Monday, June 20, 2005

kau sebut apa rasa yang menjelma beribu bilah cemas?
aku menyebutnya sebagai rindu.
tapi toh kurasa itu tak cukup.

Wednesday, June 15, 2005

Kanak-kanak dan Waktu di Pasar Cidu


Begitu Senja jatuh, dan malam temaram. Lampu jalan yang redup kekuningan, mulai menerangi jalan seperti sorot lampu yang menyorot panggung. Dan satu lagi kehidupan dimulai. Berputar dalam beratus adegan berwarna buram. Anak-anak di satu jalan di pasar cidu.

Selalu lakon; anak-anak di kala senja.
Beberapa anak mulai berkejaran. Dengan baju dekil, dan wajah yang masih meyisakan bedak yang dipupur seadanya setelah mandi sore. Mereka sedang bermain petak umpet sambil mengendap-endap, mereka saling cari-sembunyi. Setelahnya, kemudian mereka tertawa-tawa.

Ah, bocah itu, beberapa tak terasa telah menginjak sekolah dasar, sebagian bahkan sudah hampir tamat. Padahal masih kuingat, di antara mereka, masih sempat kugendong saat suaranya masih serupa mantra-mantra tak jelas. Yang lain, aku bahkan tak lagi mengingat apa ia lahir di pasar ini, atau ia anak salah seorang migran di sini yang tiba beberapa waktu lalu. Entah.

Aku teringat Aco. Anak lelaki, yang masih sekolah dasar. Ia meninggal setelah tertabrak sepeda saat bermain di jalan ini. Dadanya biru-lebam karena terbentur stir sepeda. Ia tak sadarkan diri beberapa saat lalu meninggal.

Serasa ada yang menarikku ke masa lampau. Betapa semua demikian singkat. Tak terasa. Di pasar ini, hidup lahir, beranjak, lalu usai. Kadang tak terasa. Betapa semua terkadang terasa demikian nisbi. Dan hidup bergulir dari kanak-kanak ini. Betapa getir. Betapa ringkih serupa pepasir.

Dari suatu senja

Friday, June 10, 2005

di pintu II

hari ini tak banyak rasanya yang terjadi denganku. hari hampir terasa rutin. kecuali tadi melintas di pintu II yang kini lengang; dan serasa ada yang menggores hati...hanya jalan yang diam dan sisa lantai dari 40 kios yang telah rata. lampu merkuri, dan juga luka yang kurasa belum kering benar..

aku bertemu dengan tukang parkir yang aku sering bertukar sapa tiap kali melintas di pintu II unhas. aku bercerita betapa sedih saat melihat pintu II musnah ditelan rusuh dan gusur. ia hanya bilang tak ingin ikut, sebab tak bisa berbuat apa-apa...

ia kini menjadi tukang parkir di tempat sekitar pintu II..ia kulihat masih tersenyum, betapa pun lapangan kerjanya, sempat terampas. aku tersadar, betapa banyak daya hidup yang bisa kupetik dari orang-orang sepertinya.

satu yang jelas, bahwa hidup harus kembali berlanjut...
(namun kemanakah kalian, wahai ibu, wahai bapak yang terampas, akan melanjutkan hidup?)

Sunday, June 05, 2005

malam

malam ini, kepalaku serasa berdenyut. berharap besok hari lebih baik.
aku tak tahu harus pulang kemana malam ini. mungkin mencari rumah teman yang bersedia membiarkanku terlelap malam ini di rumahnya.

"when all my work's over. i'll fly home"

Friday, June 03, 2005

di satu pagi

di suatu pagi. di pasar cidu. kehidupan mulai berdenyut. pelan, lalu kian cepat.
di timur, sinar matari bersinar lembut, singgah pada atap-atap tenda oranye milik para penjual...
sebentar kemudian sekian suara meningkahi hari yang terus berjalan. lalu semua aduk-bercampur.
ada penjual ikan. penjual sayur. penjual baju bekas. pengemis. penjual rempah. toko yang riuh dengan percakapan. sekian banyak orang dan kehidupannya bertemu di pasar ini.
inilah hari.
inilah hidup yang mulai.

suatu waktu, entah kapan; akau bertanya "bagaimana jika ini punah?"

Wednesday, June 01, 2005

Jelang penggusuran

Hari ini sekali lagi, betapa gigih orang mempertahankan rumahnya. Di Jalan Pattimura Makassar. Mereka sampai bersedia gugur untuk melawan orang-orang yang akan mengeksekusi rumah tempat mereka membangun kehidupan sejak tahun 1962 lalu. Menurut mereka, di Rumah itu, pernah Kolonel Soeharto melakukan rapat rahasia dalam upaya pembebasan Irian Barat (sekarang Papua).

Mereka memasang barikade di depan pagar, sambil berseru menantang. Salah seorang dengan galak menantang siapa pun yang akan datang, dan berjanji akan me-Rusuh-kan Makassar jika tempat itu direbut..…lelaki yang berteriak itu; trambut kuncir, perawakannya tambun, dengan baret berwarna merah dan jaket berwarna hijau-army, kaca-mata, ia menenteng megafon dan berteriak-teriak lantang..

Ah..Rumah.