pada DS. tempatku pernah menaruh gentar
Bagiku, dulu ia seperti legenda. Lelaki itu pernah tinggal belasan tahun di Tanjung Priok, kawasan di sebelah utara ibukota, tempat banyak warga keturunan Bugis Makassar memilih tinggal dan menantang hidup. Kawasan pelabuhan yang tak jauh dari laut. Tempat yang menyediakan banyak ruang bagi anak-anak muda yang merindukan warna ibukota tapi tak ingin jauh dari harum laut.
Bagiku, ia mula menjadi legenda ketika dalam suatu perkelahian dengan preman asal Madura dan perutnya dikisahkan robek terkena sabetan celurit. Tapi ia menuntaskan perkelahian dengan menikam lawannya dengan badik. Dan juga menurut cerita yang entah darimana bermula, Tak lama, lawannya mati. Ia masih sempat membawa luka robek dan buraian ususnya ke rumah sakit untuk dijahit.
Setelahnya, ia lari dan kembali ke Pasar Cidu. Cerita itu beredar di antara kami yang mengingatnya, bertumpuk dengan ingatan dan kekaguman pada pendekar yang terlibat carok karena dendam yang harus dituntaskan. Tentu saja itu hanya film dari kaset video yang kadang kami nonton dari haji di kampung sebelah dengan membayar lima puluh perak. Dan kalau ibu haji sedang berbaik hati, ia mengizinkan kami masuk dengan membayara seratus perak untuk tiga orang. Pemerannya Barry Prima yang selalu menjadi tokoh protagonist melawan Advent Bangun, jago karate yang memiliki rahang seperti Arnold Schwarzenegger, bintang film yang kini jadi gubernur California, Amerika Serikat.
Setelah pertarungan itu, ia melanjutkan hidupnya. Dengan minum tuak dan seringkali mondar-mandir di pasar sekitar rumahku. Mabuk. Kadang berkelahi. Ataupun bersama kawannya memukuli lawannya dan membuangnya ke selokan hitam di depan rumahku. Jika melihatnya melintas di depan rumah tentang kami sering duduk dan berbincang apa saja, kami memilih menghentikan pembicaraan dan membiarkannya berlalu.
Juga dalam keadaan mabuk, ia seringkali menelpon di wartel rumah kami, --dan meskipun membayar, ia selalu mengancam akan menutup wartel kami dengan menyebut kalau ia berteman dengan banyak jenderal di Jakarta. Tentu saja kami tak takut pada jenderal yang dimaksudnya, jikapun ada. Dulu kami hanya menaruh hormat yang gentar pada pak Babinsa yang entah bernama siapa. Bapak berbadan tambun yang seringkali bermotor mengelilingi pasar saat malam tiba.
Lama silam berlalu. Di tahun-tahun terakhir ini aku selalu menemukannya di warung kopi dekat rumah. Warung kopi yang menerima siapapun yang tiba. Saat itu ia terlihat lebih alim dengan janggut yang terpelihara. Ia sedang sibuk mengurus partai dan kandidat salah satu walikota Makassar. Di tangannya ada pamflet dan selebaran berwarna keunguan berisi janji-janji sang kandidat.
Lalu waktu terakhir, aku tersadar betapa waktu bisa mengalahkan apa pun. Ia tiba di warung kopi. Menyingkir dari hujan di luar. Ia tampak ringkih di sore yang basah itu. Matanya cekung. Wajahnya cemas. Jaket yang sepertinya ia pakai untuk sekedar menopang wibawa, tak cukup menyembunyikan usia yang telah memangkas kebanggaannya. Tak ada lagi janggut. Hanya titik tanda tattoo yang tersisa di antara dua matanya, seperti orang India di film-film bollywood.
Ia bercerita berapa bulan terakhir menjadi kolektor tunggakan utang cicilan kendaraan. Berbekal kebangaannya, ia bersama seorang kawannya mendatangi daerah untuk menarik kembali kendaraan yang tak bisa terbayar. Pekerjaan yang seperti meminta nyawanya saat harus berhadapan dengan orang-orang yang tak rela, kendaraan kebanggaan cicilan mereka ingin diambil oleh pemberi kredit. Bahkan kadang ia harus memakai jaket loreng sekedar menunjukkan kalau ia memiliki akses pada militer negeri ini. Walaupun di satu kesempatan, ia akhirnya mengaku kalau jaket loreng itu ia beli di pasar, saat ia termakan gertakan tentara yang mencoba mencegah langkahnya menunaikan tugas. Dari tiap tugas itulah ia mendapat sekedar untuk menghidupi dirinya dan istri keduanya di kabupaten lain di utara propinsi ini. Menurutnya, intinya adalah menggertak. Siapa yang menang di gertakan pertama, maka permainan adalah miliknya, katanya.
Tapi ia telah merasa tak semuda dan sejumawa dulu. Ia merasa pekerjaan itu telah meminta lebih dari yang bisa diri dan tubuhnya bisa berikan. Waktu telah mengambil banyak hal darinya kini dan ia pun memilih berhenti dan beralih pekerjaan. Betapa tipis hidup dan mati, katanya tentang pekerjaannya itu. Ia menjadi penjual obat dan suplemen kesehatan yang ia beli dari apotik milik kawannya. Saat bercerita. Matanya selalu menatap keluar. Seperti mencari sesuatu pada cuaca dan lalu lalang kendaraan di jalanan.
Meskipun sungkan padaku. Ia hanya memilih merokok, saat kutawari untuk membayarinya kopi. Dji sam Soe dan ia menghisapnya, meski harus beberapa kali membakarnya ulang karena rokok yang dihisapnya sambil bercerita kembali padam. Ia bercerita tentang kedekatannya dengan Hercules yang tersohor sebagai tukang pukul di ibukota. Dan saat ia bercerita tentang Tanjung Priok, aku hanya teringat betapa lelaki ini pernah menjadi legenda yang membuat kami selalu gentar.
Tetapi waktu telah mengalahkannya. Waktu! Bukan yang lain.
Betapa waktu bisa mengalahksan siapapun. Juga Sang Legenda..
No comments:
Post a Comment