Wednesday, February 27, 2008

lagi, kurusetra universitas hasanuddin


mahasiswa universitas hasanuddin tawuran lagi. kira-kira selama sejam. beberapa mahasiswa kena timpuk. tempatnya di area terbuka antara fakultas ilmu alam dan ilmu sosial. ratusan generasi penerus bangsa ini, saling menukar lemparan batu. sebagian mengacungkan tangan; menghina. kawasan yang kuanggap identik dengan kurusetra dalam lakon mahabharata. kurusetra mementaskan lakon pandawa-kurawa. serumpun keluarga yang berbunuhan hingga rusak-musnah hanya karena soal sepele. ah, kalau saja kita sadar, betapa kebanggaan seperti itu betap semu, betapa nisbi... ah, kalau saja

Saturday, February 23, 2008

"nenek, telah setahun"



setahun yang lalu, nenek berpulang. sekedar mengingat betapa ia membenci kalau aku mulai memanjangkan rambut atau ketahuan menghisap batangan tembakau.

untuk urusan rambut, menurutnya rambut yang terbaik adalah yang pendek-cepak,potongan ala militer. mungkin ia menyaksikan bagaimana BKR (badan keamanan rakyat) atau Tentara Keamanan Rakyat atau mungkin ABRI (angkatan bersenjata republik indonesia) di masa awal indonesia baru merdeka --berjalan memasuki kampung demikian gagah. tentara-tentara negara masuk menumpasi pergerakan DI-TII atau di kampung ku disebut "gerombolang". ia mungkin berpikir, dengan cepak, cucunya akan terlihat gagah. dulu, aku sering dibawanya untuk bercukur pada tukang cukur langganan kakek yang membuka tempat cukur di atas kanal besar yang melewati pasar cidu.

soal tembakau, menurutnya akan lebih bagus kalau uang untuk membeli tembakau itu kubelikan kue atau sesuatu yang mengenyangkan lainnya. pun jika aku merokok karena telah punya uang untuk membeli tembakau, akan lebih baik kalau uang itu kuberikan padanya --meski aku tahu, ia tak lagi betul-betul memerlukan uang. ia tak tahu tentang beraneka jenis kanker yang menumpang di tar dan nikotin yang setiap hari kuhisap itu.

telah setahun, masih kuingat bagaimana di hari itu, sebelum ia berpulang, ia kubangunkan dari pembaringannya agar bisa memakan bubur instan yang telah disiapkan untuknya. beberapa waktu sebelum ia benar-benar sakit; lupa telah menyergap ingatannya lebih dulu. ia tak lagi ingat siapa aku sebenarnya. meski ia tahu aku adalah kerabatnya, namun baginya aku adalah orang yang datang dari kampung halaman kami. setiap aku menjenguknya, ia selalu memintaku agar bermalam; dengan pandangan aku sebagai orang yang jauh.

dari situ semuanya berjalan, hingga tepat setahun yang lalu, ia akhirnya berpulang. kembali pada Yang meniupkan Roh padanya.

banyak yang masih lekat tentangnya, semua masih berdiam di benakku. mungkin hingga kelak, lupa juga menyergap. mencacah ingatanku ini. sebagaimana lupa akan selalu mengintai dan mencabik-cabik ingatan-ingatan kita. kelak, kepadamu semua, aku selalu memohon maafmu, kalau saja aku mulai melupakanmu.

("nek, kini aku mulai memanjangkan rambut dan terus saja menghisap berbatang-batang rokok setiap hari")

Thursday, February 14, 2008

kelapangan hati


aku belajar tentang kelapangan hati, di suatu hari di patallassang, gowa, sulawesi selatan. namanya daeng ngewa. katanya;"sampaikan pada anakku, agar ia tak perlu bersedih. kita tak boleh menangis untuk yang seperti ini". kata yang satunya, dia dipanggil daeng nyarang, "kita memang tak pantas menangis untuk hal seperti ini". dengan matanya yang mulai kelabu melewati usia, mereka hanya memandang dari jauh juru sita pengadilan yang membongkar rumah dan menebangi pepohonan di bidang ladangnya. ia telah tinggal di petak tanah itu sejak 37 tahun lalu. rumah itu, satu-satunya tempat ia bernaung.

hujan turun deras. airnya tempias.

namun oleh kerabatnya sendiri ia digugat, dan pengadilan hingga mahkamah agung, menyatakan kalau ia tak lagi berhak atas tanah beserta segala isinya. dan oleh itu, maka sepasukan juru sita pengadilan negeri gowa, sulawesi selatan dan dijaga ketat aparat bersenjata, pun harus juga mengosongkan tanah yang tak lagi miliknya.

ia hanya duduk di bawah rumah warga, bersama beberapa orang warga lainnya, memandangi orang-orang yang tak dikenalnya sama sekali, mengangkuti bantal, piring-piring, pakaian, juga sisa lauk ikan asin pallu cella --sepertinya sisa makanan terakhirnya di rumahnya itu.

dengan dilapisi kantong plastik lecek, ia masih mengantongi dokumen tanah yang pajaknya ia bayar setiap tahunnya. juga sisa amplop balasan berstempel dari mahkamah agung bertahun 1996 (kita bisa saja menduga, di mahkamah sesibuk itu, siapa yang betul-betul peduli pada lelaki tua yang kehilangan hak, hanya oleh orang yang bahkan hampir tak pernah menjejakkan kaki di kampung itu).

ia tahu, ia merasa dizalimi, bahkan oleh kerabat dekatnya sendiri. diusir bahkan saat ia sementara menjalani sisa-sisa usianya hanya bersama satu-satunya cucunya. tapi, ia memilih berkata;"kita tak boleh menangis hanya karena itu," katanya. pun jika terusir dari rumah, tak boleh kita tangisi, lalu apa yang pantas kita tangisi, daeng ngewa? seberapa banyak kerelaan di ruang hati yang kau punya, hingga untuk setitik tangispun, tak kau beri tempat?