Wednesday, October 29, 2008

Pasar Gelap

Malam ini aku kembali singgah, setelah sekian lama terhisap dalam rutinitas di pusat kota. Aku selalu suka tempat ini. Bagiku atau kami, tempat ini selalu menyediakan kemungkinan lain dari sekian banyak pilihan di dunia perburuan di luar sana.

Menyediakan pilihan lain, ketika waktu tak berpihak pada kita, dan buruan telah selesai. Kami tak bisa memutar waktu mundur kembali, namun jika toh ada kemungkinan lain, maka disinilah tempatnya mengais.

Di tempat ini, ‘sesuatu yang paling berharga’ di dunia kami ditukarkan. Meski tak diikat akad ataupun akta, hampir serupa persaudaraan rahasia lainnya; setiap yang pernah datang mengambil sesuatu, maka kelak ia akan membawa sesuatu. Tak harus berjanji dan tak ada hukuman sebenarnya, tapi semua tampaknya tetap berjalan dengan ritme dan polanya sendiri.

Di tempat ini, setelah duduk di sofa di depan pintu masuk, aku selalu merasakan temaram cahaya dari bohlam lampu putih. Merasakan sejuk pendingin ruangan, dan dengan senyum yang kurasakan ganjil, aku selalu menyebutnya sebagai ‘Pasar Gelap’.

Inilah pasar gelap, tempat dimana tak ada dosa eksklusifitas. Tidak ada persaingan kejam memburu rating dan meraih peringkat ciptaan setan Nielsen. Peringkat yang menandakan betapa ‘tempat kami’ bekerja pantas bagi para penjual untuk menawarkan jualan mereka–termasuk kemolekan tubuh dan peruntungan nasib. Sistem peringkatan yang membuat ‘tempat kami’ bisa menangguk uang dari iklan yang mereka pasang untuk membujuk mereka yang didera kebingungan.

Entah sampai kapan tempat ini tetap ada. Mungkin selama dunia perburuan itu tetap ada, maka selalu ada tempat serupa ini. Tempat Pulang. Meski sebenarnya ini adalah pilihan terakhir kami para pemburu..

Sunday, October 26, 2008

Kenangan dan Satu Malam di Pasarcidu

Terbuat dari apakah itu Kenangan? Mengapa ia menyerbu dan menyiksaku; saat aku yakin telah membunuhnya dan menguburnya dalam-dalam. Terbuat dari apakah ia? Mengapa ia ternyata tak bisa begitu saja hilang saat telah kuputuskan semuanya sudah selesai.

Aku sadar, “terus berjalan” ternyata tak cukup untuk melupakan semua yang tentram tersimpan di masa silam. Juga labirin yang memerangkap itu ternyata tak musnah meski kuyakin telah kubakar dengan keyakinan bahwa semuanya akan baik-baik saja setelah kita “tetap bernafas” dan ini tak lebih dari sekedar merayakan hidup yang sebentar.

Dini hari, sebelumnya bermula dari secangkir kopi yang lezat*, lalu insomniaku pun kembali meraja, Aku dan Aku lainnya serasa berebut tubuhku untuk Tidur atau Jaga. Kelelahan, pola siklus harian tubuh dan redup cahaya sudah hampir membuat tubuh kurusku lelap dan hilang ke pusaran mimpi.. Namun tak butuh waktu lama Kenangan, Cemas dan semua balatentaranya membuatku kembali terjaga. Mendera dan meliputiku dalam jalinan ingatan yang entah bermula dan berujung dimana-kemana.

Aku terjaga, dan meski tenggorokanku sudah protes, kupikir hanya Philip** dan asapnya yang bisa menemaniku.

Dari teras kamarku akupun tersadar, kalau lansekap atap-atap rumah di sekitar Pasarcidu ternyata membentuk topografi yang cukup cantik. Rumah-rumah yang tumbuh berdempetan,juga atap-atap bangunan dari ruko-ruko orang tionghoa, tiang listrik dengan kabel listrik yang berjejalin rapat-rumit, dan cakrawala dilingkupi kapas awan dan sebaris awan panjang di langit timur..Lampu jalan seperti Kekunang yang diam, terperangkap dalam gerimis yang jatuh satu-satu.

Rumah yang serupa bukit-bukit kecil di padang kota yang luas, melindungi mereka semua yang lelap dan tentram. Adakah di antara mereka yang mungkin saja terbangun karena didera Kenangan. Tapi tak ada yang terjaga di puncak “rumah entah disana” di kejauhan. Hanya gerimis dan lampu jalan.

Terbuat dari apakah Kenangan sebenarnya? Dimanakah ia sebenarnya tersimpan, dan menunggu sebelum menyergap kita? Ah, Kenangan.. Sudah pagi. Selamat Tidur, sampai bertemu di malam entah kapan. Kau pasti sulit datang saat Ramai Hari sudah datang.

*aku selalu menyukai Kafein di bagian ini sebenarnya; selalu membuat mata dan otakku menyala lebih baik. Tapi tidak kusadari kalau sekuat ini, saat berkumpul kembali dengan 3 orang kawan yang akrab di waktu kuliah dulu dan kami memutuskan minum kopi di tempat kami dulu pernah sering bertemu dan menyebutnya dengan istilah “ngantor”. Dan meski tak kubilang semuanya mudah, tapi aku selalu takjub dengan perkawanan kami berempat.

**Rokok buatan Philip Morris Indonesia, Jakarta, dengan merk dagang Marlboro, Kemasan Flip Top Box, isi 20 Batang, Dengan Tulisan besar “MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN”. Ada juga Tulisan tentang kandungan Tar dan Nikotin yang tak kupahami seperti apa bentuknya.

Friday, October 24, 2008

Daeng Saodah dan Yang Wafat

Beberapa pagi yang lalu, selepas sholat subuh. Suara dari pengeras masjid mengumumkan; " Innalillahi wainna ilaihi rojiun....telah berpulang.." Satu lagi seseorang di sekitar Pasarcidu tutup usia. Meski aku selalu terhenyak mendengar suara itu.. kadang kurasakan mereka sebagai orang yang beruntung; dijemput Maut dalam dini hari yang senyap..

Entah mengapa, aku teringat daeng Saodah. Perempuan bertubuh kecil yang mungkin seusia almarhum nenek. Di ingatanku, entah sejak kapan ia mulai menjual kelapa dan beragam hasil lain dari kelapa sampai gula merah, di depan rumah nenek. Diingatanku yang tersisa, saat masih kecil, sebelum aku berangkat ke taman-kanak-kanak, nenekku sering mencelup tangannya ke minyak kelapa yang dijual daeng saodah lalu mengusapnya ke rambutku hingga mengkilap basah. meski kadang wanginya terasa sengak di hidungku yang kecil, aku tak bisa menolak. sering juga uang jajanku diambil dari uang logam di keranjang daeng saodah, kalau saja nenekku tak punya uang kecil.

Aku tiba-tiba mengingatnya saat mendengar pengumuman mencemaskan di pagi buta itu. aku teringat kebiasaan Daeng Saodah, Setiap ada orang yang meninggal, di sekitar pasarcidu, ia pasti selalu hadir untuk bertakziyah dan memberikan sumbangan sekedarnya, meskipun ia sama sekali tak mengenal orang itu. Ia hanya datang mendengar ceramah tentang kematian, ataupun mungkin berbincang sedikit dengan sesiapa yang mungkin saja dikenalnya di tempat itu.

Jika ditanya mengapa ia hadir padahal ia tak mengenal si fulan yang meninggal, ia hanya tersenyum. tak banyak bicara. Ia tak bercerita tentang silaturahmi ataupun "jaringan" yang rumit, apalagi tentang adat ketimuran dan kohesi sosial. Menurutnya sudah seharusnya begitu jika ada yang wafat,tak lebih.

Mungkin ia datang, meski itu sekedar utnuk menunjukkan betapa ada yang hendak mengenang kehidupan seseorang yang berharga. Mengenang sesuatu yang pernah berarti saat semuanya usai. Atau ia hanya datang, mungkin untuk sekedar mengingat maut. Mengingat sesuatu yang diam-diam menunggu waktu kita. Yang Diam menunggu detik dengan presisi yang rasanya tak mungkin bergeser, meski itu sepersekian sekon...

Aku teringat daeng saodah.

Wednesday, October 01, 2008

Lebaran


aku selalu merasa memiliki aku yang lain yang kadang tak kuingini. Kadang kukenali ia sebagai si pahit lidah (sekedar mengingat nama pendekar -kalau tidak salah, dari melayu, yang mampu menjadikan musuhnya menjadi batu). sering aku memakai tanduk dan menjadi jahat. kadang aku menjadi "bom gotri" yang meledak dan menyembur kemana-mana. sering aku menjadi aku,--yang dalam keadaan sadar, sungguh tak kuingini.

betapa kuingin di puasa kali ini, aku bisa membunuhnya; tapi sepertinya mereka masih setia pada aku. mungkin memang iblis tak pernah mati..

aku yang hina ini, kepada semua yang pernah terluka atas semua lakuku yang tak berkenan, semoga tuan sudi memaafkannya. Selamat Lebaran, semoga kita semua diberi kelapangan hati