Monday, May 30, 2005

selepas bentrokan itu....

setelah baru saja berita kubuat dan terkirim, aku diminta mengirim lagi "follow-up" perkembangan terbaru..

dan inilah...

(***VO***)

SETELAH BENTROKAN USAI/ APARAT GABUNGAN KINI MEMBONGKAR SEKITAR 40 KIOS PK-5 DI PINTU 2 UNHAS// BELASAN PELAKU DITANGKAP OLEH APARAT POLRESTA MAKASSAR TIMUR// BEBERAPA KORBAN YANG LUKA KINI DIRAWAT DI RUMAH SAKIT WAHIDIN SUDITOHUSODO/ MAKASSAR//

(***ROLL***)

SETELAH UNIT PERINTIS MENGAMANKAN LOKASI BENTROKAN DI KAWASAN PINTU 2 KAMPUS UNHAS/ MAKASSAR/ BELASAN ORANG YANG DIDUGA PELAKU DITRANGKAP DAN DIGELDANDANG KE MAPOLRESTA MAKASSAR TIMUR// SEDANG BEBERAPA ORANG KORBAN KINI DIRAWAT DI RUMAH SAKIT WAHIDIN SUDIROHUSODO/ MAKASSAR//

(WWC I/ AJUN KOMISARIS/ ANDI PATAWARI/ KAPOLRESTA MAKASSAR TIMUR// KITA MENANGKAP BEBERAPA PELAKU UNTUK MENJALANI PEMERIKSAAN LANJUTAN// JIKA TERBUKTI/ PROSES HUKUM AKAN DITERUSKAN// JIKA TIDAK/ MEREKA AKAN KITA LEPASKAN//)

SEMENTARA/ APARAT GABUNGAN DARI SATPAM KAMPUS DAN SATPOL PP PEMERINTAH KOTA MAKASSAR LANGSUNG MEMBONGKAR SEKITAR 40 KIOS PK-5 DI KEDUA SISI JALAN PINTU 2 KAMPUS UNHAS// MENURUT PIHAK UNHAS/ PEMBONGKARAN INI DILAKUKAN/ KARENA SEBELUMNYA PK-5 SUDAH DIPERINGATI BERKALI-KALI//

(WWC II/ RISMA/ SALAH SEORANG PEDAGANG/ / YANG MEMBONGKAR ITU PARA PREMAN/ KAMI MAU MENUNTUT//)

SEMENTARA ITU/ POLISI KINI MASIH BERJAGA-JAGA// PK-5 JUGA MULAI MENGEMASI BARANG-BARANG MEREKA YANG MASIH TERSISA DARI PEMBONGKARAN//

(***END***)....

hanya itu reportase yang bisa kutulis dari sekian banyak yang telah terjadi di jejeran kios pk-5 di kampus unhas. gambar sudah ditayangkan setelah 'dilempar' via satelit ke stasiun tv di Jakarta.. demikian cepat semua 'rekaman kenyataan' itu bergerak lalu tiba.

Adakah kecemasan, haru, dan perih yang kurasakan juga sampai ke tiap mata yang melihat tayangannya. .

Setelah jejeran kios itu rata dengan tanah; puluhan bapak-bapak, anak-anak, ibu tua yang masih terlihat sisa tangis dari matanya mengemasi sisa 'rumah' mereka. mereka mulai mengemasi harapan. Seorang ibu, sambil mengemasi tangisnya; "begini ternyata pemerintah..."

Ada beberapa anak yang masih mengenakan seragam sekolahnya. Mereka yang baru saja tiba sekolah --mungkin tak menyangka; kalau tempat ibunya mencari uang sekolahnya kini telah rata dengan tanah. Harapannya mungkin turut musnah.

ah..kenangan-ku selama bertahun-tahun melewati malam yang demikian hidup di kios-kios di pintu II itu mungkin harus pula kukemasi. Sarabba, Ubi goreng, juga puisi cinta yang pernah kutulis dari tempat itu..kini hanya sekedar ingatan.

Semua yang pernah melewati malam di pintu 2 unhas, akan mengenang hari ini. 30 mei 2005.


......
(***PKG***)
PETUGAS KEAMANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN/ATAU (UNHAS)/ MAKASSAR/ SULAWESI-SELATAN/ BERSAMA TRAMTIB PEMERINTAH KOTA MAKASSAR TERLIBAT BENTROK DI KAWASAN PINTU 2 UNHAS KAMPUS TAMALANREA/ SAAT AKAN MENGGUSUR KIOS PK-5 DI KAWASAN PINTU 2 UNHAS//

(***ROLL***)
BETROKAN TERJADI SAAT SATPAM UNHAS/ BERSAMA PAMONGPRAJA DARI PEMERINTAH KOTA MAKASSAR/ AKAN MENGGUSUR KIOS PEDAGANG K-5 YANG BERJUALAN DI SEPANJANG SISI MASUK JALAN PINTU 2 UNHAS//

SATUAN PENGAMAN TERLIBAT SALING LEMPAR DENGAN PARA PK-5/ SELAMA 2 JAM LEBIH// MASSA SALING MELEMPAR DENGAN BATU/ BOTOL/ DAN POTONGAN KAYU// TERJADI KEMACETAN PANJANG DI JALAN PERINTIS KEMERDEKAAN/ TAMALANREA/ MAKASSAR//

PASUKAN PENGENDALI HURU-HARA DARI POLRESTA MAKASSAR TIMUR/ BERJAGA DI JALAN PINTU 2 UNHAS MENAHAN LEMPARAN DARI PARA PK-5/ YANG BERADA DI DEPAN JALAN PERINTIS KEMERDEKAAN/ MAKASAR//

BEBERAPA PEDAGANG K-5/ DAN SATPAM TERLUKA TERKENA LEMPARAN BATU// KACA DEPAN SATU UNIT MOBIL PEMADAM KEBAKARAN UNHAS PECAH TERKENA LEMPARAN BATU//

KERUSUHAN DAPAT TERATASI SETELAH UNIT PERINTIS DARI POLRESTA MAKASSAR TIMUR MENGAMANKAN LOKASI KEJADIAN// 7 ORANG YANG DIDUGA TERLIBAT SEBAGAI PROVOKATOR DIAMANKAN OLEH POLISI//

SETELAH TERATASI/ SATPAM UNHAS DAN TRAMTIB PAMONGPRAJA PEMERINTAH KOTA MAKASSAR/ LANGSUNG MEMBONGKAR KIOS-KIOS PK-5//

SEMENTARA PASUKAN PENGENDALI HURU-HARA MENJAGA KEADAAN//
(***END***)
.....

Hanya ini yang bisa kutulis setelah menyaksikan bagaimana bentrok yang terjadi di Pintu II Unhas baru-baru saja. Hampir menangis rasanya, tapi aku harus berdiri, melihat kayu, botol dan batu-batu berterbangan. Aku menghitung korban, lalu menulis...

Banyak sekali tangis, banyak yang terluka. Juga hati ini.

gusur

Dari Pintu II Universitas Hasanuddin, menunggu penggusuran pedagang yang menjual di sisi jalan masuk kampus..Aku harus menulis reportase untuk stasiun TV tempatku bekerja.

Massa sudah memasang barikade dari ban-ban bekas, meja dan bentangan spanduk. Mahasiswa yang turut bersama massa pedagang kaki lima, sudah berorasi dengan suara yang serak dan wajah merah padam. Di jalanan, batu-batu sudah diserak, mungkin persiapan amunisi untuk menghalau para penggusur.. wartawan, menunggu. Di seberang jarak lainnya, Satpam Unhas sementara siaga.

Aku menunggu, sambil termenung; "bagaimana mempersepsi kenyataan ini?"

Seorang ibu, kemudian mengambil megafon dan berteriak--dengan logat makassar yang kental, "aku tak mau digusur!!!!!!" "Saya seorang Janda, entah di mana lagi bisa cari makan, kalau tempat ini digusur..."
"Masak, hanya karena akan dibuat taman bunga, kita semua mau digusur? lebih penting bunga-bunga, dibanding manusia?"

Aku terhenyak.

entahlah, dalam pembangunan ini, mungkin taman kota-yang terawat rapi, lebih penting dari miskin yang sementara mengais hidup di tempat yang semrawut...

Sunday, May 29, 2005

Ada Toha, yang baru saja mengambil cutinya, setelah setahun lebih ditekan padatnya jadwal kerja perusahaan multinasional. Ada Abdullah Sanusi, Dosen perguruan tinggi negeri di Makassar. Ada Nurhady Sirimorok, peneliti senior kajian Sulawesi. Ada aku, anak pasar cidu. Di ruang berpendingin, di excelso, bersama toraja cappucino dan tembakau yang terus mengepul dari asap kami. Hidup coba kami perbincangkan.

Setelahnya, hidup adalah milik kita masing-masing, that's all!!!
Jalanilah, dan berdamailah dengan kenyataan...

hilang 1 rumah

Aku kehilangan lagi satu rumahku. Lalu apa yang hilang? Tiba-tiba terasa ada lepas, tercerabut dari dada. Dan sejenak, aku tiba-tiba tersadar betap semua demikian nisbi..rapuh seperti utas benang jaring laba-laba. c'est la vie, mon ami.. Inilah hidup; apa yang tak bisa hilang? everything's change isn't..

sebelumnya, aku tahu, aku akan bertahan dan mennjalani semuanya.
pun "rumah" ini, mungkin sekedar persinggahan dalam perjalanan yang tak pernah bisa kuterka kemana kelak berakhir.

a journey to find a home..

Monday, May 23, 2005

Lelaki Urban

Lelaki itu menghisap dalam rokok kreteknya, lalu menghembuskan asapnya kuat –kuat. Seolah ingin melontarkan kalut yang menimbun dadanya bersama hamburan asap nikotin itu. Sekali, dua kali, tiga kali, sudah sejak beberapa jam lalu, lelaki itu diam di bawah lampu merkuri lima ratus watt, tersembunyi dalam remang malam di bawah atap kios yang sedari lepas magrib sudah tutup.
Wajahnya seperti lokomotif yang mendesis-desis dan mengeluarkan kepulan asap. Ia terus menghisap kreteknya, sambil sesekali menepuk lengannya, mengusir nyamuk yang menusuk kulitnya yang legam. Ia terus tenggelam dalam diamnya. Di sampingnya, menggeletak sebungkus rokok dan korek api. Rokok itu tinggal separuh, selebihnya sudah menjadi asap yang mengisi rongga dada lelaki itu, dan menguap ke langit malam. Ia terus bertahan dalam remang malam kios itu. Seperti patung budha yang diam diselubungi asap hio.
Sampai tiang listrik dari lorong seberang dipukul orang dua kali tanda malam sudah larut, barulah ia bergegas masuk ke dalam biliknya. Ruang sempit dari papan bekas peti buah yang dibangunnya tepat di atas selokan, yang lalu ditambalnya dengan lapisan plastik dari karung bekas gula. Sebelumnya, ia membakar dua lingkar obat nyamuk dan sekali lagi membakar sebatang kretek kemudian tenggelam dalam biliknya yang pasti akan segera dipenuhi asap.
Hampir tiap malam, begitulah yang rutin dilakukannya. Duduk di bawah lampu depan kios pasar yang sudah tutup. Merokok, dan diam termenung-menung memandang jalan. Sesekali menengadah mencari bulan atau melihat bintang. Dan selalu bergegas masuk setelah di kejauhan tiang listrik berdentang dua kali atau ia melihat anak-anak pasar yang tertatih mabuk mendekatinya.
***
Sebulan lalu, lelaki itu datang di pasar depan rumahku, entah ia berasal dari mana. Lelaki itu belum terlalu tua. Rambutnya belum sepenuhnya kelabu, beberapa uban bersembunyi di balik topi tua yang selalu dikenakannya. Wajahnya yang persegi tampak keras dengan hiasan kumis dan bekas cukuran janggut di dagunya. Pipinya cekung, karena keseringan menghisap kretek yang keras. Matanya coklat kemerahan. Mata yang memendam sungai keruh yang bergolak melawan hidup.
Setiap pagi, sebelum matahari meninggi, ia segera menenteng handuk, timba, dan celana pendeknya ke sumur di dalam lorong. Satu-satunya sumur umum di lorong dekat kiosnya. Dengan dada telanjang, ia mandi bersama anak-anak kecil yang juga tergesa untuk segera ke sekolah. Bergabung bersama perempuan-perempuan yang mencuci dan orang-orang yang sibuk mengambil air. Mereka menyemut di sekitar bundaran sumur kecil itu, seperti lelaron yang mengerumuni lampu.
Dan tak lama setelahnya, dengan rambut yang disisir ke belakang ia pun segera menggelar dagangannya, dan melebur dalam pasar yang sebentar kemudian dipenuhi hiruk pikuk jual-beli. Ia satu warna dari sekian banyak warna yang menyusun mozaik pasar itu. Bersama bau bacin, keringat, amis ikan, dan lumpur.
“Ikan...Ikan, kalau ibu tak percaya ini baru, boleh dikembalikan!!!”
“Tomatnya, Bu!!”
Ia turut memanggil pembeli seperti tukang becak, penjual ayam, penjual ikan, juga dengan bapak haji penjual beras yang mengundang pembeli.
Setelah siang, dan pasar usai, ia hanya berbaring di meja emperan bekas warung penjual nasi, membiarkan keranjang dagangannnya menggeletak begitu saja di emperan. Dan sorenya ia berjualan lagi menuggu orang-orang yang berbelanja untuk makan malam. Begitu mlam turun, ia pun mengemasi dagangannnya dan menutupnya dengan tenda.
Setiap hari. Rutin.

***
“Kampung Bapak di mana?” tanyaku di satu waktu ketika berteduh menunggu hujan reda.
Kuamati hujan yang tak kunjung reda, hujan ini membuatku tertahan untuk segera pulang ke rumah dan menikmati potongan ubi goreng yang selalu dibuat ibuku, jika hujan turun dan cuaca jadi dingin.
Ia menatapku sekilas, lalu menghisap kreteknya, kretek yang selalu sama, “Ah, kau. Kau suka juga rupanya dengan pertanyaan itu,.” sergahnya kemudian dengan bahasa Indonesia, namun masih terselip dialek daerah yang tak kukenali. Lalu ia terdiam, tidak menatap wajahku yang dipenuhi ketidakmengertian. Ia termenung, seperti menghitung hujan yang bertik-tik mencipta bunyi yang ritmik di atap seng emperan kios itu. Diam, hanya diisi dengan bunyi angin yang mengantar tempias titik air. Angin yang bertiup juga menghapus asap yang keluar dari mulut kami. Ia menatapku lagi, lalu menoleh ke arah jalan, ke arah hujan yang serupa barisan titik-titik air, bersama dingin yang menyapu wajah kami.
“Betulkah kampung halaman itu ada?”
“Mmmm. Ya, kukira..”jawabku tergagap.
“He eh..” Ia terkekeh, meski kudengar hembusan nafasnya lebih mirip keluh yang dalam.
“Kampung halaman itu sebenarnya tak ada, Nak. Dimanapun kita berada itulah kampung halaman kita. Tanah yang kita pijak, itulah kampung halaman kita. Tempat kita bertemu, dan berbuat pada orang-orang yang ada di dekat kita..” ia terus berbicara, dengan mata menerawang.
“Tapi kita kan seperti ikan, yang pernah hidup dalam satu air. Melebur jadi orang yang memiliki kebiasaan yang sama dengan orang-orang sekitar kita” aku bertanya lagi, meski tak sepenuhnya mengerti dengan yang kutanyakan.
“Kita memang lahir di satu tempat, belajar bicara, dan menyerap kebiasaan orang sekeliling kita dan seperti memiliki satu keluarga besar. Jadi kalau kita terusir memang sakit, karena ada bagian diri kita yang terampas dari situ.” ujarnya. “Tapi barangkali itu hanya soal kenangan, he eh … “ gumamnya menatap lurus ke arah jalan yang dipenuhi genangan air.


“Kita ingin kepastian, untuk kenangan, he eh. Kalau kita terusir; itulah yang terampas, dan itu yang kukira lebih sakit” ia terus berbicara, seperti berbicara pada angin. Ada sendu yang coba ia sembunyikan. Sejurus kemudian ia diam, memperhatikan anak-anak yang berlarian menembus hujan yag telah jadi gerimis.
“Bapak tidak pernah kangen? Sama anak bapak, atau mungkin keluarga ....”
Ia hanya diam.
“Bapak tidak pernah pulang? Kalau lebaran atau ada acara keluarga.” tanyaku lagi.
“Bapak mau pulang ke mana? Mereka juga punya kehidupan sendiri. Sesudah berkali-kali terusir, lama-lama bapak pikir, kampung halaman tempat kita harus pulang bukan di sini.
Tapi jauh, bahkan sangat jauh. Mungkin itu yang dinamakan akhirat, tempat tanah yang dijanjikan dan kita tak pernah lagi terusir. Tapi waktunya juga bukan kita yang memilih. dalam hidup ini. Mudah-mudahan Tuhan tidak mengusir bapak.” Ia menerawang, menatap keajuhan. Tiba-tiba mata coklatnya, tampak begitu letih. Ia memandang langit, seperti mencari kampung halaman di gelapnya langit.

***
“Apiiii”. “Api...”
Suara sirene meraung-raung. Suara orang yang berteriak memenuhi udara yang memerah.
Dini hari, dan teriakan-teriakan gaduh melingkungku dalam panik. Aku segera berlari keluar dan melihat jajaran kios di dekat rumahku sudah dilalap api. Semua orang yang tinggal di rumahku tergesa mengangkuti barang keluar rumah sambil berteriak. Langit seperti terbakar, dan sepertinya tak satupun kios yang luput dari pagar api. Asap merah kehitaman memenuhi angkasa mengantar berita duka pada langit. Jejeran kios itu sudah menjadi kerangka bara menyala dan runtuh ke selokan membentuk sungai api yang menyala-nyala .
Semua berlarian dengan panik menyiramkan air. Di sudut-sudut, ibu-ibu berpelukan dan bertangisan lirih, tenggelam dalam sesenggukan puttus asa.
Menjelang pagi, separuh pasar itu punah. Aku mencari Pak tua yang tak kutahu siapa namanya itu. Mungkin ia ada di antara orang- orang yang berjejer disepanjang jalan, di antara onggokan barang yang sempat diselamatkan, tapi ia tak ada. Mungkin ia sudah pulang. Pulang ke tempat dimana tak ada penggusuran paksa, pembakaran, dan operasi yustisi untuk menangkapi orang-orang yang tak memegang selembar kartu KTP; yang barangkali seperti stempel di pantat sapi, sekedar menjelaskan ia dimiliki oleh kelurahan mana. Tapi kenapa ia tak pamit.*
Pasar Cidu, Pebruari 2002

Friday, May 20, 2005

rumah

apakah itu rumah?
apakah hanya sebangun ruang tempat bermukim? atau sebentuk tempat yang telah menyimpan semua kenangan?

aku tak tahu...
aku hanya pejalan. ..yang menladani peta yang tak kupahami benar.
suatu waktu, jika ku temu sebuah ruang yang bersedia menerima tubuh yang letih ini sekedar berbaring, maka izinkan pula lah kau kusebut rumah...