ingin ikut, sebab tak bisa berbuat apa-apa...

ia kini menjadi tukang parkir di tempat sekitar pintu II..ia kulihat masih tersenyum, betapa pun lapangan kerjanya, sempat terampas. aku tersadar, betapa banyak daya hidup yang bisa kupetik dari orang-orang sepertinya.

satu yang jelas, bahwa hidup harus kembali berlanjut...
(namun kemanakah kalian, wahai ibu, wahai bapak yang terampas, akan melanjutkan hidup?)

Sunday, June 05, 2005

malam

malam ini, kepalaku serasa berdenyut. berharap besok hari lebih baik.
aku tak tahu harus pulang kemana malam ini. mungkin mencari rumah teman yang bersedia membiarkanku terlelap malam ini di rumahnya.

"when all my work's over. i'll fly home"

Friday, June 03, 2005

di satu pagi

di suatu pagi. di pasar cidu. kehidupan mulai berdenyut. pelan, lalu kian cepat.
di timur, sinar matari bersinar lembut, singgah pada atap-atap tenda oranye milik para penjual...
sebentar kemudian sekian suara meningkahi hari yang terus berjalan. lalu semua aduk-bercampur.
ada penjual ikan. penjual sayur. penjual baju bekas. pengemis. penjual rempah. toko yang riuh dengan percakapan. sekian banyak orang dan kehidupannya bertemu di pasar ini.
inilah hari.
inilah hidup yang mulai.

suatu waktu, entah kapan; akau bertanya "bagaimana jika ini punah?"

Wednesday, June 01, 2005

Jelang penggusuran

Hari ini sekali lagi, betapa gigih orang mempertahankan rumahnya. Di Jalan Pattimura Makassar. Mereka sampai bersedia gugur untuk melawan orang-orang yang akan mengeksekusi rumah tempat mereka membangun kehidupan sejak tahun 1962 lalu. Menurut mereka, di Rumah itu, pernah Kolonel Soeharto melakukan rapat rahasia dalam upaya pembebasan Irian Barat (sekarang Papua).

Mereka memasang barikade di depan pagar, sambil berseru menantang. Salah seorang dengan galak menantang siapa pun yang akan datang, dan berjanji akan me-Rusuh-kan Makassar jika tempat itu direbut..…lelaki yang berteriak itu; trambut kuncir, perawakannya tambun, dengan baret berwarna merah dan jaket berwarna hijau-army, kaca-mata, ia menenteng megafon dan berteriak-teriak lantang..

Ah..Rumah.

Monday, May 30, 2005

selepas bentrokan itu....

setelah baru saja berita kubuat dan terkirim, aku diminta mengirim lagi "follow-up" perkembangan terbaru..

dan inilah...

(***VO***)

SETELAH BENTROKAN USAI/ APARAT GABUNGAN KINI MEMBONGKAR SEKITAR 40 KIOS PK-5 DI PINTU 2 UNHAS// BELASAN PELAKU DITANGKAP OLEH APARAT POLRESTA MAKASSAR TIMUR// BEBERAPA KORBAN YANG LUKA KINI DIRAWAT DI RUMAH SAKIT WAHIDIN SUDITOHUSODO/ MAKASSAR//

(***ROLL***)

SETELAH UNIT PERINTIS MENGAMANKAN LOKASI BENTROKAN DI KAWASAN PINTU 2 KAMPUS UNHAS/ MAKASSAR/ BELASAN ORANG YANG DIDUGA PELAKU DITRANGKAP DAN DIGELDANDANG KE MAPOLRESTA MAKASSAR TIMUR// SEDANG BEBERAPA ORANG KORBAN KINI DIRAWAT DI RUMAH SAKIT WAHIDIN SUDIROHUSODO/ MAKASSAR//

(WWC I/ AJUN KOMISARIS/ ANDI PATAWARI/ KAPOLRESTA MAKASSAR TIMUR// KITA MENANGKAP BEBERAPA PELAKU UNTUK MENJALANI PEMERIKSAAN LANJUTAN// JIKA TERBUKTI/ PROSES HUKUM AKAN DITERUSKAN// JIKA TIDAK/ MEREKA AKAN KITA LEPASKAN//)

SEMENTARA/ APARAT GABUNGAN DARI SATPAM KAMPUS DAN SATPOL PP PEMERINTAH KOTA MAKASSAR LANGSUNG MEMBONGKAR SEKITAR 40 KIOS PK-5 DI KEDUA SISI JALAN PINTU 2 KAMPUS UNHAS// MENURUT PIHAK UNHAS/ PEMBONGKARAN INI DILAKUKAN/ KARENA SEBELUMNYA PK-5 SUDAH DIPERINGATI BERKALI-KALI//

(WWC II/ RISMA/ SALAH SEORANG PEDAGANG/ / YANG MEMBONGKAR ITU PARA PREMAN/ KAMI MAU MENUNTUT//)

SEMENTARA ITU/ POLISI KINI MASIH BERJAGA-JAGA// PK-5 JUGA MULAI MENGEMASI BARANG-BARANG MEREKA YANG MASIH TERSISA DARI PEMBONGKARAN//

(***END***)....

hanya itu reportase yang bisa kutulis dari sekian banyak yang telah terjadi di jejeran kios pk-5 di kampus unhas. gambar sudah ditayangkan setelah 'dilempar' via satelit ke stasiun tv di Jakarta.. demikian cepat semua 'rekaman kenyataan' itu bergerak lalu tiba.

Adakah kecemasan, haru, dan perih yang kurasakan juga sampai ke tiap mata yang melihat tayangannya. .

Setelah jejeran kios itu rata dengan tanah; puluhan bapak-bapak, anak-anak, ibu tua yang masih terlihat sisa tangis dari matanya mengemasi sisa 'rumah' mereka. mereka mulai mengemasi harapan. Seorang ibu, sambil mengemasi tangisnya; "begini ternyata pemerintah..."

Ada beberapa anak yang masih mengenakan seragam sekolahnya. Mereka yang baru saja tiba sekolah --mungkin tak menyangka; kalau tempat ibunya mencari uang sekolahnya kini telah rata dengan tanah. Harapannya mungkin turut musnah.

ah..kenangan-ku selama bertahun-tahun melewati malam yang demikian hidup di kios-kios di pintu II itu mungkin harus pula kukemasi. Sarabba, Ubi goreng, juga puisi cinta yang pernah kutulis dari tempat itu..kini hanya sekedar ingatan.

Semua yang pernah melewati malam di pintu 2 unhas, akan mengenang hari ini. 30 mei 2005.


......
(***PKG***)
PETUGAS KEAMANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN/ATAU (UNHAS)/ MAKASSAR/ SULAWESI-SELATAN/ BERSAMA TRAMTIB PEMERINTAH KOTA MAKASSAR TERLIBAT BENTROK DI KAWASAN PINTU 2 UNHAS KAMPUS TAMALANREA/ SAAT AKAN MENGGUSUR KIOS PK-5 DI KAWASAN PINTU 2 UNHAS//

(***ROLL***)
BETROKAN TERJADI SAAT SATPAM UNHAS/ BERSAMA PAMONGPRAJA DARI PEMERINTAH KOTA MAKASSAR/ AKAN MENGGUSUR KIOS PEDAGANG K-5 YANG BERJUALAN DI SEPANJANG SISI MASUK JALAN PINTU 2 UNHAS//

SATUAN PENGAMAN TERLIBAT SALING LEMPAR DENGAN PARA PK-5/ SELAMA 2 JAM LEBIH// MASSA SALING MELEMPAR DENGAN BATU/ BOTOL/ DAN POTONGAN KAYU// TERJADI KEMACETAN PANJANG DI JALAN PERINTIS KEMERDEKAAN/ TAMALANREA/ MAKASSAR//

PASUKAN PENGENDALI HURU-HARA DARI POLRESTA MAKASSAR TIMUR/ BERJAGA DI JALAN PINTU 2 UNHAS MENAHAN LEMPARAN DARI PARA PK-5/ YANG BERADA DI DEPAN JALAN PERINTIS KEMERDEKAAN/ MAKASAR//

BEBERAPA PEDAGANG K-5/ DAN SATPAM TERLUKA TERKENA LEMPARAN BATU// KACA DEPAN SATU UNIT MOBIL PEMADAM KEBAKARAN UNHAS PECAH TERKENA LEMPARAN BATU//

KERUSUHAN DAPAT TERATASI SETELAH UNIT PERINTIS DARI POLRESTA MAKASSAR TIMUR MENGAMANKAN LOKASI KEJADIAN// 7 ORANG YANG DIDUGA TERLIBAT SEBAGAI PROVOKATOR DIAMANKAN OLEH POLISI//

SETELAH TERATASI/ SATPAM UNHAS DAN TRAMTIB PAMONGPRAJA PEMERINTAH KOTA MAKASSAR/ LANGSUNG MEMBONGKAR KIOS-KIOS PK-5//

SEMENTARA PASUKAN PENGENDALI HURU-HARA MENJAGA KEADAAN//
(***END***)
.....

Hanya ini yang bisa kutulis setelah menyaksikan bagaimana bentrok yang terjadi di Pintu II Unhas baru-baru saja. Hampir menangis rasanya, tapi aku harus berdiri, melihat kayu, botol dan batu-batu berterbangan. Aku menghitung korban, lalu menulis...

Banyak sekali tangis, banyak yang terluka. Juga hati ini.

gusur

Dari Pintu II Universitas Hasanuddin, menunggu penggusuran pedagang yang menjual di sisi jalan masuk kampus..Aku harus menulis reportase untuk stasiun TV tempatku bekerja.

Massa sudah memasang barikade dari ban-ban bekas, meja dan bentangan spanduk. Mahasiswa yang turut bersama massa pedagang kaki lima, sudah berorasi dengan suara yang serak dan wajah merah padam. Di jalanan, batu-batu sudah diserak, mungkin persiapan amunisi untuk menghalau para penggusur.. wartawan, menunggu. Di seberang jarak lainnya, Satpam Unhas sementara siaga.

Aku menunggu, sambil termenung; "bagaimana mempersepsi kenyataan ini?"

Seorang ibu, kemudian mengambil megafon dan berteriak--dengan logat makassar yang kental, "aku tak mau digusur!!!!!!" "Saya seorang Janda, entah di mana lagi bisa cari makan, kalau tempat ini digusur..."
"Masak, hanya karena akan dibuat taman bunga, kita semua mau digusur? lebih penting bunga-bunga, dibanding manusia?"

Aku terhenyak.

entahlah, dalam pembangunan ini, mungkin taman kota-yang terawat rapi, lebih penting dari miskin yang sementara mengais hidup di tempat yang semrawut...

Sunday, May 29, 2005

Ada Toha, yang baru saja mengambil cutinya, setelah setahun lebih ditekan padatnya jadwal kerja perusahaan multinasional. Ada Abdullah Sanusi, Dosen perguruan tinggi negeri di Makassar. Ada Nurhady Sirimorok, peneliti senior kajian Sulawesi. Ada aku, anak pasar cidu. Di ruang berpendingin, di excelso, bersama toraja cappucino dan tembakau yang terus mengepul dari asap kami. Hidup coba kami perbincangkan.

Setelahnya, hidup adalah milik kita masing-masing, that's all!!!
Jalanilah, dan berdamailah dengan kenyataan...

hilang 1 rumah

Aku kehilangan lagi satu rumahku. Lalu apa yang hilang? Tiba-tiba terasa ada lepas, tercerabut dari dada. Dan sejenak, aku tiba-tiba tersadar betap semua demikian nisbi..rapuh seperti utas benang jaring laba-laba. c'est la vie, mon ami.. Inilah hidup; apa yang tak bisa hilang? everything's change isn't..

sebelumnya, aku tahu, aku akan bertahan dan mennjalani semuanya.
pun "rumah" ini, mungkin sekedar persinggahan dalam perjalanan yang tak pernah bisa kuterka kemana kelak berakhir.

a journey to find a home..

Monday, May 23, 2005

Lelaki Urban

Lelaki itu menghisap dalam rokok kreteknya, lalu menghembuskan asapnya kuat –kuat. Seolah ingin melontarkan kalut yang menimbun dadanya bersama hamburan asap nikotin itu. Sekali, dua kali, tiga kali, sudah sejak beberapa jam lalu, lelaki itu diam di bawah lampu merkuri lima ratus watt, tersembunyi dalam remang malam di bawah atap kios yang sedari lepas magrib sudah tutup.
Wajahnya seperti lokomotif yang mendesis-desis dan mengeluarkan kepulan asap. Ia terus menghisap kreteknya, sambil sesekali menepuk lengannya, mengusir nyamuk yang menusuk kulitnya yang legam. Ia terus tenggelam dalam diamnya. Di sampingnya, menggeletak sebungkus rokok dan korek api. Rokok itu tinggal separuh, selebihnya sudah menjadi asap yang mengisi rongga dada lelaki itu, dan menguap ke langit malam. Ia terus bertahan dalam remang malam kios itu. Seperti patung budha yang diam diselubungi asap hio.
Sampai tiang listrik dari lorong seberang dipukul orang dua kali tanda malam sudah larut, barulah ia bergegas masuk ke dalam biliknya. Ruang sempit dari papan bekas peti buah yang dibangunnya tepat di atas selokan, yang lalu ditambalnya dengan lapisan plastik dari karung bekas gula. Sebelumnya, ia membakar dua lingkar obat nyamuk dan sekali lagi membakar sebatang kretek kemudian tenggelam dalam biliknya yang pasti akan segera dipenuhi asap.
Hampir tiap malam, begitulah yang rutin dilakukannya. Duduk di bawah lampu depan kios pasar yang sudah tutup. Merokok, dan diam termenung-menung memandang jalan. Sesekali menengadah mencari bulan atau melihat bintang. Dan selalu bergegas masuk setelah di kejauhan tiang listrik berdentang dua kali atau ia melihat anak-anak pasar yang tertatih mabuk mendekatinya.
***
Sebulan lalu, lelaki itu datang di pasar depan rumahku, entah ia berasal dari mana. Lelaki itu belum terlalu tua. Rambutnya belum sepenuhnya kelabu, beberapa uban bersembunyi di balik topi tua yang selalu dikenakannya. Wajahnya yang persegi tampak keras dengan hiasan kumis dan bekas cukuran janggut di dagunya. Pipinya cekung, karena keseringan menghisap kretek yang keras. Matanya coklat kemerahan. Mata yang memendam sungai keruh yang bergolak melawan hidup.
Setiap pagi, sebelum matahari meninggi, ia segera menenteng handuk, timba, dan celana pendeknya ke sumur di dalam lorong. Satu-satunya sumur umum di lorong dekat kiosnya. Dengan dada telanjang, ia mandi bersama anak-anak kecil yang juga tergesa untuk segera ke sekolah. Bergabung bersama perempuan-perempuan yang mencuci dan orang-orang yang sibuk mengambil air. Mereka menyemut di sekitar bundaran sumur kecil itu, seperti lelaron yang mengerumuni lampu.
Dan tak lama setelahnya, dengan rambut yang disisir ke belakang ia pun segera menggelar dagangannya, dan melebur dalam pasar yang sebentar kemudian dipenuhi hiruk pikuk jual-beli. Ia satu warna dari sekian banyak warna yang menyusun mozaik pasar itu. Bersama bau bacin, keringat, amis ikan, dan lumpur.
“Ikan...Ikan, kalau ibu tak percaya ini baru, boleh dikembalikan!!!”
“Tomatnya, Bu!!”
Ia turut memanggil pembeli seperti tukang becak, penjual ayam, penjual ikan, juga dengan bapak haji penjual beras yang mengundang pembeli.
Setelah siang, dan pasar usai, ia hanya berbaring di meja emperan bekas warung penjual nasi, membiarkan keranjang dagangannnya menggeletak begitu saja di emperan. Dan sorenya ia berjualan lagi menuggu orang-orang yang berbelanja untuk makan malam. Begitu mlam turun, ia pun mengemasi dagangannnya dan menutupnya dengan tenda.
Setiap hari. Rutin.

***
“Kampung Bapak di mana?” tanyaku di satu waktu ketika berteduh menunggu hujan reda.
Kuamati hujan yang tak kunjung reda, hujan ini membuatku tertahan untuk segera pulang ke rumah dan menikmati potongan ubi goreng yang selalu dibuat ibuku, jika hujan turun dan cuaca jadi dingin.
Ia menatapku sekilas, lalu menghisap kreteknya, kretek yang selalu sama, “Ah, kau. Kau suka juga rupanya dengan pertanyaan itu,.” sergahnya kemudian dengan bahasa Indonesia, namun masih terselip dialek daerah yang tak kukenali. Lalu ia terdiam, tidak menatap wajahku yang dipenuhi ketidakmengertian. Ia termenung, seperti menghitung hujan yang bertik-tik mencipta bunyi yang ritmik di atap seng emperan kios itu. Diam, hanya diisi dengan bunyi angin yang mengantar tempias titik air. Angin yang bertiup juga menghapus asap yang keluar dari mulut kami. Ia menatapku lagi, lalu menoleh ke arah jalan, ke arah hujan yang serupa barisan titik-titik air, bersama dingin yang menyapu wajah kami.
“Betulkah kampung halaman itu ada?”
“Mmmm. Ya, kukira..”jawabku tergagap.
“He eh..” Ia terkekeh, meski kudengar hembusan nafasnya lebih mirip keluh yang dalam.
“Kampung halaman itu sebenarnya tak ada, Nak. Dimanapun kita berada itulah kampung halaman kita. Tanah yang kita pijak, itulah kampung halaman kita. Tempat kita bertemu, dan berbuat pada orang-orang yang ada di dekat kita..” ia terus berbicara, dengan mata menerawang.
“Tapi kita kan seperti ikan, yang pernah hidup dalam satu air. Melebur jadi orang yang memiliki kebiasaan yang sama dengan orang-orang sekitar kita” aku bertanya lagi, meski tak sepenuhnya mengerti dengan yang kutanyakan.
“Kita memang lahir di satu tempat, belajar bicara, dan menyerap kebiasaan orang sekeliling kita dan seperti memiliki satu keluarga besar. Jadi kalau kita terusir memang sakit, karena ada bagian diri kita yang terampas dari situ.” ujarnya. “Tapi barangkali itu hanya soal kenangan, he eh … “ gumamnya menatap lurus ke arah jalan yang dipenuhi genangan air.


“Kita ingin kepastian, untuk kenangan, he eh. Kalau kita terusir; itulah yang terampas, dan itu yang kukira lebih sakit” ia terus berbicara, seperti berbicara pada angin. Ada sendu yang coba ia sembunyikan. Sejurus kemudian ia diam, memperhatikan anak-anak yang berlarian menembus hujan yag telah jadi gerimis.
“Bapak tidak pernah kangen? Sama anak bapak, atau mungkin keluarga ....”
Ia hanya diam.
“Bapak tidak pernah pulang? Kalau lebaran atau ada acara keluarga.” tanyaku lagi.
“Bapak mau pulang ke mana? Mereka juga punya kehidupan sendiri. Sesudah berkali-kali terusir, lama-lama bapak pikir, kampung halaman tempat kita harus pulang bukan di sini.
Tapi jauh, bahkan sangat jauh. Mungkin itu yang dinamakan akhirat, tempat tanah yang dijanjikan dan kita tak pernah lagi terusir. Tapi waktunya juga bukan kita yang memilih. dalam hidup ini. Mudah-mudahan Tuhan tidak mengusir bapak.” Ia menerawang, menatap keajuhan. Tiba-tiba mata coklatnya, tampak begitu letih. Ia memandang langit, seperti mencari kampung halaman di gelapnya langit.

***
“Apiiii”. “Api...”
Suara sirene meraung-raung. Suara orang yang berteriak memenuhi udara yang memerah.
Dini hari, dan teriakan-teriakan gaduh melingkungku dalam panik. Aku segera berlari keluar dan melihat jajaran kios di dekat rumahku sudah dilalap api. Semua orang yang tinggal di rumahku tergesa mengangkuti barang keluar rumah sambil berteriak. Langit seperti terbakar, dan sepertinya tak satupun kios yang luput dari pagar api. Asap merah kehitaman memenuhi angkasa mengantar berita duka pada langit. Jejeran kios itu sudah menjadi kerangka bara menyala dan runtuh ke selokan membentuk sungai api yang menyala-nyala .
Semua berlarian dengan panik menyiramkan air. Di sudut-sudut, ibu-ibu berpelukan dan bertangisan lirih, tenggelam dalam sesenggukan puttus asa.
Menjelang pagi, separuh pasar itu punah. Aku mencari Pak tua yang tak kutahu siapa namanya itu. Mungkin ia ada di antara orang- orang yang berjejer disepanjang jalan, di antara onggokan barang yang sempat diselamatkan, tapi ia tak ada. Mungkin ia sudah pulang. Pulang ke tempat dimana tak ada penggusuran paksa, pembakaran, dan operasi yustisi untuk menangkapi orang-orang yang tak memegang selembar kartu KTP; yang barangkali seperti stempel di pantat sapi, sekedar menjelaskan ia dimiliki oleh kelurahan mana. Tapi kenapa ia tak pamit.*
Pasar Cidu, Pebruari 2002

Friday, May 20, 2005

rumah

apakah itu rumah?
apakah hanya sebangun ruang tempat bermukim? atau sebentuk tempat yang telah menyimpan semua kenangan?

aku tak tahu...
aku hanya pejalan. ..yang menladani peta yang tak kupahami benar.
suatu waktu, jika ku temu sebuah ruang yang bersedia menerima tubuh yang letih ini sekedar berbaring, maka izinkan pula lah kau kusebut rumah...