Monday, October 20, 2014

Daeng Saodah

(penggalan ini sedianya akan jadi bahan novel tentang Pasar Cidu, namun setelah beberapa hari lalu Daeng Saodah berpulang, maka kujadikanlah ini sebagai memorabilia buat beliau)


Meski memaksa mengingat, aku tak pernah tahu sejak kapan Daeng Saodah tinggal di Pasar Cidu. Aku hanya ingat ia berjualan kelapa dan berbagai rempah di depan rumah kakek tempatku menghabiskan masa kecil. Dengan tubuhnya yang kecil ringkih ia dengan lincah memulai hari mempersiapkan dagangannya. Ia menjual buah kelapa dan segala macam turunannya. Mulai dari buah Kelapa, sabut dan tempurung hingga minyak kelapa yang selalu dimasaknya dari sisa kelapa yang telah berubah bentuk menjadi kopra.

Selain buah kelapa, barang turunan lainnya yang dijual Daeng Saodah, adalah kulit pembungkus kelapa, baik itu kulit luar yang disebut sabut hingga tempurung kelapa. Sabut dan tempurung kelapa sering dipakai sebagai arang untuk membakar ikan ataupun memanggang daging. Buah kelapa yang sudah dikupas dari tempurungnya memiliki usia tersendiri. Setelah berusia beberapa hari, kelapa ini tak bagus lagi untuk dijadikan bahan makanan. Maka Daeng Saodah akan membuatnya menjadi kopra dengan menjemurnya. Kopra ini akan dimasak hingga beberapa jam menggunakan kayu bekas ataupun tempurung untuk dijadikan minyak goreng.

Minyak goreng yang dimasak dari kelapa ini baunya gurih dan wangi. Berbeda jauh dengan minyak sawit curah buatan pabrik. Namun berbeda jika minyak itu dilumur ke rambutmu. Setiap akan berangkat ke taman-kanak-kanak, nenekku sering mencelup sedikit jarinya ke kaleng besar berisi minyak kelapa Daeng Saodah itu lalu diusapkan ke rambutku yang tipis. Karenanya aku selalu ingat bau sengak dari minyak kelapa di rambutku jika terlalu lama terjemur terik matahari.

Kelapa, santan, dan minyak, dari situlah hidup Daeng Saodah berputar. Tapi kami tak pernah tahu sejak kapan ia tiba dan menetap di salah satu lubuk labirin Pasar Cidu ini. Tubuhnya kurus dan kecil, nyaris ringkih. Namun tenaga dan semangat yang tersimpan di dalamnya jauh lebih kuat. Ia bangun setiap dini hari sebelum azan subuh berkumandang. Setelah menunaikan sholat subuh di mesjid, ia mulai bekerja saat hari masih gelap. Dan bagi sebagian besar warga Pasar Cidu yang masih terlelap, itulah penanda pagi sudah dimulai, bukan kokok ayam jantan peliharaan Pak RT. Betapa tidak, raungan mesin pemarut kelapa miliknya yang bisa jadi seusia dirinya saking tuanya, begitu memekakkan telinga. Dan bagiku, itulah alarm sebelum nenekku datang membangunkan tidurku yang sebenarnya sudah dibangunkan sejam yang lalu oleh pekikan mesin tua itu. Aku selalu ingat deru Helikopter yang melintas di atas Pasar Cidu, saat Bapak Presiden Soeharto dikabarkan akan berkunjung menyaksikan hasil pembangunan di salah satu daerah di propinsi ini.

Setiap hari ia bekerja dari subuh hingga hampir tengah malam. Aku hanya kadang menemukan ia bersitirahat sekedarnya selepas sholat Lohor, saat ia duduk terkantuk-kantuk di bangku kayu miliknya. Ia berjualan hingga lepas isya, dan lapak jualannya itu hanya ia tutup dengan terpal sekedarnya. Khusus mesin pemarut andalannya, dirantai ke kaki meja agar tak ada yang nekat mencurinya demi dijual ke penampung besi bekas atau melempar-jangkarkan mesin itu demi menyelamatkan ketenangan fajar di Pasar Cidu.

Tapi bagi kami, terkhusus buatku. Kehadiran daeng Saodah membawa berkah tersendiri. Selain Bos Besar yang biasanya memberi kami pekerjaan mengambil air, ia juga salah satu yang menyimpan uang jajan tambahan kami. Apalagi di musim permainan seperti musim layangan maka ia adalah penyimpan tiket untuk mendapatkan uang tambahan pembeli layangan dan benang berkualitas lebih bagus. Juga demi mainan yo-yo yang sedikit lebih bagus dari yang bisa dijangkau sisa uang jajan kami.

Setiap kami datang menawarkan jasa, ia hanya mengangguk. Bagi kami, Ia seperti God Father yang bersedia menerima siapapun yang tiba menjual tenaga asal rela dibayar murah. Banyak pekerjaan yang bisa kami lakukan di onggokan butir kelapa miliknya. Biasanya, karena tak harus tidur siang, kami menuju lapak Daeng Saodah.

Setelah remaja tanggung yang juga mencari uang tambahan selesai mengupas kelapa dari tempurungnya, kami bisa menjadi tukang bungkus tempurung yang selanjutnya dijual per kantong. Ketika menjadi pemula, caranya tak bisa sembarangan. Untuk membungkus tempurung kelapa ke dalam kantong plastik, kami harus menyusun potongan tempurung kelapa yang berukuran kecil di bagian bawah selanjutnya potongan lebih di atas ditaruh di bagian atas. Selain agar susunannya lebih bagus, susunan itu akan lebih menarik bagi pembeli. Setidaknya begitu tutorial singkat dari Daeng Saodah yang dijelaskan, juga dengan cara yang cepat dan tergesa dengan sebagian besarnya adalah potongan bahasa Mandar, kampung halaman Daeng Saodah, yang tak kami mengerti. Intinya, jika tak berhati-hati membungkus tempurung ini, sudut kulit kelapa yang tajam itu bisa membuat kantong plastik robek. Dan bagi Daeng Saodah itu, bisa jadi adalah pemborosan yang besar. Tak ada kesepakatan sebenarnya tentang besaran upah. Namun kantong plastik yang robek, dan tempurung yang berceceran adalah alamat hal buruk atau upah yang lebih kecil dari biasanya.

Setelah sekian lama menjadi tukang bungkus tempurung kelapa, kami bisa mulai belajar mengupas kelapa dari tempurungnya atau disebut papara’ kelapa. Ya kami harus mempelajarinya. Sebab jika salah mengupas kelapa, kami bisa saja membuat kelapa itu retak atau pecah dan airnya berceceran. Harga kelapa yang pecah dan tidak lagi berisi air kelapa di dalamnya berbeda dengan kelapa yang masih utuh dengan air kelapa di dalamnya. Kulit tempurung kelapa yang keras, dikupas menggunakan parang atau golok pendek dengan bilah yang tebal dan tajam. Parang jenis itulah yang terbaik digunakan untuk mengupas kelapa dari tempurungnya.

Jika belum terlatih kami harus belajar mengupas kelapa yang memang sudah pecah saat pengiriman. Upahnya separuh atau kurang dari upah mengupas sebutir kelapa utuh. Sebelah tangan mengupas kelapa menggunakan parang pendek yang bilahnya tebal untuk memisahkannya dari daging kelapa, sementara tangan yang satu memegang dan mengendalikan kelapa agar parang bisa mengenai titik tempurung yang pas, agar bisa dikupas dengan lebih mudah.

Resiko mengupas kelapa cukup besar karena selain kegagalan yang menyebabkan kelapa pecah yang berarti upahnya dipotong, jika tak berhati-hati, kau bisa saja kehilangan ruas jarimu --terutama jari jempol.
Jika sudah terlatih, maka kau bisa menjadi pa-papara’ seperti memiliki mata di tanganmu yang menggenggam parang. Tanganmu akan lincah menari mencukur bersih tempurung kelapa yang keras itu. Aku sering melihat beberapa pengupas kelapa atau disebut pa-papara’ yang dikenal lincah, mengupas kelapa sambil mengobrol atau tertawa-tawa bersama kawannya. Dan hanya butuh tak sampai sepuluh detik, ia telah menyelesaikan kelapa yang dikupasnya. Dalam sekali kontrak mengupas kelapa, ia bisa mengupas hingga ratusan butir kelapa.

Jumlah anggota terlatih ini tak banyak. Pa-papara' yang berkeahlian mumpuni selalu dicari saat menjelang lebaran, sebab permintaan santan kelapa untuk penganan lebaran meningkat. Beberapa nama beredar saat menjelang lebaran. Biasanya sepekan sebelum lebaran, para penjual kelapa termasuk Daeng Saodah sudah mencari pa-papara’ ini untuk dipekerjakan mengupas kelapa yang jumlahnya hingga seribuan butir. Agar lebih menarik, selain upah yang lebih tinggi beberapa rupiah, mereka juga sering mendapat rokok agar betah mengupas kelapa hingga jauh malam. Dan bagi remaja tanggung di Pasar Cidu, proyek itu bisa menjadi tiket untuk membeli celana ‘blue-jeans’ yang cukup kaku untuk dipakai ke rumah gadis incaran demi menyambung silaturahmi atau bibit asmara.

Itu tentang pa-papara' yang terlatih, soal urusan kulit kelapa ini, karirku tak panjang di dunia mengupas kelapa atau papara’. Saat menjalani ‘masa magang’ dengan mengupas kelapa sisa yang sudah terlanjur pecah, meski aku telah cukup bertekun, aku nyaris memangkas ruas jempolku. Darah langsung bercucuran dari jariku yang terkena parang. Aku nyaris saja menangis melihat banyaknya darah yang keluar dari jariku yang perih dan berdenyut-denyut nyeri.

Namun untuk luka seperti itu, tak perlu ada kepanikan berlebihan. Nenekku hanya maklum saat melihat tanganku berlumur darah. Daeng Saodah juga cukup mengeluarkan asuransi pertanggungan andalannya. Ujung jempolku cukup dibebat dengan plaster obat (yang di Pasar Cidu disebut hendiplas, mengacu pada merk Handyplast), dan untung saja parang tajam itu tidak memotong tulang jariku. Rupanya banyak orang yang melihatku, termasuk Nenekku dan Daeng Saodah tentu saja sudah menduga kalau aku tak punya bakat. Kata mereka karena aku kidal. Dan Dunia Pasar Cidu yang dikuasai ‘mayoritas kanan’ menganggap orang yang kidal hanya berbakat menjadi seperti Elias Pycal, petinju yang mengharumkan nama Indonesia lewat kepalan tangannya saat itu.

Pertimbangan dan trauma itu juga yang membuat aku memilih karir lain di Pasar Cidu. Yang paling utama adalah menjadi pengangkat air bagi Bos Besar. Dan kedua tanganku, terutama tangan kiriku yang tidak piawai menarikan parang pendek di atas butir kelapa, terasa lebih berguna menghasilkan recehan dengan menimba air dan mengisi baskom besar milik Bos Besar pengutip retribusi pasar.
..demikianlah..
Selamat beristirahat di sana, Mak.. Salam pada Nenekku yang telah lama mendahuluimu. Semoga dilapangkan tempatmu disana, seluas langkahmu yang selalu menyambung silaturahmi..