Saturday, May 10, 2008

Cerpen lama


Beberapa Cerpen lama

Merkuri
Oleh : Ahmad K. Syamsuddin
“Goll…!” teriak bocah dekil itu sambil mengangkat kedua tangannya. Ia BERLARI kegirangan dan memamerkan jejeran rusuk yang menonjol dari legam kulitnya. Tubuhnya mengkilap bermandi keringat, memantulkan sinar matahari yang kuning kemerahan. Di suatu sore, di sebuah jalan sempit yang setiap hari berubah fungsi menjadi pasar darurat. Pasar yang tiap pagi dipadati beragam orang dari bermacam tempat. Entah kapan pasar itu terbentuk, mungkin sejak pasar induk tidak mampu lagi menampung luapan kaum urban yang sebentar saja sudah menyesaki kota.
“Kenapa bisa gol?,” separuh bergumam, seorang bocah menyayangkan temannya yang menjadi gawang. dipungutinya bola plastik yang telah tercemplung di selokan. Sebentar kemudian bola itu sudah ditendangnya, dan kembali mereka bermain tanpa perlu peduli bola yang telah berkali-kali jatuh ke got. Kembali mereka bermain, juga dengan keringat yang kian berkilat-kilat.
Tak lama suara azan dari mesjid di lorong sebelah menyela. “Lepas magrib, kita sambung. Pasti kami menang,” seorang bocah yang dipanggil Aco berteriak dan permainan itu berhenti. Sambil meraih bajunya, ia mendongak sekilas ke atas tiang listrik yang baru saja dipasangi lampu, ia bergumam pelan dan lirih, “lampu itu belum menyala”. berjalan. Sebentar kemudian yang lain mengikutinya masuk ke lorong. Lorong sempit di belakang sebuah rumah kayu berlantai dua yang agak kumuh. Dan jalanan itu kembali sepi. Hanya ada dua orang yang asyik bermain catur yang sejak tadi tak terusik dengan gaduhnya anak-anak yang berebut bola. Seorang ibu keluar dari lorong tersebut, tampak mencari sesuatu lalu masuk lagi. Lalu jalan itu sepi kembali. Tidak terusik, dua orang tua tetap bermain catur. Diam. Satu jam lebih.
“Ah, sudah petang. Sudah hampir azan.” Ucapnya sambil mengemasi buah caturnya.
“Oke, besok lagi” kata yang satunya. Memandang senja lalu tersenyum, memakai sendal lalu mengikuti bapak tersebut, juga ke lorong belakang rumah. Lorong itu berada diseberang selokan besar dan hanya dihubungkan dengan sebuah jembatan dari kumpulan kayu-kayu bekas bongkaran bangunan. Bau. Dan setiap malam, ada saja yang membuang hajat di selokan itu. Selokan itu sudah ada sejak awal zaman pembangunan dan bersamaan dengan terbentuknya pasar darurat itu, belasan tahun yang lalu. Sejak itu juga selokan itu menjadi tempat sampah yang sangat panjang. Tapi entah mengapa kali ini semuanya jadi begitu jelas. Jauh lebih jelas dari ribuan malam sebelumnya
***
Kali ini senja terasa cepat sekali turun. Dan sebentar saja pemuda-pemuda belasan tahun, yang masih menebarkan aroma sabun mandi, duduk diatas meja bekas penjual sayur dan mulailah mereka mengandai, mereka adalah tokoh utama yang dikelilingi banyak wanita dan keajaiban. Mereka berkumpul dibawah benda yang mengeluarkan cahaya putih kekuningan, yang awalnya, agak sulit menyebutkan namanya dan hanya menyebutnya dengan sekedar, sebagai; lampu.
Lampu itu lampu merkuri 250 watt yang dipasang beberapa hari yang lalu, oleh beberapa orang yang berseragam merepotkan dan bersepatu sol karet yang tebal. Lampu itu membawa perubahan yang terkesan janggal. Seperti ada sebuah yang dipaparkan oleh hadirnya lampu itu, dan begitu telanjang. Meja penjual ikan yang ditumpuk begitu saja setelah pasar usai tampak jelas dan kotor. Terangnya lampu itu menggarisbawahi betapa kumuhnya jalan ini. Anyir sisa air ikan yang ditumpahkan begitu saja menjadi semakin tegas. Juga sampah-sampah yang menggenang tampak lebih nyata, mengapung diatas selokan. Bangkai tikus kelihatan jelas berulat. Semuanya menyerap sinar putih kekuning-kuningan itu. Sinar itu menegaskan pada sekian indera, tak hanya mata, tetapi juga yang lainnya. Sinar merkuri itu membuat semuanya begitu jelas dan semakin jelas. Sinar itu seolah memperpanjang waktu siang. Dengan sinarnya, malam serasa tidak pernah datang. Hari terasa semakin panjang dan waktu untuk memandangi kumuhnya jalan ini juga semakin panjang dan terasa ada yang menusuk, tidak hanya kepadaku tapi juga disegenap hati orang-orang disepanjang jalan dan disudut-sudut lorong itu.
* * *
“Ada keanehan yang saya rasakan,” seorang berbisik kepada seorang yang lainnya. Di suatu malam ketika sekumpulan orang tua yang hanya bersarung asyik berbincang tentang malam dengan ditemani kopi tubruk dan goring ubi. Sebelumnya mereka asyik berbincang tentang nomor buntut, bola juga pertandingan domino yang digelar di kelurahan seminggu yang lalu sambil memndangi anak-anak mereka yang sedang bermain bola..
“Keanehan apa?” yang lainnya menyahut.
“Saya baru sadar betapa kumuhnya jalan ini. Dan saya jadi sadar, kalau selama puluhan tahun saya besar dan tua di jalan ini”
“Saya juga mulai merasakannya,” sahut yang lainnya.
“Saya asing. Iya, asing,” seorang menjawab tergagap lalu diam.
Lalu, “Aco, Ali, ayo masuk nak, pergi tidur sudah malam!” Teriak seorang bapak dengan suara yang berat dan lamban. Jalan itu langsung sepi, tak ada lagi yang tinggal bermain bola. Tinggal bapak-bapak tua itu, ditepi jalan dibawah lampu.
Semuanya serentak memandangi sinar yang menghujani mereka. Sinar putih kekuningan. Sinar merkuri. Kemudian mereka menoleh ke kumpulan orang-orang mabuk yang bernyanyi di bawah merkuri lainnya, disudut jalan lainnya. Lalu satu persatu masuk ke lorong gelap di belakang bangunan kayu bertingkat, sambil tertunduk. Diam. Lalu sepi
* * *
Malam ini malam ketujuh jalan di depan rumahku terlihat sepi, tak ada lagi anak-anak muda tanggung yang berbicara tentang mimpi. Tak ada bapak tua yang main catur. Tak ada lagi bocah-bocah yang keringatnya berkilat-kilat memantulkan sinar lampu ketika sedang bermain bola. Juga tidak ada lagi pemabuk-pemabuk yang ribut bernyanyi di sudut jalan lainnya. Semuanya seperti tersadar betapa kusamnya potret tempat mereka pernah menggantungkan harapan. Betapa kumuhnya hidup mereka selama ini. Yang tinggal hanyalah sinar merkuri itu. Tampak kesepian dengan sinar putih kekuningannya, hanya ditemani sampah, anyir selokan dan kumuhnya malam.
***
Malam ini terasa agak lain. Sinar itu sudah tidak ada. Entah kapan lampu Merkuri itu pecah. Jalanan jadi gelap kembali, tak berbeda dengan beberapa bulan yang lalu. Dan sejak itu satu persatu anak-anak muncul kembali, bermain petak umpet. Juga pemabuk-pemabuk mulai minum lagi diatas meja penjual ikan, tepat di bawah lampu merkuri yang sudah pecah bohlamnya. Irama jalan itu kembali lagi. Jalan itu memang masih tetap kusam dan kumuh tapi lampu itu juga sudah pecah, bersama menguapnya keterasingan. Mungkin, di jalan itu tak ada lagi yang menyesali nasib.
Makassar, Oktober 2001

*******

Suatu Hari di Lebanon*

Oleh; Ahmad K. Syamsuddin

“Jeklek! Jeklek! Jeklek!...." mode continues kameraku terus bekerja. Motor kameraku terus menarik rol film dan menangkap gambar sekelilingku. Dari ‘jendela intip’ kameraku, kulihat mereka satu persatu; tentara berpakaian lengkap, dengan senapan otomatis yang terus bergetar memuntahkan peluru. Selongsong peluru yang muntah bersamaan dengan hamburan peluru terdengar berdenting menyentuh aspal. Nyaring dan asing. Fokus kameraku terarah ke wajahnya; kenapa ia seperti ketakutan? Matanya tampak berair, mungkin ia marah atau sedih. Ia menangis, kukira atau mungkin matanya hanya perih karena gas airmata yang dilemparkan serdadu lainnya. Seorang mengganti magasin pelurunya. Ia kelihatan sangat cemas. Dan begitu terpasang, ia kembali menghamburkan pelurunya. Matanya menyala merah, rahangnya mengatup keras. Sepuluh orang yang berbaris siaga dengan seragam lengkap itu terus maju bersama hamburan pelurunya. Di belakangnya, di dekat kendaraan lapis baja, seorang tersenyum kecut sambil menghisap rokoknya. Ia sepertinya puas melihat pasukannya terus maju, aku sempat merekamnya ketika ia menelan ludah. Di sekitar kaki serdadu itu, teronggok ratusan selongsong peluru. Ia hanya diam mengawasi, sambil sesekali tersenyum seperti menghadapi permainan yang menyenangkan.

Di ujung jalan, di sasaran tembak mereka, sebaris pemuda belia berlarian menghindari maut yang datang bersama peluru tajam serdadu itu. Mereka menuju tempat sebagian teman mereka berlindung sebelumnya. Bersembunyi, dan selebihnya mengintip menunggu waktu untuk melempar bom molotov. Sebagian menggenggam erat batu besar di tangannya. Satu diantaranya memegang ketapel, erat sekali. Dan sekali lagi kameraku merekamnya, fokus ke dua mata dibalik sorban yang menutupi wajahnya, ada sesuatu yang menyala di situ.
Ketika berlari, seorang bernasib naas. Ia tertembak. jatuh dan darah segera menggenangi jalan. Aku merekamnya. Sebelum jatuh, Ia berteriak dan wajahnya kemudian diam, putih dan sangat diam; lima frame filmku mengabadikannya. Sebagian kemudian sibuk menyeret temannya, mengamankannya ke balik toko yang pintunya sudah banyak berlubang ditembus peluru. Darah tergaris memerahi jalan sepanjang tubuh itu diseret. Wajah anak-anak muda di balik sorban itu terlihat berduka. Dari mata yang tak tertutup, kulihat mata mereka menyala dan dipenuhi air mata, aku merekamnya. Dada mereka turun naik, mungkin berusaha meredakan marah, atau menelan kesedihannya. Seorang diantaranya memeluk jasad itu, berkali-kali mengusap airmatanya dan berbicara dengan suara yang serak, selebihnya hanya diam mematung dengan mata berkilat.
Sebentar kemudian angin bertiup. Kota ini rasanya sudah lama mati, tak ada suara yang lain selain desing peluru dan ledakan bom. Semuanya diam dan menunggu. Serdadu mengisi magasinnya, dan anak-anak muda itu mulai bersiap. Keduanya hanya menunggu. Angin seperti tak bertiup, semuanya serasa beku, hanya bau mesiu dan gas air mata yang menggantung di udara.

Ini hari ketiga aku masuk ke kota ini. Dan hari ini, saat matahari belum tinggi aku sudah kelima kalinya mengganti film, dan entah sudah berapa wajah yang sempat kurekam. Entah sudah berapa tubuh yang terkoyak yang kumasukkan dalam filmku. Entah berapa luka.
Tentu jika dibandingkan ingatan manusia, tentu saja film ini tidak ada apa-apanya. Setiap hari penduduk kota ini mengisi hidup dengan ketakutan. Setiap kali berjalan, mereka selalu ragu apakah mereka mampu menyelesaikan hari ini bersama keluarganya. Tak satupun yang tahu, El maut seperti hanya tinggal mengundi siapa yang duluan dijemputnya.

Tadi pagi di belahan lain kota ini, seorang anak kecil diantar ke pemakaman. Semuanya hanya diam seperti menjalankan pemakaman yang rutin dan biasa. Ada yang menangis tapi tak ada yang meraung dan menyesalinya. Barangkali mereka menganggap kematian bagi anak kecil yang tak berdosa di kota ini jauh labih baik, atau barangkali saja itu adalah tambahan bara bagi api perlawanan mereka. Aku hanya bisa memotretnya ketika semuanya hanya tertunduk diam berjalan. Ada yang membawa bendera, tapi hanya dikibarkannya pelan dalam angin yang juga seperti berhenti. Beriringan, mereka ke tepi kota. Beberapa kuburan, yang sepertinya baru saja digali beberapa hari yang lalu tampak masih menyisakan tanah merah yang berdebu. Tak ada bunga, seperti habisnya tangis.

Aku kini diam, duduk berlindung ke dinding, dan baru kurasakan denyut jantungku. Aku dalam sebuah gedung yang telah jadi puing, dan setiap bergerak, kudengar derak puing yang kuinjak. Sejenak kuamati lensa tele-ku yang telah menemaniku berjalan di kota ini. Lensanya mulai berdebu. Dalam waktu yang diam itu, dari jendela yang separuh kacanya pecah, kulihat semuanya masih di sana. Aku baru merasakan ketegangan ini. Detik halus arlojiku semakin menggedor debar jantungku.

“Hei apa yang kau lakukan di sini,” tanya suar dari belakangku. Aku tahu itu bukan suara serdadu yang kasar. Suara itu pelan, dan halus tapi aku tak urung tersentak. Pelan aku berbalik, kulihat seorang anak kecil berdiri di depanku. Usianya mungkin baru sepuluh tahun, rambutnya hitam, alisnya tebal dan matanya-- aku tak tahu apa warnannya, hitam mungkin coklat tapi kulihat sangat dalam. Ia mengenakan jaket merah yang agak lusuh, juga sepatu kets biru. Di tangannya tergenggam sebungkus krayon, mungkin untuk menggambar pohonan atau matahari, mungkin juga darah.

Ia terus menatapku, “Apa yang kau lakukan di sini?” kembali tanyanya, suaranya seperti gaung yang jauh. Ia sekilas menatapku, lalu memandangi para serdadu yang sementara mengokang senjata. Lalu ia menatap anak-anak muda yang juga bersiap. Ia kembali menatapku, aku terhenyak. Matanya begitu bening dan dalam. Aku seperti melihat telaga yang tenang, dan di bolamatanya, sebaris senyum anak-anak. Dari matanya, aku seperti ditatap berpuluh pasang mata kanak-kanak yang jauh dan tak tersentuh.
“Kenapa matanya begitu jernih,” batinku.
“Jika kau lama menetap di kota ini, matamu akan semakin jernih. Di sini mataku selalu dibasuh air mata. Aku dan lainnya selalu menangis karena hanya itu yang bisa kami lakukan. Dan kau tentu tahu; hampir tak ada yang peduli” tiba-tiba saja ia menjawab pertanyaan hatiku. Aku hanya bisa melongo, menggenggam kameraku, menyalurkan cemasku.
Sambil menerawang ia lalu berbicara. Ia berbicara seperti hanya untuk dirinya, pelan tapi seperti menyimpan gejolak yang mengiris.”aku hanya ingin bebas berlarian di jalan seperti dulu lagi, tanpa perlu takut ada peluru yang merobek jantungku…”
Aku mendongak, kusangka ia marah dan kemudian akan menangis, tapi tidak, ia hanya terus bicara sambil memandang langit dari jendela yang separuh kacanya sudah pecah dirobek peluru.
“Seperti kanak-kanak lainnya yang punya tempat bermain, di sini, puing seperti ini jadi taman bermain yang begitu menyenangkan. Jauh sebelum serdadu itu datang dengan tank dan derap sepatu larsnya. . Tapi sejak perang ini, kami tak punya lagi tempat bermain, aku jadi tahu masa kanak-kanak di negeri ini adalah saat yang paling mengerikan. Kami tak bisa ikut membela tanah ini, tapi juga tak satupun bisa menjaga kami kalau saja para serdadu itu mengejar dan menembaki kami sambil tertawa seperti memburu kelinci di Padang Siberia”. Ia terus berbicara, aku hanya mendengarkan dan aku takut suaranya terdengar oleh serdadu yang berjejer di luar sana.
Lalu, “menurutmu, Tuhan menyediakan taman bermain di surga buat kami anak-anak yang baik?” Ia berbalik menatapku, matanya menagih seperti ketakutan atau mungkin putus asa.
Aku tak tahu, “ngg…” aku juga tak mengangguk. Ia seperti menungguku mengatakan sesuatu. Ia menatapku dan bening mata itu seperti menyihirku. Aku hanya diam, dan kembali hanya bisa meremas tali kameraku, aku ternganga. Ia terus menatapku.

Kemudian pelan ia mendongak ke matahari, wajahnya terlihat pucat disepuh sinar kuning, ia seperti tergesa. “Aku mau pergi..”
“Kau akan ke mana? Di luar, tentara itu masih berjaga”. Aku bangkit ingin mencegahnya, tapi ia menepis tanganku. Aku hanya terdiam, tanganku tergantung putus asa melihatnya berkeras.
“Aku ingin mencari ayah dan kakakku; aku cuma mau bilang agar jangan memelihara dendam jika kelak tanah ini merdeka. Tak punya ingatan apa-apa di negeri ini, rasanya jalan yang terbaik….tanpa ‘lupa’ di tanah seperti ini, kanak-kanak sepertiku hanya akan jadi gila… tapi sudahlah..” suaranya terus mengalir, deras tapi seperti dari lembah yang dalam. Ia menerawang lalu, ia seperti ingin berlari keluar
“Hey.., ”aku memegang erat tangannya, mencegahnya.
“Aku hanya ingin berlari di jalan itu, merasakan debu.. seperti dulu..” ia menepis tanganku. Lalu berlari ke luar lewat pintu yang sebagian pintunya sudah koyak. Ia berlari, aku sontak bangkit ingin mengintipnya lewat jendela tempatku memotret sebelumnya. Aku pasti tak kuat melihatnya menggelimpang di jalan, dihajar peluru serdadu itu. Tapi kulihat jalan itu lengang, tak ada suara tembakan. Juga tak satupun serdadu yang tadi mengokang sejata. Anak-anak muda di samping toko, tak ada lagi. Hanya angin yang berkesiur, membawa aroma mesiu dan gas air mata. Kulihat krayon anak itu tergeletak begitu saja, dan tak terasa aku menangis. Kulihat malam mulai turun. Lampu-lampu mulai menyala, dan kota ini tetap mati.

* Sebuah kenangan pada Rami, yang terbunuh bersama ayahnya di Netzarim, Gaza City, 30 September 2000 lalu.


******

PERAHU NUH
(satu fragmen)
Oleh A. K. Syamsuddin
“Rasanya kita seperti umat Nabi Nuh yang diselamatkan dari tangan nasib, yang demikian kejam hendak mencacah kita..” bisiknya pelan menerawang ke langit. Ditatapnya langit lekat-lekat seperti hendak menerka cuaca yang mungkin akan turun sebentar malam. Ia seperti membaca gugusan awan di langit yang belum jernih benar. Langit yang tak kunjung berwarna biru. Setelah itu, barulah ia menoleh dengan dagu yang seperti menanduk, dan ia menatap wajahku meminta jawaban. Lalu ia kembali memandang langit, lalu hamparan air yang semalam tiba-tiba saja datang entah dari mana, dan menggenangi kampung kami. Dan kini, kami mengapung di atasnya; mengecipak air, menjalani nasib.
“Iya pak. Tapi eh, saya tidak tahu...” tergagap, aku tak bisa menjawab tudingan dagunya. Ia hanya diam. Kali ini, ditatapnya punggung anggota SAR yang menjemput kami. Mereka mengenakan baju oranye menyala dengan sebaris garis berwarna perak yang berkilauan jika diterpa berkas cahaya, meskipun hari mendung. Sepasang dari mereka sibuk mengayuh, dua lainnya duduk di depan, seperti kapten kapal Phinisi yang berdiri anggun menentang angin. Mereka hanya diam.
Di kejauhan, tampak bonggol-bonggol pisang mengapung. Juga jejeran puncak rumah kami tampak menyembul dari air, seperti sirip-sirip hiu yang diam. Pucuk batang-batang pohon yang menyeruak, nampak seperti kerangka yang ditinggalkan. Semuanya kehitaman direndam air, seperti nasib kami di tangan air.
Diulurkannya tangannya ke air, dan air yang kecoklatan membelah di tangan tuanya yang dipenuhi urat-urat yang mulai mengendur. Air itu seperti menari dan menciumi tangannya dengan gembira. Ia menikmatinya. Lama ia diam, lalu ia tersenyum.
“Betul, kita seperti umat Nuh, iya seperti umat Nuh…..”
Semua orang yang berada di perahu itu hanya menoleh padanya, tertegun dan tidak berkata apa-apa. Di perahu karet marinir ini, kami bertumpuk. Berdesakan dengan lutut dan siku bersentuhan. Kami merapat, sebagian memeluk lututnya, mencari hangat. Baju yang kukenakan sudah lembab dan berbau lumpur, dan celanaku yang basah seperti lengket dan menyatu dengan kulitku, seperti dengan anak kecil yang ada di depan. Sama dengan ibu tua yang memegang erat buntalan sarungnya. Sama dengan lelaki kurus yang menunggu bersama anak-anaknya di bubungan rumahnya yang terendam air, menunggu sepotong tangan menjemputnya.
“Kalian tahu, kita seperti sekumpul umat Nabi Nuh yang diselamatkan, karena Tuhan masih berkenan kita ada....” ia berbicara lagi, dan membiarkan suaranya menggantung di udara.
“Tidak pak, kita tidak sama dengan umat Nuh. Mereka diperintahkan pindah karena orang-orang yang ingkar akan diazab oleh Tuhan, sementara kita….”
“Bocah, kau salah!” lelaki itu memotong. ”Kita sama dengan umat Nuh. Kita ingkar, kita tidak peduli pada sasmita alam. Dan kita telah acap diperingati, juga sekarang…walaupun kita masih disayang, dan masih berkenan diselamatkan”. Ia menegang, dan semua yang ada di perahu menoleh, semuanya menatap bapak itu dalam-dalam, ada seorang yang mengangguk-angguk, mungkin setuju.
“Mungkin, tapi mungkin juga tidak…” jawabku menggantung, mencoba mengabaikannya. Aku menoleh ke langit, ”barangkali sebentar malam, hujan akan turun lagi…”batinku.
***
Telah s emalaman penuh, dalam dingin gerimis kami berjaga di pucuk-pucuk rumah atau pohonan tinggi. Semalam, tidur kami yang nyenyak tiba-tiba saja digedor kentongan tanda datangnya air bah yang entah dari mana. Suasana kampung tiba-tiba saja ribut oleh pekik panik dan tangis bayi. ”Banjir…Banjir…..”, dan kami berebutan memanjat atap atau pohonan yang tinggi, memandangi air yang pelan-pelan meninggi, seperti mengejar kami. Gerimis yang turun lewat di atas kampung kami ternyata mengantar luapan air yang tak tahu dari mana asalnya.
Aku tiba-tiba membayangkan tempat yang kami tinggalkan; kampung pinggiran kota yang terkucil dari bising ramai mesin kendaraan. Tempat yang masih mengizinkan mangga, durian, rambutan, dan tanaman besar lainnya untuk tumbuh. Tempat yang masih menyediakan tempat bagi anak-anak untuk main bola atau bermain layangan setiap menjelang kemarau. Rasanya mustahil air bisa ada sebanyak ini dalam waktu semalam. Dari mana datangnya air ini. Mengapa demikian banyak hal yang tak mudah dipahami?
Semalam kami masih mengisi kampung ini dengan bincang-bincang usai shalat magrib di mushallah. Ada Bahri yang menjual bakso, juga Dul yang mendorong gerobaknya, menjajakan kue hangat. Basrul masih membincangkan pasaran harga durian yang jatuh. Dan, sekarang semua rasanya begitu cepat berubah. Sekarang kami semua terpaksa dijemput satu persatu dari atas rumah dan pepohonan, “Sungguh nasib tak bisa ditebak, tapi barangkali bapak itu benar. Kami seperti umat Nabi Nuh yang ingkar, dan dikirimlah banjir sebagai peringatan karena kami mengabaikan sasmita Tuhan. Atau kami hanya sekumpul orang yang harus menikmati segalanya, tanpa perlu menampik. Sekumpulan orang yang tak dihitung dan dipertimbangkan?” aku hanya bisa membatin. Menelan sisa air hujan yang melekat di ujung bibirku, rasanya seperti lumpur.
***
Kupandangi bapak itu, ia masih tertegun. Bapak itu memeluk erat celengan ayam dari tanah liat, satu-satunya harta yang bisa diselamatkannya. Di sudut, agak terlindung dari suaminya, Mbak Ima menyusui anaknya. Dan Sati, anak belasan tahun yang seingatku sekolah di SMP dekat balai desa hanya duduk diam. Dua baris garis bekas air mata tampak di pipinya yang coklat, mungkin ia teringat sekolahnya.
“Tapi umat Nuh, pergi ke tanah baru, dan tak kembali. Sementara kita hanya pindah sebentar dan kembali lagi menunggu nasib. Kita seperti tak punya pilihan. Kita tak bisa memilih nasib”. Sekali lagi, bapak itu berbicara. Pelan, nyaris tak terdengar ditelan bunyi kecipak air. Tatapannya jauh menaut pada horizon. Di kaki langit, pada hamparan air coklat yang menyatu dengan langit mendung.
“Hmmm. …atau kita hanya kumpulan ternak yang ikut diambil agar tidak punah ditelan air…seperti ayam, tikus, atau mungkin anjing. Iya, ayam kan tak bisa berenang. Seperti kita yang jadi korban padahal kita tak paham keinginan orang-orang yang membangun rumah baru, tapi malah merusak jalur sungai...He.. eh..kita korban, seperti ayam…” bapak itu terus berbicara, lalu terkekeh. Suaranya tak bisa menyembunyikan ironi yang sedih. Semua yang ada di perahu mengangguk-angguk pelan, sepertinya mereka setuju.
Di kejauhan, di depan perahu, tampak barisan warga yang berhasil dibawa lebih dulu ke tepi dataran tinggi. Mereka berdiri berdesakan di dalam tenda yang dipasang tentara. Barang-barang menumpuk di antara kaki-kaki mereka. Kasur, kompor, piring, pot bunga, dan sebingkai foto. Masih sempatkah semuanya diselamatkan ketika saat yang datang begitu mendesak, dan tergesa? Apakah mereka demikian yakin; bisa kembali dan memulai lagi semua kehidupan yang terenggut hanya dalam semalam? Sepertinya hanya keyakinan seperti itu yang membuat mereka bertahan, meski hanya sekedar untuk menjalani nasib. “Toh tak ada yang bisa memilih nasib, tapi mengapa nasib rasanya tak bisa dipahami dengan jernih?”

Kemudian hujan turun. Dingin kembali pelan-pelan menusuk tulang Dan hampir serempak, kami menegadah menatap langit. Sementara perahu terus membelah air menuju dataran yang lebih tinggi; ”mungkin kami memang seperti umat Nuh. Tapi apakah kami memang hanya serupa ternak?”. Kulihat bapak itu tersenyum kecil, pahit dan sedih.
Pebruari 2002-2003

No comments: