Tuesday, December 25, 2012

pengemis yang terluka



nak, entah mengapa ingatan ini menggangguku. aku ingin bercerita padamu tentang seorang anak yang meminta-derma di perempatan jalan dekat rumah. begitu lampu merah menyala, maka ia akan gegas datang menyodorkan tangannya yang tertekuk menengadah seraya dengan wajah yang -dibuat- memelas ia meminta selembar ataupun sekeping koin recehan.

yang sedikit berbeda dengan beberapa anak yang mengemis sebelumnya; sambil berjalan, kaki kirinya diseret rapat di atas aspal untuk membuatnya terlihat pincang. meski aku merasa tak ada masalah dengan kakinya dengan melihat bentuk ataupun tak adanya luka yang membuatnya bisa pincang dan terlihat separah itu, namun anak belasan tahun itu tetap menyeret kakinya.

tak banyak yang ia minta sesungguhnya. bagiku ia malah berkorban terlalu banyak dengan menyeret kaki-di aspal, tanpa alas kaki pula, untuk sekedar selembar-dua uang kecil dalam sekali lampu merah.
namun aku tak urung memprotes aktingnya yang buruk; "ndak usah menyeret kaki, nanti malah kau tidak bisa jalan kalau kena apa- kakimu itu" kataku. dia hanya memandangiku sambil berusaha mempertahankan akting memelasnya yang sedikit lebih baik dari akting pemain sinetron di layar tivi kita. aku tak memberinya recehan karena merasa terganggu pada akting menyeret kaki-nya yang berlebihan. apa perlunya ia pura-pura pincang dan terluka demi uang kecil yang tidak sebanding menurutku.

lalu lampu hijau, dan aku pun berlalu. lalu sekelebat ingatan menegurku. kau tahu mantan preisden negara ini? hingga hayatnya usai, ia telah lolos dari berbagai persidangan dan upaya hukum untuk menjeratnya atas sejumlah kasus 'dugaan' pelanggaran hukum, 'dugaan' korupsi, dan sejumlah kasus yang pada akhirnya cuma berujung pada dugaaan. kondisi mantan orang nomor satu di negeri ini selalu didukung pernyataan tim dokter dan sekerumun orang yang membela.

banyak yang menganggap mantan orang nomor satu itu hanya berpura-pura. lalu seiring waktu, berbagai petinggi negeri, pejabat propinsi, pejabat kabupaten, hingga politisi artis, selalu mencoba jurus yang sama untuk berkelit dari jerat hukum di negeri ini yang rasanya begitu mudah ditekak-tekuk. bahkan ada mantan pejabat di propinsi kalimantan timur yang mendapat grasi dari presiden karena dia sudah tergolek tak sadar di ranjang rumah sakit. dan tak lama setelah grasinya berlaku, ia dikabarkan diberikan kesehatan hingga pulih dan gembira saat merayakan ulang tahunnya yang ke sekian.

mereka berusaha menghindari jeratan dari dugaan pencurian uang dan persekongkolan yang dirunut ke mereka. itu bukan uang yang sedikit. itu uang milik rakyat banyak. uang anak-anak yang seharusnya bisa sekolah dan tidak perlu menyeret kakinya di atas aspal panas tanpa alas kaki.

dan aku, serta sebagian besar warga negara ini pada akhirnya lebih mahfum pada aksi para pencuri uang rakyat itu daripada pengemis yang pura-pura terluka demi selembar atau sekeping recehan.

dan sesudah itu, nak. sungguh aku sangat menyesal tidak bisa merogoh barang selembar uang recehan dari saku ayahmu yang tak banyak ini..

di hari natal ini, aku mengingat sepotong kisah tentang anak yang terabaikan dalam kisah anak penjual korek api yang meninggal dalama damai natal yang membeku. semoga anak yang menyeret kaki itu tetap baik-baik saja dengan cuaca hujan yang menggigit ini.

(kepada sofia dan sarah, aku mengingat anak yang kutemui di lampu merah dekat rumah)

Tuesday, November 20, 2012

`Menulis Boge dan hal-hal yang tak selesai’

*sekedar Kado pernikahan


Menulis tentang Abdul Rahman Farisi alias Boge, menulis tentang kawan lama, menulis tentang rekan yang baik. Kawan baik, lalu apakah selesai di situ? Apakah sepotong kata klise bisa menyimpul sosok yang –secara ukuran kasat mata memang sedikit besar disbanding beberapa kawan dekat lainnya yang –di masa muda dulu, masih kurang makan. Tentu saja tidak. Namun izinkanlah saya sedikit bercerita.


Ia kawan yang baik, tentusaja. Saya tidak pernah menemukan ia marah, meski postur seperti itu bagi saya yang besar di lingkungan pasar, adalah modal yang cukup untuk menjadi jumawa dan bertindak sebagai aggressor.


Saya mula mengenalnya saat Opspek Fakultas Ekonomi di sekiraAgustus 1998. Di sore yang kering dan putusasa, saat matahari mulai gelincir ke barat, para senior menemukansosok yang bisa membuat mereka lebih gembira, dan sekaligus menyatukan segala penderitaan kami. Ya, mereka menemukan Abdul-RahmanFarisi, pemuda tambun dengan celana lebar, dan baju polo-shirt berhias garis. Lelaki kelahiran 1 Juli, di kampong halamannya di selatan Sulawesi Tenggara, ia dipanggil La Boge. Meski penggunaaan ‘La’ untuk nama di Bugis-Makassar juga lazim digunakan, namun untuk lebih singkat, dan menghindarkannya menjadi asosiasi atau diduga sebagai orang Prancis atau Spanyol (yang bisa jadi membingungkan orang di kemudian hari) Maka jadilah ia cukup dipanggil Boge.


Selain itu, bentuk cukur rambut kami sebagai mahasiswa baru --yang tertindas—diharuskan Mohawk, dengan mencukur habis kedua sisinya membuat ia menemukan nama lain. Sore itu ia juga dilantik menjadi Godzilla (mengacu tentang monster yang mengacaukan kota New York, yang sedang diputar di bioskop pertengahan tahun 1998). Siluet matahari senja memastikan ia sebagai sosok yang setengah menakutkan, setengah misterius. Tapi itu hanya di sore itu.


Dan kisah itupun terus berjalan. Makin lama makin menebal. Di awal di kampus, Boge memilih aktif di perkumpulan Mahasiswa Pencinta Mushalla (semacam Remaja Masjid) di Fakultas Ekonomi. Saya tentu saja tak tahu motif utama Boge memilih aktif di lembaga penggiat mushalla sebagai organisasi pertamanya di kampus, mungkin memang didasari karena dia memang lelaki yang beriman. Di masa awal di kampus, sosok Boge juga kukenali sebagai kawan yang berani berteriak memegang mikrofon saat kami turut serta menduduki Bandara Internasional Hasanuddin. Perbuatan yang membuat kami diganjar gas air mata dan pentungan petugas, bahkan saat kami belum menyelesaikan semester pertama. Keberanian yang umumnya tak kami punyai, sebagai anak muda yang bingung memasuki dunia yang bergerak begitu cepat. Tapi ia berani dan berbeda.


Selebihnya kami seperti mencoba mencari bentuk lain di wadah yang berbeda. Mulai di lembaga Senat Mahasiswa hingga Boge melanlang buana ke tempat yang jauh. Saya lebih banyak di kampus, namun dalam jarak kami tetap berkawan hingga jauh di kemudian hari.
Sepanjang rentang itu, saya banyak lebih mengenal Boge melalui berbagai tulisan yang dibuat khusus untuk atau tentangnya. Baik oleh kawan Joko Hendarto, hingga komentar yang dalam-bijak-bestari dari Abdullah Sanusi. Ia telah di ibukota, dan berakhir pekan dengan badminton dan serunya politik di Senayan. Sesekali kami bertemu di meja kopi. Ia tak berubah menurutku; ramah, murah senyum dan terlihat bahagia. Kadang tentang jazz dan tea-time (kadang ia pernah membayangkan sebagai bangsawan Inggris yang menikmati rutinitas menikmati teh –meski pada dasarnya ia adalah salah satu bangsawan Muna, satu di antara sedikit yang terpilih)


Dan kinilah dia, mengabarkan akan meminang seseorang yang akan mengawaninya meniti jembatan kehidupan yang tak lagi bersendiri. Dunia yang akan lebih kaya dan berwarna dari hidupnya yang berisi politik, badminton dan sedikit kopi. Malam yang sedianya akan menjadi rahasia hingga Boge menyampaikannya sendiri, batal menjadi Rahasia (denganhuruf R). Rencana yang saya yakin disusun rapi, bocor kepada kawan-kawan yang tetap memantau Boge dari jauh. Dan kami pun bisa berbahagia lebih awal dari seharusnya. Saya yakin ada yang menghela nafas panjang dengan rasa syukur yang buncah sembari membatin –atau mungkin berseru; “Finally..” that’s oke. Itu tentu bukan karena apa-apa, selain rasa syukur yang telah demikian lama menanti kabar bahagia.


Pada pertemuan setelah ia melamar perempuan yang dipilihnya, kami sempat bertemu; dan cahaya wajahnya sangat berbeda. Kulihat ia bagai remaja yang merona-saat menerima telepon dan menjauh dariku yang sengaja ia datangi untukbertemu. Ah, mungkin itulah pengaruh Cinta..
Akhir kalam, tak ingin saya berdoa yang rumit kepada pasangan yang diberkati itu; seperti selamat menempuh hidup baru, semoga langgeng, sakinah bla..bla.. bla.. saya takut pasangan ini jadi khawatir jika terlalu banyak harapan dalam doa yang dititipkan pada mereka. Saya hanya bisa menyampaikan pesan yang tak banyak; SelamatBersenang-Senang..


Ya! Hanya itu agar senang senantiasa..dan rasa senang itulah yang menurut saya akan menyelesaikan banyak hal termasuk krisis, konflik atau ketidak-sefahaman akan mudah selesai jika didasari keinginan mencapai kesenangan.. –untukhal yang lebihreligius, siapalah saya ini yang berani menitip khutbah pada kalian?


Seorang senior yang telah lama menikah pernah berkata kepada saya; "maaf tidak bisa memberi nasehat, perkawinan kami pun belum selesai.".. selama semua berjalan, hanya mereka yang menjalaninya yang memahami bagaimana menyelesaikan semua aral yang melintang, yang bisa jadi menghalangi rasa senang mereka.



SelamatMenikah, Kawan. Sekali lagi selamat bersenang-senang!



Friday, August 10, 2012

mencoba menulis lagi

“Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” ― Pramoedya AnantaToer
setelah sekian lama, aku mencoba menulis kembali. rasanya seperti memunguti berbagai hal aneh di sepanjang jalan, sembari membayang-bayangkan akan menjadi apa. seperti memunguti penutup botol untuk sekedar dijadikan kerecekan setelah dibuat gepeng dan dipakukan ke sebatang sisa balok kayu. menulis seperti memunguti kata entah darimana. dari keping koran. dari laman orang. atau dari entah. tanpa tahu pasti akan kemana semua bermuara. jika begitu, betapa merisaukan menulis itu rasanya. berkali-kali mencoba menulis, lalu berhenti lagi, lalu menulis lagi, dan jenuh lagi. terasa angin-anginan dan tidak fokus. jujur kadang terasa kehilangan dorongan untuk menulis. tapi mesti bagaimana lagi ditengah deraan pekerjaan yang kadang terasa menekan ini. mungkin memang seperti itu ya? tapi tak apa, semua yang bergerak ini mungkin perlu sedikit dikenang; dan menulis mungkin membuat kita bisa seidkit abadi. :)