Thursday, April 29, 2010

Menemukan Sepotong masa Lalu Makassar



Awal Kota dan bandar makassar berada di muara sungai Tallo dengan pelabuhan niaga kecil di wilayah itu pada penghujung abad XV. Sumber-sumber Portugis memberitakan, bahwa bandar Tallo itu awalnya berada dibawah Kerajaan Siang di sekitar Pangkajene, akan tetapi pada pertengahan abad XVI, Tallo bersatu dengan sebuah kerajaan kecil lainnya yang bernama Gowa, dan mulai melepaskan diri dari kerajaan Siang, yang bahkan menyerang dan menaklukan kerajaan-kerajaan sekitarnya. Akibat semakin intensifnya kegiatan pertanian di hulu sungai Tallo, mengakibatkan pendangkalan sungai Tallo, sehingga bandarnya dipindahkan ke muara sungai Jeneberang, disinilah terjadi pembangunan kekuasaan kawasan istana oleh para ningrat Gowa-Tallo yang kemudian membangun pertahanan benteng Somba Opu, yang untuk selanjutnya seratus tahun kemudian menjadi wilayah inti Kota Makassar.

Pada masa pemerintahan Raja Gowa XVI ini didirikan pula Benteng Rotterdam di bagian utara, Pemerintahan Kerajaan masih dibawah kekuasaan Kerajaan Gowa, pada masa itu terjadi peningkatan aktifitas pada sektor perdagangan lokal, regional dan Internasional, sektor politik serta sektor pembangunan fisik oleh kerajaan. Masa ini merupakan puncak kejayaan Kerajaan Gowa, namun selanjutnya dengan adanya perjanjian Bungaya menghantarkan Kerajaan Gowa pada awal keruntuhan. Komoditi ekspor utama Makassar adalah beras, yang dapat ditukar dengan rempah-rempah di Maluku maupun barang-barang manufaktur asal Timur Tengah, India dan Cina di Nusantara Barat. Dari laporan Saudagar Portugal maupun catatan-catatan lontara setempat, diketahui bahwa peranan penting Saudagar Melayu dalam perdagangannya yang berdasarkan pertukaran surplus pertanian dengan barang-barang impor itu. Dengan menaklukkan kerajaan¬kerajaan kecil disekitarnya, yang pada umumnya berbasis agraris pula, maka Makassar meningkatkan produksi komoditi itu dengan berarti, bahkan, dalam menyerang kerajaan-kerajaan kecil tainnya, para ningrat Makassar bukan hanya menguasai kawasan pertanian lawan-tawannya itu, akan tetapi berusaha pula untuk membujuk dan memaksa para saudagar setempat agar berpindah ke Makassar, sehingga kegiatan perdagangan semakin terkonsentrasi di bandar niaga baru itu.

Dalam hanya seabad saja, Makassar menjadi salah satu kota niaga terkemuka dunia yang dihuni lebih 100.000 orang (dan dengan ini termasuk ke-20 kota terbesar dunia Pada zaman itu jumlah penduduk Amsterdam, kota terbesar musuh utamanya, Belanda, baru mencapai sekitar 60.000 orang) yang bersifat kosmopolitan dan multikultural. Perkembangan bandar Makasar yang demikian pesat itu, berkat hubungannya dengan perubahan¬-perubahan pada tatanan perdagangan internasional masa itu. Pusat utama jaringan perdagangan di Malaka, ditaklukkan oleh Portugal pada tahun 1511, demikian di Jawa Utara semakin berkurang mengikuti kekalahan armada lautnya di tangan Portugal dan pengkotak-kotakan dengan kerajaan Mataram. Bahkan ketika Malaka diambil-alih oleh Kompeni Dagang Belanda VOC pada tahun 1641, sekian banyak pedagang Portugis ikut berpindah ke Makassar.

Sampai pada pertengahan pertama abad ke-17, Makassar berupaya merentangkan kekuasaannya ke sebagian besar Indonesia Timur dengan menaklukkan Pulau Selayar dan sekitarnya, kerajaan-kerajaan Wolio di Buton, Bima di Sumbawa, Banggai dan Gorontalo di Sulawesi bagian Timur dan Utara serta mengadakan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di Seram dan pulau-pulau lain di Maluku. Secara internasional, sebagai salah satu bagian penting dalam Dunia Islam, Sultan Makassar menjalin hubungan perdagangan dan diplomatik yang erat dengan kerajaan¬-kerajaan Banten dan Aceh di Indonesia Barat, Golconda di India dan Kekaisaran Otoman di Timur Tengah.
Hubungan Makassar dengan Dunia Islam diawali dengan kehadiran Abdul Ma’mur Khatib Tunggal atau Dato’ Ri Bandang yang berasal dari Minangkabau Sumatera Barat yang tiba di Tallo (sekarang Makassar) pada bulan September 1605. Beliau mengislamkan Raja Gowa ke-XIV I¬MANGNGARANGI DAENG MANRABIA dengan gelar SULTAN ALAUDDIN (memerintah 1593-1639), dan dengan Mangkubumi I- MALLINGKAANG DAENG
MANYONRI KARAENG KATANGKA yang juga sebagai Raja Tallo. Kedua raja ini, yang mulai memeluk Agama Islam di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 9
Nopember 1607, tepatnya hari Jum’at, diadakanlah sembahyang Jum’at pertama di Mesjid Tallo dan dinyatakan secara resmi penduduk Kerajaan Gowa-Tallo tetah memeluk Agama Islam, pada waktu bersamaan pula, diadakan sembahyang Jum’at di Mesjid Mangallekana di Somba Opu. Tanggal inilah yang selanjutnya diperingati sebagai hari jadi kota Makassar sejak tahun 2000, yang sebelumnya hari jadi kota Makassar jatuh pada tanggal 1 April.

Para ningrat Makassar dan rakyatnya dengan giat ikut dalam jaringan perdagangan internasional, dan interaksi dengan komunitas kota yang kosmopolitan itu me¬nyebabkan sebuah “creative renaissance” yang menjadikan Bandar Makassar salah satu pusat ilmu pengetahuan terdepan pada zamannya. Koleksi buku dan peta, sesuatu yang pada zaman itu masih langkah di Eropa, yang terkumpul di Makassar, konon merupakan salah satu perpustakaan ilmiah terbesar di dunia, dan para sultan tak segan-segan memesan barang-barang paling mutakhir dari seluruh pelosok bumi, termasuk bola dunia dan teropong terbesar pada waktunya, yang dipesan secara khusus dari Eropa. Ambisi para pemimpin Kerajaan Gowa-Tallo untuk semakin memper-luas wilayah kekuasaan serta persaingan Bandar Makassar dengan Kompeni Dagang Belanda VOC berakhir dengan perang paling dahsyat dan sengit yang pernah dijalankan Kompeni. Pasukan Bugis, Belanda dan sekutunya dari Ternate, Buton dan Maluku memerlukan tiga tahun operasi militer di seluruh kawasan Indonesia Timur. Baru pada tahun 1669, akhirnya dapat merata-tanahkan kota Makassar dan benteng terbesarnya, Somba Opu.

Bagi Sulawesi Selatan, kejatuhan Makassar di tangan federasi itu merupakan sebuah titik balik yang berarti Bandar Niaga Makassar menjadi wilayah kekuasaan VOC, dan beberapa pasal perjanjian perdamaian membatasi dengan ketat kegiatan pelayaran antar-pulau Gowa-Tallo dan sekutunya. Pelabuhan Makassar ditutup bagi pedagang asing, sehingga komunitas saudagar hijrah ke pelabuhan-pelabuhan lain.
Pada beberapa dekade pertama setelah pemusnahan kota dan bandar Makassar, penduduk yang tersisa membangun sebuah pemukiman baru di sebelah utara bekas Benteng Ujung Pandang; benteng pertahanan pinggir utara kota lama itu pada tahun 1673 ditata ulang oleh VOC sebagai pusat pertahanan dan pemerintahan dan diberi nama barunya Fort Rotterdam, dan ‘kota baru’ yang mulai tumbuh di sekelilingnya itu dinamakan ‘Vlaardingen’. Pemukiman itu jauh lebih kecil daripada Kota Raya Makassar yang telah dihancurkan. Pada dekade pertama seusai perang, seluruh kawasan itu dihuni tidak lebih 2.000 jiwa; pada pertengahan abad ke-18 jumlah itu meningkat menjadi sekitar 5.000 orang, setengah di antaranya sebagai budak.

Selama dikuasai VOC, Makassar menjadi sebuah kota yang terlupakan. “Jan Kompeni” maupun para penjajah kolonial pada abad ke-19 itu tak mampu menaklukkan jazirah Sulawesi Selatan yang sampai awal abad ke-20 masih terdiri dari selusinan kerajaan kecil yang independen dari pemerintahan asing, bahkan sering harus mempertahankan diri terhadap serangan militer yang ditancurkan kerajaan-kerajaan itu. Maka, ‘Kota Kompeni’ itu hanya berfungsi sebagai pos pengamanan di jalur utara perdagangan rempah-rempah tanpa hinterland – bentuknya pun bukan ‘bentuk kota’, tetapi suatu aglomerasi kampung-kampung di pesisir pantai sekeliling Fort Rotterdam.

Pada awalnya, kegiatan perdagangan utama di beras Bandar Dunia ini adalah pemasaran budak serta menyuplai beras kepada kapal¬kapal VOC yang menukarkannya dengan rempah-rempah di Maluku. Pada tahun 30-an di abad ke-18, pelabuhan Makassar dibuka bagi kapal-kapal dagang Cina. Komoditi yang dicari para saudagar Tionghoa di Sulawesi, pada umumnya berupa hasil laut dan hutan seperti teripang, sisik penyu, kulit kerang, sarang burung dan kayu cendana, sehingga tidak dianggap sebagai langganan dan persaingan bagi monopoli jual-beli rempah-rempah dan kain yang didirikan VOC.
Sebaliknya, barang dagangan Cina, Terutama porselen dan kain sutera, dijual para saudagarnya dengan harga yang lebih murah di Makassar daripada yang bisa didapat oleh pedagang asing di Negeri Cina sendiri. Adanya pasaran baru itu, mendorong kembali aktivitas maritim penduduk kota dan kawasan Makassar. Terutama penduduk pulau-pulau di kawasan Spermonde mulai menspesialisasikan diri sebagai pencari teripang, komoditi utama yang dicari para pedagang Cina, dengan menjelajahi seluruh Kawasan Timur Nusantara untuk men¬carinya; bahkan, sejak pertengahan abad ke-18 para
nelayan-pelaut Sulawesi secara rutin berlayar hingga pantai utara Australia, di mana mereka tiga sampai empat bulan lamanya membuka puluhan lokasi pengolahan teripang. Sampai sekarang, hasil laut masih merupakan salah satu mata pencaharian utama bagi penduduk pulau-pulau dalam wilayah Kota Makassar.
Setetah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menggantikan kompeni perdagangan VOC yang bangkrut pada akhir abad ke-18, Makassar dihidupkan kembali dengan menjadikannya sebagai pelabuhan bebas pada tahun 1846. Tahun-tahun berikutnya menyaksikan kenaikan volume perdagangan yang pesat, dan kota Makassar berkembang dari sebuah pelabuhan backwater menjadi kembali suatu bandar internasional.
Dengan semakin berputarnya roda perekonornian Makassar, jumlah penduduknya meningkat dari sekitar 15.000 penduduk pada pertengahan abad ke-19 menjadi kurang lebih 30.000 jiwa
pada awal abad berikutnya. Makassar abad ke-19 itu dijuluki “kota kecil terindah di seluruh Hindia-Belanda” (Joseph Conrad, seorang penulis Inggris-Potandia terkenal),dan menjadi salah satu port of call utama bagi baik para pelaut-pedagang Eropa, India dan Arab dalam pemburuan hasil-hasil hutan yang amat laku di pasaran dunia maupun perahu-perahu pribumi yang beroperasi di antara Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.
Pada awal abad ke-20, Belanda akhirnya menaklukkan daerah¬daerah independen di Sulawesi, Makassar dijadikan sebagai pusat pemerintahan kolonial Indonesia Timur. Tiga-setengah dasawarsa Neerlandica, kedamaian di bawah pemerintahan kolonial itu adalah masa tanpa perang paling lama yang pernah dialami Sulawesi Selatan, dan sebagai akibat ekonominya berkembang dengan pesat. Penduduk Makassar dalam kurun waktu itu meningkat sebanyak tiga kali lipat, dan wilayah kota diperluas ke semua penjuru. Dideklarasikan sebagai Kota Madya pada tahun 1906, Makassar tahun 1920-an adalah kota besar kedua di luar Jawa yang membanggakan dirinya dengan sembilan perwakilan asing, sederetan panjang toko di tengah kota yang menjual barang-barang mutakhir dari seluruh dunia dan kehidupan sosial-budaya yang dinamis dan kosmopolitan.
Perang Dunia Kedua dan pendirian Republik Indo¬nesia sekali lagi mengubah wajah Makassar. Hengkangnya sebagian besar warga asingnya pada tahun 1949 dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada akhir tahun 1950-an menjadi¬kannya kembali sebuah kota provinsi. Bahkan, sifat asli Makassar-pun semakin menghilang dengan kedatangan warga baru dari daerah-daerah pedalaman yang berusaha menyelamatkan diri dari kekacauan akibat berbagai pergolakan pasca¬ revolusi. Antara tahun 1930-an sampai tahun 1961 jumlah penduduk meningkat dari kurang lebih 90.000 jiwa menjadi hampir 400.000 orang, lebih daripada setengahnya pendatang baru dari wilayah luar kota. Hal ini dicerminkan dalam penggantian nama kota menjadi Ujung Pandang berdasarkan julukan ”Jumpandang” yang selama berabad-abad lamanya menandai Kota Makassar bagi orang pedalaman pada tahun 1971. Baru pada tahun 1999 kota ini dinamakan kembali Makassar, tepatnya 13 Oktober berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999 Nama Ujung Pandang dikembalikan menjadi Kota Makassar dan sesuai Undang-Undang Pemerintahan Daerah luas wilayah bertambah kurang lebih 4 mil kearah laut 10.000 Ha, menjadi 27.577Ha
sumber : http://makassarkota.go.id

Thursday, January 07, 2010

Sang Legenda dan Waktu

pada DS. tempatku pernah menaruh gentar
Bagiku, dulu ia seperti legenda. Lelaki itu pernah tinggal belasan tahun di Tanjung Priok, kawasan di sebelah utara ibukota, tempat banyak warga keturunan Bugis Makassar memilih tinggal dan menantang hidup. Kawasan pelabuhan yang tak jauh dari laut. Tempat yang menyediakan banyak ruang bagi anak-anak muda yang merindukan warna ibukota tapi tak ingin jauh dari harum laut.

Bagiku, ia mula menjadi legenda ketika dalam suatu perkelahian dengan preman asal Madura dan perutnya dikisahkan robek terkena sabetan celurit. Tapi ia menuntaskan perkelahian dengan menikam lawannya dengan badik. Dan juga menurut cerita yang entah darimana bermula, Tak lama, lawannya mati. Ia masih sempat membawa luka robek dan buraian ususnya ke rumah sakit untuk dijahit.

Setelahnya, ia lari dan kembali ke Pasar Cidu. Cerita itu beredar di antara kami yang mengingatnya, bertumpuk dengan ingatan dan kekaguman pada pendekar yang terlibat carok karena dendam yang harus dituntaskan. Tentu saja itu hanya film dari kaset video yang kadang kami nonton dari haji di kampung sebelah dengan membayar lima puluh perak. Dan kalau ibu haji sedang berbaik hati, ia mengizinkan kami masuk dengan membayara seratus perak untuk tiga orang. Pemerannya Barry Prima yang selalu menjadi tokoh protagonist melawan Advent Bangun, jago karate yang memiliki rahang seperti Arnold Schwarzenegger, bintang film yang kini jadi gubernur California, Amerika Serikat.

Setelah pertarungan itu, ia melanjutkan hidupnya. Dengan minum tuak dan seringkali mondar-mandir di pasar sekitar rumahku. Mabuk. Kadang berkelahi. Ataupun bersama kawannya memukuli lawannya dan membuangnya ke selokan hitam di depan rumahku. Jika melihatnya melintas di depan rumah tentang kami sering duduk dan berbincang apa saja, kami memilih menghentikan pembicaraan dan membiarkannya berlalu.
Juga dalam keadaan mabuk, ia seringkali menelpon di wartel rumah kami, --dan meskipun membayar, ia selalu mengancam akan menutup wartel kami dengan menyebut kalau ia berteman dengan banyak jenderal di Jakarta. Tentu saja kami tak takut pada jenderal yang dimaksudnya, jikapun ada. Dulu kami hanya menaruh hormat yang gentar pada pak Babinsa yang entah bernama siapa. Bapak berbadan tambun yang seringkali bermotor mengelilingi pasar saat malam tiba.

Lama silam berlalu. Di tahun-tahun terakhir ini aku selalu menemukannya di warung kopi dekat rumah. Warung kopi yang menerima siapapun yang tiba. Saat itu ia terlihat lebih alim dengan janggut yang terpelihara. Ia sedang sibuk mengurus partai dan kandidat salah satu walikota Makassar. Di tangannya ada pamflet dan selebaran berwarna keunguan berisi janji-janji sang kandidat.

Lalu waktu terakhir, aku tersadar betapa waktu bisa mengalahkan apa pun. Ia tiba di warung kopi. Menyingkir dari hujan di luar. Ia tampak ringkih di sore yang basah itu. Matanya cekung. Wajahnya cemas. Jaket yang sepertinya ia pakai untuk sekedar menopang wibawa, tak cukup menyembunyikan usia yang telah memangkas kebanggaannya. Tak ada lagi janggut. Hanya titik tanda tattoo yang tersisa di antara dua matanya, seperti orang India di film-film bollywood.

Ia bercerita berapa bulan terakhir menjadi kolektor tunggakan utang cicilan kendaraan. Berbekal kebangaannya, ia bersama seorang kawannya mendatangi daerah untuk menarik kembali kendaraan yang tak bisa terbayar. Pekerjaan yang seperti meminta nyawanya saat harus berhadapan dengan orang-orang yang tak rela, kendaraan kebanggaan cicilan mereka ingin diambil oleh pemberi kredit. Bahkan kadang ia harus memakai jaket loreng sekedar menunjukkan kalau ia memiliki akses pada militer negeri ini. Walaupun di satu kesempatan, ia akhirnya mengaku kalau jaket loreng itu ia beli di pasar, saat ia termakan gertakan tentara yang mencoba mencegah langkahnya menunaikan tugas. Dari tiap tugas itulah ia mendapat sekedar untuk menghidupi dirinya dan istri keduanya di kabupaten lain di utara propinsi ini. Menurutnya, intinya adalah menggertak. Siapa yang menang di gertakan pertama, maka permainan adalah miliknya, katanya.

Tapi ia telah merasa tak semuda dan sejumawa dulu. Ia merasa pekerjaan itu telah meminta lebih dari yang bisa diri dan tubuhnya bisa berikan. Waktu telah mengambil banyak hal darinya kini dan ia pun memilih berhenti dan beralih pekerjaan. Betapa tipis hidup dan mati, katanya tentang pekerjaannya itu. Ia menjadi penjual obat dan suplemen kesehatan yang ia beli dari apotik milik kawannya. Saat bercerita. Matanya selalu menatap keluar. Seperti mencari sesuatu pada cuaca dan lalu lalang kendaraan di jalanan.

Meskipun sungkan padaku. Ia hanya memilih merokok, saat kutawari untuk membayarinya kopi. Dji sam Soe dan ia menghisapnya, meski harus beberapa kali membakarnya ulang karena rokok yang dihisapnya sambil bercerita kembali padam. Ia bercerita tentang kedekatannya dengan Hercules yang tersohor sebagai tukang pukul di ibukota. Dan saat ia bercerita tentang Tanjung Priok, aku hanya teringat betapa lelaki ini pernah menjadi legenda yang membuat kami selalu gentar.
Tetapi waktu telah mengalahkannya. Waktu! Bukan yang lain.
Betapa waktu bisa mengalahksan siapapun. Juga Sang Legenda..