Friday, November 08, 2013

Warung Kopi, Jantung Pasar Cidu

Di Pasar Cidu, pagi selalu dimulai di warung kopi. Sepertinya inilah darah pertama yang menentukan bagaimana hidup warga di kawasan Pasar Cidu dimulai. Dengan gelas-gelas kopi dan perbincangan yang rutin, ganti berganti warga di sekitar pasar ini datang ke warung kopi kecil yang dibangun melengket di dinding bekas gudang rotan. Dengan dinding kayu dan beratap seng sederhana, beberapa meja panjang maka jadilah warung kopi ini menjadi melting pot warga Pasar Cidu. Tempat warga mencair dan bertatap muka.

Begitu hari belum terang tanah, kursi di warung kopi yang sebenarnya tidak terlalu banyak, mulai terisi. Bapak-bapak haji yang pulang dari masjid usai menunaikan salat subuh, singgah untuk memulai sarapan mereka.Tempat mereka adalah di meja panjang di belakang persis berbatasan dengan tembok gudang. Masih membawa sajadah dan sorban yang menjadi penghangat, sekadar penahan dingin dari kulit leher mereka yang telah renta. Sorban model kafayeh yang selalu dipakai Yasser Arafat, pentolan PLO, biasanya berwarna putih dengan garis pembagi berwarna hitam atau merah ini juga menjadi penanda kalau mereka telah menunaikan haji.

Perbincangan mereka mulanya hanyalah hal yang remeh dan sederhana. Tentang kondisi kesehatan mereka dan orang-orang yang mereka kenal—juga, jika baru saja ada tetangga atau rekan mereka yang berpulang, maka sempatlah mereka membahas bagaimana almarhum di masa hidupnya. Tak perlu soal pencapaian mereka di masa hidup, penghormatan kepada yang telah selesai berurusan dengan hidup ini tetap penting dengan mengenang kebaikan mereka yang telah berpulang. Mereka selalu membincang soal itu dengan nada getir, sebab meski ajal tak pernah jelas kapan tibanya, namun bagi mereka, hal itu mengintai lebih dekat.

Setelah itu barulah mereka membincang hal di luar diri mereka.Tentang harga beras yang naik karena panenan yang gagal dihajar wereng coklat dan pemerintah yang saat itu terus menggenjot swasembada pangan. Aku selalu ingat Bapak Presiden berpidato di televisi tetangga. Bagi sebagian Pak Haji ini, pemerintah tidak boleh kalah oleh wereng coklat dan harus terus berbuat bagi masyarakat. Bagi sebagian lainnya, panenan yang gagal bisa menjadi hal yang metafisik: jika pemerintah tidak mencegah kemungkaran, maka hasil panen akan selalu gagal seperti yang termaktub dalam kisah-kisah umat nabi di kitab suci. Dan perdebatan di bagian ini selalu panjang dan bertele-tele. Meski aku tak mengerti benar, seingatku ada seorang di antara mereka yang mengutip masa paceklik yang dikisahkan dalam mimpi Raja Mesir yang ditafsirkan Nabi Yusuf, putra Nabi Yakub.

Lalu di bagian inilah mereka kerap berdebat kencang sambil sesekali menyeruput kopi hitam, dengan gula yang sedikit demi menghindari kencing manis di usia mereka yang tak lagi muda. Beberapa di antaranya merokok. Salah seorangnya, si juragan tembakau, membawa kotak anyaman pandan yang berisi tembakau dan lembaran kertas. Ia melintingnya menjadi sebatang rokok. Ketika dihembuskan, asap rokok ini menyembunyikan wajah pemiliknya dalam kabut. Semakin hangat perbincangan semakin kencanglah asap beraroma tembakau itu mewarnai udara pagi. Dan sepertinya, selain asap dari kompor yang memasak kopi arabika, asap itulah yang turut mewarnai dinding yang semula dilapisi cat kapur putih menjadi kuningan kusam.
Matahari mulai tampak. Satu per satu anggota kelompok ini pulang. Ada yang membuka kios di pasar, ada pula mengisi waktu di rumah mereka dengan menunggu salat dhuha, atau sekadar bermain dengan anak cucunya.Tak ada janji besok mereka akan bertemu lagi.

Dan berdasar jadwal yang entah siapa menetapkannya, kelompok kedua warung kopi ini mulai datang. Umumnya yang datang adalah usia pertengahan yang menjadi pegawai kantoran, atau mereka yang akan membuka toko. Mereka membutuhkan penyemangat sebelum bertempur meraup laba atau duduk berdiam di kantor. Mereka biasanya telah memakai seragam pegawai negara ataupun pakaian rapi lengkap dengan rambut yang disisir ke samping. Mereka tak pernah ingin menunggu terlalu lama pesanan mereka diantarkan. Mungkin berkejaran dengan jadwal masuk kantor, sedikit saja pesanan mereka tertahan, mereka akan segera menyeru pada kami pelayan di warung kopi ini.

Umumnya kelompok ini memilih kopi susu dengan menyebut ‘Tipis’ atau ‘Tebal’, dipakai untuk menunjukkan kadar kepekatan kopi yang dicampur susu kental manis. Mungkin yang pertama menahbiskan penyebutannya membayangkan rasa kopi seperti lembaran-lembaran kertas yang akan lekat pada lidahmu lalu lebur menjadi lembaran-lembaran lain yang melekat di lambung hingga aliran darah. Bersama mereka, hari mulai terasa tergesa. Dan si peracik kopi akan lebih kencang mengangkat-turunkan tapisan berisi biji kopi yang telah digiling kasar dari cerek kuningan, lalu memindahkan cairan kopi kental ke dalam gelas yang telah diberi susu kental. Takaran tergantung keinginan tadi: tebal atau tipis.

Selain Tebal-Tipis, kadang ada yang memesan kopi yang dicampur telur ayam kampung. Sepertinya mereka percaya kandungan protein kuning telur ayam kampung akan memberi mereka tenaga lebih untuk bekerja lebih giat, atau mengembalikan semangat mereka setelah melewati malam dengan kepayahan.

Biasanya mereka membaca koran yang baru saja tiba, lalu berbincang sekadarnya tentang berita yang sedang hangat. Tak banyak jenis koran waktu itu. Setelahnya, tak pernah cukup lama, sebagian dari mereka kemudian beranjak. Melihat dari cara mereka menengok arloji di pergelangan tangan, beberapa di antaranya memang mengejar jam masuk yang ditentukan dengan mesin pencatat kehadiran dengan memasukkan kertas ke dalam celah mesin. Pengunjung lain yang tidak harus mengejar detik jam di mesin absen, juga bergegas kembali ke toko untuk mencoba peruntungan; dengan harapan ’setebal laba’ dan ‘setipis rugi’



Lalu tibalah kelompok yang utama di warung kopi ini.Aku menyebut ‘kelompok utama’ sebab merekalah pengisi waktu terlama di warkop ini. Ibarat babakan drama, maka setelah prolog singkat, maka inilah babak utama yang panjang. Merekalah para Perantara atau Makelar. Atau aku, beberapa waktu kemudian, lebih suka menyebut mereka sebagai Si Pembawa Harapan, meski untuk hal yang mustahil. Mereka selalu datang dengan semangat penuh dan senyum yang terkembang. Suara mereka selalu optimis dan penuh sugesti. Lidah mereka penuh puji dan janji.

Cara mereka meminta kopi lebih tergesa dibanding kelompok pegawai. Seolah mereka berkejaran dengan waktu yang lebih pendek dari orang lain. Kelompok ini selalu memesan kopi susu ‘tebal’. Begitu kopi pesanan tiba, mereka hanya akan menyeruputnya sedikit, tampak sekadar merasakan panas kopi menggigit lidah mereka. Setelahnya mereka akan menyulut rokok lalu mulai berbincang sesama mereka.

Dibanding kelompok sebelumnya, sebenarnya mereka sangat cair. Dengan mudah mereka membaur ke meja siapa pun, kendati orang yang semeja dengan mereka tak mereka kenal sebelumnya. Dengan mudah percakapan segera mengalir. Kopi susu di depan mereka masih penuh dan mengepul harum. Suara mereka menggebu membincangkan proyek ataupun rencana bisnis jutaan yang akan mereka garap. Ada tanah seluas berhektar-hektar yang akan dibeli oleh pengusaha dari luar negeri karena akan dibangun pabrik pengolahan sesuatu yang entah apa. Atau proyek pemerintah yang bernilai ratusan juta. Dan yang paling hangat dan menggoda, adalah perburuan barang antik, seperti emas Soekarno yang mereka anggap masih berdiam di suatu tempat menunggu tangan-tangan yang terampil dan beruntung menemukannya. Perburuan dollar brazil (yang terakhir kukenali sebagai cruseiros dan dinyatakan tidak berlaku lagi) yang jika diuangkan kabarnya bisa mencapai miliaran rupiah. Cara mereka bercerita begitu meyakinkan, seolah mereka telah menerima titah dari Presiden Soekarno untuk mencairkan Dana Revolusi. Janji terus mengalir membuai mereka yang tidak waspada. Matahari mulai tinggi tak ada lagi kesan tergesa yang awalnya mereka bawa ketika datang. Kopi di depan mereka mulai dingin dan tinggal separuh.

Hari beranjak siang, obrolan mereka akan bergeser ke hal yang lebih sederhana. Biasanya mereka akan saling menunjukkan jam tangan atau arloji yang mereka pakai. Jika salah satu menunjukkan arloji yang mereka pakai, menyebut harga dan keunggulan merk, lainnya hanya mengangguk mengiyakan. Begitu pun sebaliknya. Meski kelihatannya mereka saling meragukan keaslian dan kejujuran rekan semeja mereka, tetapi siapa peduli kejujuran di meja warung kopi?

Setelah arloji, ada yang menunjukkan cincin akik di tangan mereka. Ada banyak jenis batu yang melekat di cincin perak atau cincin dari besi putih yang mereka pakai, permata mata kucing dari pedalaman Kalimantan, batu rubi, sampai batu safir dengan alur menyerupai tembaga. Konon garis yang berwarna tembaga yang melekat di batu safir mereka, bisa terus tumbuh dan membentuk pola-pola yang begitu aneh tetapi disebut indah. Dan tiap pola, bagi penyuka batu ini, dipercaya memberi keberuntungan tersendiri. Ada yang bisa memberi manfaat keberuntungan dalam berdagang, sebagai pengasih, sebagai penjaga dalam perjalanan, bahkan pemberi keselamatan dalam setiap usaha.

Namun di waktu lain, jika ada lagi batu permata lain diceritakan pemiliknya, mereka yang saling kenal ataupun hanya kebetulan berada di meja yang sama, turut merubung meneliti batu dari cincin yang diedarkan dari tangan satu ke tangan yang lain. Bahkan ada yang sengaja mengambil kacamata baca dari sakunya untuk mengamati lebih dekat alur motif dari batu yang kehebatannya sedang diceritakan si empunya. Batu-batu yang cantik dan konon kaya manfaat ini tentu saja bisa dijual; meski itu kadang diakui sebagai warisan dari moyang yang telah wafat. Harganya tidak terlalu tinggi. Mereka kadang menyebut harga puluhan ribu, tapi aku tak pernah melihat mereka berjual-beli cincin yang mereka bawa. Meski kadang aku pernah melihat langsung ada orang yang nyaris memakai cincin akik di setiap jari tangan yang dimilikinya, dan tetap saja ia tak kelihatan begitu gembira dan kaya raya. Mungkin cincin itu belum memberi khasiatnya, pikirku. Malah seringkali, setelah menceritakan kisah beberapa cincin yang melekat di jarinya, ia akan selalu berkata pada para penyimaknya ketika pamit, “Tolong bayarkan dulu, ya. Nanti kuganti uangmu!” Mau tak mau, ada saja di antara para penyimak itu yang menyanggupi. Mungkin itulah khasiat cincin yang dipakainya—kusebut dalam hati sebagai “Cincin Pembayar Kopi”.

Di kali lain, obrolan tentang khasiat batu lalu menjurus pada jimat-jimat yang sampai kini tak pernah kusaksikan. Istilah awam di Sulawesi Selatan untuk benda semacam ini adalah Kulau (mustika). Kulau ini ada banyak jenis, karenanya lebih sering sebagai dongeng, yang tak perlu diusut dari mana muasalnya. Ada Kulau Besi yang akan membuat pemakainya kebal senjata tajam, karenanya sering dipakai para pendekar dan jagoan. Kulau Air yang akan menjagamu agar tidak tenggelam di sungai ataupun lautan. Kulau ini dianggap cocok bagi mereka yang suka berlayar. Ada Kulau yang mendinginkan hati yang panas, menjagamu selama merantau. Ada Rantai babi sampai tanduk kucing. Dan yang menakjubkan sekaligus membingungkanku; ada juga mantera untuk mencegah istri atau kekasih berkhianat selama sang suami atau kekasih memburu peruntungan di negeri orang. Namun sungguh aku belum pernah melihat satu pun orang yang memakainya di warung kopi itu meski cerita tentang benda yang menakjubkan itu hampir setiap hari kudengar.

Saat sore hingga petang menjelang kelompok utama terus bergantian mengisi kursi di warung kopi yang terkenal di kawasan utara Kota Makassar.Warung kopi ini seperti halte tempat mereka singgah mengaso setelah jauh berjalan mengais peruntungan sebagai perantara berbagai hal. Segalanya bisa dimulai di meja warkop dengan membincangkan jam tangan kualitas rendah, batu permata dengan segudang kisah, hingga motor bekas ataupun baru titipan dari orang dealer motor yang belakangan juga mulai menjamur di Makassar. Hingga petang obrolan tentang sekian kemungkinan terus mengalir. Hingga jalan di depan warung kopi mulai remang dipeluk malam. Lalu mereka pulang, siap dengan harapan baru keesokan harinya.


tulisan ini pernah dimuat di www.makassarnolkm.com


Sunday, March 10, 2013

Capung yang tiba sore

;sofia
Sore yang setengah sendu, setelah berkali-kali hujan singgah di beranda. Lalu belasan ekor capung berwarna coklat keemasan terbang tak jauh di depan jeruji beranda, mengapung di udara seperti menyapa. Tertegun, sekelebat ingatan masa kecil tentang serangga bermata cembung itu. Kami sering berebut mengejarnya di semak dekat rumah, saat kemarau tiba. Atau kadang, mengendap seperti pencuri demi bisa menangkapnya.
Ingin kupanggil Sofia untuk menceritakan serangga cantik itu. Tapi baru tersadar kalau putriku itu sedang berlibur bersama sanak menikmati permainan elektronik di salah satu mall di selatan kota. Nak, Mungkin kini musim telah berganti dan selera telah bersalin lain, tapi kelak aku akan mengajakmu menyapa capung yang tiba sore di beranda kita..