::seusai menyusuri sudut-sudut kota
suatu malam, setelah sekian malam lainnya menyusuri jalan ibukota; terkadang terbit juga rasa takjub melihat kota yang sementara terlelap. lampu jalan yang masih benderang, kuning seperti kekunang yang berbaris takzim menunggu datangnya pagi, sebelum mereka padam, lalu hilang dalam terik siang. juga gedung-gedung beton yang tegak seperti raksasa yang termangu menunggu. dan jalan yang lengang-lapang. aspal yang basah setelah dibasuh hujan. pohon-pohon yang menunduk.
terakhir aku bertanya, inikah kota yang sama? yang terlihat demikian menyesakkan saat siang meraja? kemana semua pergi? (di beberapa titik jalan tertentu, hanya ada perempuan yang menunggu mereka yang hendak melepas sepinya dengan pergumulan-pergumulan yang sebentar. juga mereka yang melintas menempuh jarak).
tapi malam di kota ini --sebagaimana semua lansekap yang diterangi merkuri, tetap tak tersedia sebutir pun bintang. di langit, kita tak bisa mengindera legam malam yang seperti telaga yang demikian dalam. juga tak bisa menunggu meteor yang luluh melintasi rentangan langit malam, mencipta gegaris "bintang jatuh", dan sesekali membuat permohonan. sesuatu yang--kita tahu tak masuk akal, tapi rasanya melegakan.
itulah mengapa aku, pada akhirnya aku tak bisa betul-betul menyukai kota.
No comments:
Post a Comment