Thursday, January 07, 2010

Sang Legenda dan Waktu

pada DS. tempatku pernah menaruh gentar
Bagiku, dulu ia seperti legenda. Lelaki itu pernah tinggal belasan tahun di Tanjung Priok, kawasan di sebelah utara ibukota, tempat banyak warga keturunan Bugis Makassar memilih tinggal dan menantang hidup. Kawasan pelabuhan yang tak jauh dari laut. Tempat yang menyediakan banyak ruang bagi anak-anak muda yang merindukan warna ibukota tapi tak ingin jauh dari harum laut.

Bagiku, ia mula menjadi legenda ketika dalam suatu perkelahian dengan preman asal Madura dan perutnya dikisahkan robek terkena sabetan celurit. Tapi ia menuntaskan perkelahian dengan menikam lawannya dengan badik. Dan juga menurut cerita yang entah darimana bermula, Tak lama, lawannya mati. Ia masih sempat membawa luka robek dan buraian ususnya ke rumah sakit untuk dijahit.

Setelahnya, ia lari dan kembali ke Pasar Cidu. Cerita itu beredar di antara kami yang mengingatnya, bertumpuk dengan ingatan dan kekaguman pada pendekar yang terlibat carok karena dendam yang harus dituntaskan. Tentu saja itu hanya film dari kaset video yang kadang kami nonton dari haji di kampung sebelah dengan membayar lima puluh perak. Dan kalau ibu haji sedang berbaik hati, ia mengizinkan kami masuk dengan membayara seratus perak untuk tiga orang. Pemerannya Barry Prima yang selalu menjadi tokoh protagonist melawan Advent Bangun, jago karate yang memiliki rahang seperti Arnold Schwarzenegger, bintang film yang kini jadi gubernur California, Amerika Serikat.

Setelah pertarungan itu, ia melanjutkan hidupnya. Dengan minum tuak dan seringkali mondar-mandir di pasar sekitar rumahku. Mabuk. Kadang berkelahi. Ataupun bersama kawannya memukuli lawannya dan membuangnya ke selokan hitam di depan rumahku. Jika melihatnya melintas di depan rumah tentang kami sering duduk dan berbincang apa saja, kami memilih menghentikan pembicaraan dan membiarkannya berlalu.
Juga dalam keadaan mabuk, ia seringkali menelpon di wartel rumah kami, --dan meskipun membayar, ia selalu mengancam akan menutup wartel kami dengan menyebut kalau ia berteman dengan banyak jenderal di Jakarta. Tentu saja kami tak takut pada jenderal yang dimaksudnya, jikapun ada. Dulu kami hanya menaruh hormat yang gentar pada pak Babinsa yang entah bernama siapa. Bapak berbadan tambun yang seringkali bermotor mengelilingi pasar saat malam tiba.

Lama silam berlalu. Di tahun-tahun terakhir ini aku selalu menemukannya di warung kopi dekat rumah. Warung kopi yang menerima siapapun yang tiba. Saat itu ia terlihat lebih alim dengan janggut yang terpelihara. Ia sedang sibuk mengurus partai dan kandidat salah satu walikota Makassar. Di tangannya ada pamflet dan selebaran berwarna keunguan berisi janji-janji sang kandidat.

Lalu waktu terakhir, aku tersadar betapa waktu bisa mengalahkan apa pun. Ia tiba di warung kopi. Menyingkir dari hujan di luar. Ia tampak ringkih di sore yang basah itu. Matanya cekung. Wajahnya cemas. Jaket yang sepertinya ia pakai untuk sekedar menopang wibawa, tak cukup menyembunyikan usia yang telah memangkas kebanggaannya. Tak ada lagi janggut. Hanya titik tanda tattoo yang tersisa di antara dua matanya, seperti orang India di film-film bollywood.

Ia bercerita berapa bulan terakhir menjadi kolektor tunggakan utang cicilan kendaraan. Berbekal kebangaannya, ia bersama seorang kawannya mendatangi daerah untuk menarik kembali kendaraan yang tak bisa terbayar. Pekerjaan yang seperti meminta nyawanya saat harus berhadapan dengan orang-orang yang tak rela, kendaraan kebanggaan cicilan mereka ingin diambil oleh pemberi kredit. Bahkan kadang ia harus memakai jaket loreng sekedar menunjukkan kalau ia memiliki akses pada militer negeri ini. Walaupun di satu kesempatan, ia akhirnya mengaku kalau jaket loreng itu ia beli di pasar, saat ia termakan gertakan tentara yang mencoba mencegah langkahnya menunaikan tugas. Dari tiap tugas itulah ia mendapat sekedar untuk menghidupi dirinya dan istri keduanya di kabupaten lain di utara propinsi ini. Menurutnya, intinya adalah menggertak. Siapa yang menang di gertakan pertama, maka permainan adalah miliknya, katanya.

Tapi ia telah merasa tak semuda dan sejumawa dulu. Ia merasa pekerjaan itu telah meminta lebih dari yang bisa diri dan tubuhnya bisa berikan. Waktu telah mengambil banyak hal darinya kini dan ia pun memilih berhenti dan beralih pekerjaan. Betapa tipis hidup dan mati, katanya tentang pekerjaannya itu. Ia menjadi penjual obat dan suplemen kesehatan yang ia beli dari apotik milik kawannya. Saat bercerita. Matanya selalu menatap keluar. Seperti mencari sesuatu pada cuaca dan lalu lalang kendaraan di jalanan.

Meskipun sungkan padaku. Ia hanya memilih merokok, saat kutawari untuk membayarinya kopi. Dji sam Soe dan ia menghisapnya, meski harus beberapa kali membakarnya ulang karena rokok yang dihisapnya sambil bercerita kembali padam. Ia bercerita tentang kedekatannya dengan Hercules yang tersohor sebagai tukang pukul di ibukota. Dan saat ia bercerita tentang Tanjung Priok, aku hanya teringat betapa lelaki ini pernah menjadi legenda yang membuat kami selalu gentar.
Tetapi waktu telah mengalahkannya. Waktu! Bukan yang lain.
Betapa waktu bisa mengalahksan siapapun. Juga Sang Legenda..

Monday, October 05, 2009

Tentang Cinta

Tentang Cinta, aku sungguh tak mengerti benar. Tapi suatu hari, saat sama terjebak hujan dan gelas kopi, aku mendengar cerita dar seorang kawan tentang seorang penderita kusta yang kini tinggal memencilkan diri di salah satu pulau di gugusan pulau di perairan Makassar.

Sejak tahun 1972, setelah menikah, mereka terpaksa pergi setelah terusir dari kampung halamannya sendiri. Bersama perempuan yang telah menjadi istrinya itu, ia memutuskan berlayar dan menetap di pulau yang tak kutahu namanya, kecuali jaraknya yang dua jam perjalanan menggunakan perahu dari pantai Makassar..

Hanya berdua, bersama, mereka membangun sebuah rumah bertapakan nipah, dan berdinding sekedarnya melintasi hari demi hari hingga hari ini. Selama musim berganti sudah beragam cuaca yang merajam mereka dengan panas, angin, hujan dan ombak. Mereka tetap bertahan, dengan penyakit yang terus menggerogoti organ tubuhnya. Hari demi hari, bersama mereka melahirkan dan membesarkan anak-anak mereka, hingga melepaskan anak-anak mereka untuk berpindah dan memulai hidup yang jauh dari mereka. Kini mereka tinggal berdua diserang usia yang kian uzur. Lelaki itu kini buta sedang istrinya menjadi tuli di pulau kecil itu.

Untuk makan, mereka mencari ikan ataupun cumi yang ada di sekitar pulau tempat mereka bermukim menggunakan sampan kecil milik mereka. Dengan indera mereka yang kian terbatas, berdua mereka membawa sampan untk mencari apa yg bisa dimakan. Meski setelah sekian lama tinggal di Pulau itu dan dianggap berjasa mencegah orang untuk membunuh ikan-ikan dengan peledak, kadang ada saja kelompok dari Pemerintah yang membawakan mereka sekedar beras ataupun rokok tembakau.

Setelah lebih 35 tahun, lelaki itu hanya pernah berkata; "Setelah Istriku dan tuhan, Hidupku kini sudah lengkap.." Kami sempat terkesima, saat kawanku itu bercerita.. Saat itu, aku tersadar, aku tak pernah mengerti benar apa itu Cinta..

Tentang Perempuan yang berani menempuh takdir bersama suaminya yang menderita Kusta itu, aku takkan pernah punya perbendaharaan kata untuk menyebutnya.. Aku hampir terisak..

Tuesday, May 19, 2009

perjalanan


:D.F
aku selalu mengenang bagaimana perjalanan ini bermula
ketika suatu hari aku menemukan telaga pada matamu
yang menyimpan bayangan matahari dan wajahku pada permukaannya
cermin yang menyimpan rahasiaku padamu

bersamamu telah kusaksikan bagaimana kemarau meluruhkan
daun-daun pada hutan yang menaungi jalan yang kita susuri

juga hujan yang melingkupi kita dalam kisi tirainya
melapisi pandangan kita dalam selimut perak
lembut serupa kenangan yang samar

aku tahu, setelah sekian musim
aku selalu menemukan sisi tempatku menepi
istirah dari hiruk pikuk di luar sana

aku selalu membayangkan, kelak menggengam tanganmu
berjalan menuju senja.
menyaksikan malam pelan menjelang. melingkupi kita yang pulang

(ahmad k. syamsuddin, 2009)

Tuesday, March 03, 2009

Lampu dan Ketelanjangan Kami


Sebuah petang, di pasarcidu, aku tiba-tiba dilanda rasa yang janggal. seperti rasa terkepung. seakan terjebak pada sesuatu. tersudut. perasaan telanjang dan tak berdaya. aku diam dan menyadari kalau di simpang 3 tengah pasarcidu, ada lagi sebuah benda aneh yang menggantung lekat di tiang. sebuah lampu jalan. lampu pijar neon. pijarnya putih angkuh melayang. seseorang entah siapa memasangnya beberapa hari yang lalu, tepat di tangkai sisa lampu merkuri sebelumnya.

Dan sudah beberapa malam, anak-anak dan sebagian penghuni pasarcidu di sekitar simpang 3 tengah, ramai berkumpul di bawah lampu itu. berbincang. lebih ramai dari sebelumnya. seperti berdiang mencari hangat harapan. sebelum mereka sadar, betapa pijar lampu akan kembali menyadarkan mereka semua kenyataan yang mengitari mereka setiap hari. menyadarkan sudut-sudut yang semula disembunyikan bayangan, disembunyikan malam. lalu lampu itu kembali mengasingkan mereka. mengasingkan kami.

Dan lampu itu kini betul-betul menelajangi bentangan tenda-tenda tempat penjual mengais rezeki di pagi hari. menelanjangi amis genangan air yang terus menggenangi jalan, seperti mata air abadi. menelanjangi meja-meja kayu berbau ikan yang ditumpuk sekenanya. menelanjangi setiap tikus yang mengendap-endap. juga menelajangi hati kami yang telah terluka sekian kali. menelanjangi pasarcidu.

seperti lampu merkuri lainnya, lampu itu tegak mencoba mengalahkan malam.
mengalahkan pekat yang meraja. mengungkap relung tempat gelap rahasia mendekam. ah, semoga malam kembali menang dan menyelimuti kami dalam bayangnya. agar hati yang luka ini kembali tenteram bersemayam...

(katanya dibiayai oleh seseorang yang hendak mengais suara pemilih dalam pemilu mendatang. katanya agar orang-orang di pasarcidu yakin kalau mereka bisa menyandarkan harapan selama 5 tahun yang mengecewakan ke depan, makanya ia memasang lampu di sudut jalan yang gelap itu. seolah ia pembawa pelita yang akan memnadu setiap yang sesat ke jalan yang benderang.. ah, bangsat!!!)

Saturday, February 21, 2009

Pasar Cidu

tak terasa sudah berapa lama tak singgah di sini. aku singgah hanya mengenang sebuah tempat di sudut pasar cidu. tempat setiap pagi, memandang hari mulai. juga beranda tempat melihat malam menuju selesai.

Sunday, January 04, 2009

2009

Tahun Baru, aku sedikit harapan baru; "Saya berharap bisa bangun lebih pagi, dan melawan tubuhku sendiri yang enggan bergerak lebih dini..." meski harus kuakui, tidur yang paling menyenangkan adalah setelah sholat subuh. Lelap yang selalu dihiasi mimpi-mimpi ajaib dibanding tidur malam..

Selamat Tahun Baru

Saturday, December 27, 2008

satu lagi selesai

hampir tak terasa, satu lagi selesai. entah berapa yang tersisa. semoga semua tetap menyediakan beragam laksa warna. semoga.

Wednesday, December 10, 2008

di luar hujan. tapi di tempat ini, aku tak pernah tahu bagaimana cuaca di luar. di sini aku selalu membayangkan memiliki sebuah jendela besar, hanya untuk melihat satu-satu titik hujan jatuh, berkumpul menyatu lalu mengalir membentuk lajur-lajur ke bawah. hanya itu. kadang kusadar, banyak kesederhanaan yang demikian memukau.

*bagaimana kau di luar sana?

Wednesday, October 29, 2008

Pasar Gelap

Malam ini aku kembali singgah, setelah sekian lama terhisap dalam rutinitas di pusat kota. Aku selalu suka tempat ini. Bagiku atau kami, tempat ini selalu menyediakan kemungkinan lain dari sekian banyak pilihan di dunia perburuan di luar sana.

Menyediakan pilihan lain, ketika waktu tak berpihak pada kita, dan buruan telah selesai. Kami tak bisa memutar waktu mundur kembali, namun jika toh ada kemungkinan lain, maka disinilah tempatnya mengais.

Di tempat ini, ‘sesuatu yang paling berharga’ di dunia kami ditukarkan. Meski tak diikat akad ataupun akta, hampir serupa persaudaraan rahasia lainnya; setiap yang pernah datang mengambil sesuatu, maka kelak ia akan membawa sesuatu. Tak harus berjanji dan tak ada hukuman sebenarnya, tapi semua tampaknya tetap berjalan dengan ritme dan polanya sendiri.

Di tempat ini, setelah duduk di sofa di depan pintu masuk, aku selalu merasakan temaram cahaya dari bohlam lampu putih. Merasakan sejuk pendingin ruangan, dan dengan senyum yang kurasakan ganjil, aku selalu menyebutnya sebagai ‘Pasar Gelap’.

Inilah pasar gelap, tempat dimana tak ada dosa eksklusifitas. Tidak ada persaingan kejam memburu rating dan meraih peringkat ciptaan setan Nielsen. Peringkat yang menandakan betapa ‘tempat kami’ bekerja pantas bagi para penjual untuk menawarkan jualan mereka–termasuk kemolekan tubuh dan peruntungan nasib. Sistem peringkatan yang membuat ‘tempat kami’ bisa menangguk uang dari iklan yang mereka pasang untuk membujuk mereka yang didera kebingungan.

Entah sampai kapan tempat ini tetap ada. Mungkin selama dunia perburuan itu tetap ada, maka selalu ada tempat serupa ini. Tempat Pulang. Meski sebenarnya ini adalah pilihan terakhir kami para pemburu..

Sunday, October 26, 2008

Kenangan dan Satu Malam di Pasarcidu

Terbuat dari apakah itu Kenangan? Mengapa ia menyerbu dan menyiksaku; saat aku yakin telah membunuhnya dan menguburnya dalam-dalam. Terbuat dari apakah ia? Mengapa ia ternyata tak bisa begitu saja hilang saat telah kuputuskan semuanya sudah selesai.

Aku sadar, “terus berjalan” ternyata tak cukup untuk melupakan semua yang tentram tersimpan di masa silam. Juga labirin yang memerangkap itu ternyata tak musnah meski kuyakin telah kubakar dengan keyakinan bahwa semuanya akan baik-baik saja setelah kita “tetap bernafas” dan ini tak lebih dari sekedar merayakan hidup yang sebentar.

Dini hari, sebelumnya bermula dari secangkir kopi yang lezat*, lalu insomniaku pun kembali meraja, Aku dan Aku lainnya serasa berebut tubuhku untuk Tidur atau Jaga. Kelelahan, pola siklus harian tubuh dan redup cahaya sudah hampir membuat tubuh kurusku lelap dan hilang ke pusaran mimpi.. Namun tak butuh waktu lama Kenangan, Cemas dan semua balatentaranya membuatku kembali terjaga. Mendera dan meliputiku dalam jalinan ingatan yang entah bermula dan berujung dimana-kemana.

Aku terjaga, dan meski tenggorokanku sudah protes, kupikir hanya Philip** dan asapnya yang bisa menemaniku.

Dari teras kamarku akupun tersadar, kalau lansekap atap-atap rumah di sekitar Pasarcidu ternyata membentuk topografi yang cukup cantik. Rumah-rumah yang tumbuh berdempetan,juga atap-atap bangunan dari ruko-ruko orang tionghoa, tiang listrik dengan kabel listrik yang berjejalin rapat-rumit, dan cakrawala dilingkupi kapas awan dan sebaris awan panjang di langit timur..Lampu jalan seperti Kekunang yang diam, terperangkap dalam gerimis yang jatuh satu-satu.

Rumah yang serupa bukit-bukit kecil di padang kota yang luas, melindungi mereka semua yang lelap dan tentram. Adakah di antara mereka yang mungkin saja terbangun karena didera Kenangan. Tapi tak ada yang terjaga di puncak “rumah entah disana” di kejauhan. Hanya gerimis dan lampu jalan.

Terbuat dari apakah Kenangan sebenarnya? Dimanakah ia sebenarnya tersimpan, dan menunggu sebelum menyergap kita? Ah, Kenangan.. Sudah pagi. Selamat Tidur, sampai bertemu di malam entah kapan. Kau pasti sulit datang saat Ramai Hari sudah datang.

*aku selalu menyukai Kafein di bagian ini sebenarnya; selalu membuat mata dan otakku menyala lebih baik. Tapi tidak kusadari kalau sekuat ini, saat berkumpul kembali dengan 3 orang kawan yang akrab di waktu kuliah dulu dan kami memutuskan minum kopi di tempat kami dulu pernah sering bertemu dan menyebutnya dengan istilah “ngantor”. Dan meski tak kubilang semuanya mudah, tapi aku selalu takjub dengan perkawanan kami berempat.

**Rokok buatan Philip Morris Indonesia, Jakarta, dengan merk dagang Marlboro, Kemasan Flip Top Box, isi 20 Batang, Dengan Tulisan besar “MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN”. Ada juga Tulisan tentang kandungan Tar dan Nikotin yang tak kupahami seperti apa bentuknya.

Friday, October 24, 2008

Daeng Saodah dan Yang Wafat

Beberapa pagi yang lalu, selepas sholat subuh. Suara dari pengeras masjid mengumumkan; " Innalillahi wainna ilaihi rojiun....telah berpulang.." Satu lagi seseorang di sekitar Pasarcidu tutup usia. Meski aku selalu terhenyak mendengar suara itu.. kadang kurasakan mereka sebagai orang yang beruntung; dijemput Maut dalam dini hari yang senyap..

Entah mengapa, aku teringat daeng Saodah. Perempuan bertubuh kecil yang mungkin seusia almarhum nenek. Di ingatanku, entah sejak kapan ia mulai menjual kelapa dan beragam hasil lain dari kelapa sampai gula merah, di depan rumah nenek. Diingatanku yang tersisa, saat masih kecil, sebelum aku berangkat ke taman-kanak-kanak, nenekku sering mencelup tangannya ke minyak kelapa yang dijual daeng saodah lalu mengusapnya ke rambutku hingga mengkilap basah. meski kadang wanginya terasa sengak di hidungku yang kecil, aku tak bisa menolak. sering juga uang jajanku diambil dari uang logam di keranjang daeng saodah, kalau saja nenekku tak punya uang kecil.

Aku tiba-tiba mengingatnya saat mendengar pengumuman mencemaskan di pagi buta itu. aku teringat kebiasaan Daeng Saodah, Setiap ada orang yang meninggal, di sekitar pasarcidu, ia pasti selalu hadir untuk bertakziyah dan memberikan sumbangan sekedarnya, meskipun ia sama sekali tak mengenal orang itu. Ia hanya datang mendengar ceramah tentang kematian, ataupun mungkin berbincang sedikit dengan sesiapa yang mungkin saja dikenalnya di tempat itu.

Jika ditanya mengapa ia hadir padahal ia tak mengenal si fulan yang meninggal, ia hanya tersenyum. tak banyak bicara. Ia tak bercerita tentang silaturahmi ataupun "jaringan" yang rumit, apalagi tentang adat ketimuran dan kohesi sosial. Menurutnya sudah seharusnya begitu jika ada yang wafat,tak lebih.

Mungkin ia datang, meski itu sekedar utnuk menunjukkan betapa ada yang hendak mengenang kehidupan seseorang yang berharga. Mengenang sesuatu yang pernah berarti saat semuanya usai. Atau ia hanya datang, mungkin untuk sekedar mengingat maut. Mengingat sesuatu yang diam-diam menunggu waktu kita. Yang Diam menunggu detik dengan presisi yang rasanya tak mungkin bergeser, meski itu sepersekian sekon...

Aku teringat daeng saodah.

Wednesday, October 01, 2008

Lebaran


aku selalu merasa memiliki aku yang lain yang kadang tak kuingini. Kadang kukenali ia sebagai si pahit lidah (sekedar mengingat nama pendekar -kalau tidak salah, dari melayu, yang mampu menjadikan musuhnya menjadi batu). sering aku memakai tanduk dan menjadi jahat. kadang aku menjadi "bom gotri" yang meledak dan menyembur kemana-mana. sering aku menjadi aku,--yang dalam keadaan sadar, sungguh tak kuingini.

betapa kuingin di puasa kali ini, aku bisa membunuhnya; tapi sepertinya mereka masih setia pada aku. mungkin memang iblis tak pernah mati..

aku yang hina ini, kepada semua yang pernah terluka atas semua lakuku yang tak berkenan, semoga tuan sudi memaafkannya. Selamat Lebaran, semoga kita semua diberi kelapangan hati

Sunday, September 14, 2008

Purnama

Semalam Purnama Sempurna. Bundar seperti keping kerang berwarna kuning keperakan. Tergantung di langit, bersinar lembut. Aku terkenang-kenang dongeng tentang bulan dan anak yang terbang ke bulan. Juga Kabayan yang bertemu Nini Anteh. Juga purnama yang dipenuhi Puisi. Membayangkan ada sebuah dunia di luar sana, dunia yang juga memandang kembali ke mataku saat kumemandangnya.

Monday, August 25, 2008

selepas perkawinan seorang kawan di benteng rotterdam

::bz

musik mengalun. mengalir dalam angin yang menyisir dinding-dinding batu yang tegak mengelilingi kita. di bawah sorot lampu kekuningan yang menyepuh setiap wajah serupa emas agar tampak bahagia, aku serasa membaca gurat cemas di dalam matamu, kawanku.

apa yang hendak kau katakan? apa yang kau takutkan? kau khawatir pada usia kita yang terus menetes habis seperti dalam jam pasir? jika hidup rasanya tak berpihak pada pejalan-pejalan seperti kita, apakah kita harus menyalahkan hidup yang fana ini? bukankah kita hanya berebut mengecap yang nisbi?

kawanku, aku tak menyangkal kalau aku kadang bertanya; di dada siapakah bagian rusukku yang lain tertanam, tetapi janganlah terlalu cemas. perempuan itu masih dipingit Tuhan untukmu, dan mungkin juga untukku.

kawanku, setelah malam yang berangin ini, percayalah pada pemilik semesta ini. juga Ia yang memiliki setiap rahasia kita.

ps: v, maafkan, mengapa kau berada di sana; dan anakan rambut di dahimu membutku tertegun..

Friday, August 15, 2008


tabik...

menemukan sajak lama, di timbunan inbox. 14 juli 2006, tapi rasanya sebangun dengan semua yang kualami belakangan ini. maafkan bukan merayakan sakit ini; sekedar membetahkan diri dengan semuanya. --atau mungkin juga aku takut ini hilang entah kemana, padahal berkali-kali saya mencoba menulis sajak kembali, tapi tetap saja betapa sulit mendapatkan lagi kutukan sajak...

dingin terasa tajam, menelusup dalam tulang.
langit putih bersih. bintang kerlip, serupa kedip lilin di kejauhan.
bulan kuning bundar sempurna. angin terasa riuh bertiup tetapi malam terasa
kuncup.

lalu kukenang bundar matamu yang sering berkerjap kekanakan. lurus.
diam dengan senyum yang tertahan mengembang seperti menunggu semesta pecah.

serasa debar. ketika tahu, kau bisa saja lenyap; ketika musim beranjak dan
mungkin saja waktu merentang jarak.
akan kugapaikan tangan kemana, jika saja kau gaib dalam angin.

mungkin memang selalu ada saat; ketika dalam ombak, kita lelah bersikukuh, dan
memutuskan hanyut dalam arus laut.
dan kita tak bisa menampik waktu yang tiba.

serasa hujan dalam hatiku. jarum-jarum dingin terasa kian runcing.

Thursday, August 14, 2008

::

melihatmu menjalani hidup dengan lebih berwarna; membuatku berpikir, jalan ini sepertinya lebih baik buatmu. meski berkali kau coba menampik; kalau selalu ada jalan buat kita berdua; rasanya tak mungkin.

dan jika ini berat dan perih buatku, apalagi yang bisa kulakukan? aku merasa tak punya pilihan lain... saya hanya berharap "lupa" bisa membantuku sedikit mengurangi sakit..

kucing garong

pagi tadi ditubruk sedih. melintas di depan balaikota makassar, melihat ratusan siswa, sebagian besar berseragam pramuka lengkap dengan tongkat kayu panjang. mereka sedang berjingkrak-jingkrak mengikuti irama dangdut bergaya housemusic "kucing garong"... ah, kalau saja guru dan pembina mereka faham kalau lagu itu sebenarnya bicara tentang perilaku yang mesum...
ah, betapa menyedihkan melihat pendidik dan pemerintah yang tidak mengerti pembentukan karakter anak didik mereka... aku merasa sedih, maafkan.

Wednesday, July 09, 2008

Gie

"Hidup adalah soal Keberanian,
menghadapi yang tanda tanya.
Tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar.

Terimalah dan Hadapilah"


Soe Hok Gie
Jakarta, 19 Juli 1966

Negeri Bahagia


Dari Kompas.Com: Rabu, 2 Juli 2008 | 03:00 WIB

Denmark, Negara Paling Bahagia di Dunia

Washington, Selasa - Denmark, dengan demokrasi, kesetaraan sosial, dan atmosfer damai, merupakan negara yang paling bahagia di dunia, menurut para peneliti hari Senin (30/6).
Zimbabwe, yang terkoyak oleh perselisihan politik dan sosial, merupakan negara yang paling kurang bahagia, sedangkan negara terkaya di dunia, Amerika Serikat, menduduki urutan ke-16.
Secara keseluruhan, dunia semakin bahagia, menurut World Values Survey—survei yang didanai oleh Pemerintah AS dan dilakukan secara reguler oleh jaringan ilmuwan sosial global.
Survei itu menemukan meningkatnya kebahagiaan dari tahun 1980 hingga 2007 di 45 dari 52 negara yang dianalisis.
”Saya menduga keras bahwa ada korelasi kuat antara perdamaian dan kebahagiaan,” kata Ronald Inglehart, ahli ilmu politik pada Lembaga Riset Sosial Universitas Michigan, yang memimpin kajian itu. Menurut Inglehart, ada korelasi kuat antara kebahagiaan dan demokrasi.
”Denmark merupakan negara yang paling bahagia di dunia,” kata Inglehart dalam pernyataan audio yang dikeluarkan National Science Foundation. ”Denmark bukan negara paling kaya di dunia, tetapi makmur,” katanya.
Puerto Riko dan Kolombia juga berada di urutan atas, bersama dengan Irlandia Utara, Eslandia, Swiss, Irlandia, Belanda, Kanada, dan Swedia.
Dua pertanyaan
”Walau bukan negara paling bahagia di dunia, dari perspektif global, posisi AS cukup baik,” kata Inglehart. ”Negara itu tak hanya makmur, tapi juga berada di urutan atas dalam kesetaraan jender, toleransi etnis dan keragaman sosial, dan memiliki tingkat kebebasan politik yang tinggi.”
Survei itu, yang pertama kali diadakan tahun 1981 dan yang kali ini melibatkan 350.000 responden, dilakukan dengan hanya dua pertanyaan sederhana: ”Mempertimbangkan semua hal bersama, apakah Anda merasa sangat bahagia, cukup bahagia, tidak terlalu bahagia, sama sekali tidak bahagia?” Dan, ”Mempertimbangkan semua hal, bagaimana Anda menilai hidup Anda secara keseluruhan sekarang ini?”
”Determinan terpenting kebahagiaan adalah sejauh mana orang punya pilihan bebas dalam menjalani hidup mereka,” kata Inglehart. (Reuters/DI)


Ah, ada juga peringkatan tentang kebahagiaan ya? Kalau itu, soal berapa banyak pilihan yang tersedia; di negeri tercinta ini, seberapa banyak pilihan yang kita punya? Negeri Bahagia, swarga dipa...

Bukankah kita tak pernah bisa memilih tanah tempat terlahir? Tanah air, bisakah kita hidup di dalamnya, tanpa harus mencintainya? Agar tak ada luka, agar tak ada kecewa? Tapi toh, kita fana. Dan kita hanya berebut semua yang nisbi..

Thursday, June 26, 2008

sepi

hari berlalu, terasa begitu sepi. waktu terasa berdetik lamban. pusaran terasa memerangkap, dan merasa terjebak dalam labirin yang demikian mencemaskan. kadang aku tak ingin tahu apapun, dan hanya melangkah; menempuh setiap kemungkinan seperti berjudi dengan kenyataan esok. tapi kali ini aku memilih berhenti. bimbang menimbang. ah, bagaimana keluar dari kegamangan ini? andai saja bisa semudah itu...
entah mengapa aku demikian berharap ada tangan yang mengulur, kemudian menemaniku menelisik setiap sudut lorong. betapapun tak membawaku keluar, cukup di sisiku; menemani melewati setiap lorong kemungkinan. ah, andai saja..