"sebuah tempat sebagai tepi dari semuanya. sebuah tempat pulang, menemukan diriku sendiri yang kutinggalkan.."
Friday, January 25, 2008
satu hujan dan pak tua peramal
sebuah malam. terjebak hujan. aku ku menepi mencoba berteduh pada sepotong atap kios yang berdiri di dekat rerimbunan pohon. hujan terus turun. lelaki tua yang sudah duduk duluan di sampingku membuka percakapan; perkenalan biasa mulanya. ia berasal dari salah satu kabupaten di bagian selatan propinsi ini. ia datang ke makassar, dan menawari jasa membantu orang yang kesulitan dengan hubungan dan keturunan. setiap malam, ia menumpang tidur di stasiun pengisian bahan bakar yang sudah tertutup.
aku membakar rokok. menawarinya, ia berterimakasih untuk rokok, yang menurutnya baik di cuaca sedingin hujan malam itu.
ia sempat menceritakan bagaimana kedua kakinya terputus dihajar granat. juga tangan kirinya yang kini kesulitan mengenakan jam tangan. "aku dulu pejuang," tegasnya. meski dengan pelan --tapi serasa juga dengan sepotong harap, ia masih sementara mengurus uang tunjangannya sebagai veteran pejuang. kini tahun ke-tujuh sudah ia mengurusnya, dan dengan sisa senyumnya; ia masih yakin akan memperolehnya dalam waktu dekat ini. namanya "maling" atau daeng maling (ia sempat menjelaskan, alau nama itu di jawa berarti pencuri --dan aku hanya mengangguk)
di luar masih hujan. tempiasnya mulai mengenaiku. aku kembali membakar rokok. menawarinya sebatang lagi, ia hanya menyimpannya dalam tas; "sebentar baru kubakar, menjelang tidur," katanya.
ia percaya kalau bisa meramal sepotong kehidupan seseorang dari hanya melihat matanya. ia percaya saya akan memiliki cukup baik kehidupan. saya hanya tersenyum. ia sempat meramal orang yang juga berteduh bersamaku, kalau hubungannya dengan 2 istrinya tak berjalan cukup baik. orang itu mengaku kalau ramalan itu tepat. lalu mereka terus berbincang. sesekali aku tersenyum mendengar mereka berbincang. sempat ia menduga jejak tangan lelaki yang sudah cukup berumur itu.
[kalau saja tampakannya seperti tukang nujum gypsi yang berwajah dingin dan bola kristal,mungkin aku tak terkejut] lalu ia menunjukku; "dari matamu, kulihat kalau kau mata keranjang. kau banyak kekasih,"... hmmm, aku hanya tertawa. bagaimana mungkin? aku lalu pergi menembus hujan yang masih cukup deras. "mata keranjang?," batinku. ah, ada-ada saja...kalau saja iya, tak perlu aku tersiksa kenangan, seperti biasa jika turun hujan. ada-ada saja pak tua itu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
untung cuman liat mata coba yang diliat seksama juga ke hidung.pasti dibilang hidung belang..hahaa..
Hehehe..pak tua yang bijaksana..
sudah lah pak Ahmad..tak perlu mengelak..hehe...
aku dengar, tuan juga masih terkepung kenangan....
Post a Comment