Tuesday, June 13, 2006

Piala Dunia dan Nasionalisme di Sebuah Lorong




32 Negara berebut kulit bundar ini dalam Piala Dunia 2006. Ada cerita, di Jalan Titang Makassar. Warga lorong ini, sejak Piala Dunia 1998 lalu, (--meski rumah mereka terlihat sederhana dan tidak makmur) mengibarkan puluhan bendera berukuran besar dari Negara-negara peserta piala dunia sesuai dengan kesukaan mereka.

Di lorong sepanjang 4 ratus meter ini, ada Brasil, Jerman, Argentina, Inggris dan Arab Saudi, di depan rumah orang Bugis, Makassar, ataupun Toraja. Seperti kegembiraan yang tak mengenal batas. (--walaupun –entah siapa yang memulai, di lorong ini ada laranagan mengibarkan bendera Amerika Serikat ϑ ).

Dan saat tim kebanggaan mereka kalah, maka dengan lapang hati mereka, harus menurunkan bendera menjadi setengah tiang. Kenapa tak dicopot saja sekalian, namun menurut mereka; “ meskipun kalah, kawasan kita bersama harus tetap semarak dengan warna bendera yang kalah dan menang. Semuanya tetap mewarnai lorong ini”. Semuanya bergembira dengan kelapangan hati yang sederhana.

Ketika ada yang menyayangkan kenapa, tak ada warga yang mengibarkan bendera Indonesia, merah putih, sebagian warga –meski terlihat bimbang, cuma berucap; “ini musim Piala Dunia, bukan soal kemerdekaan…”

Di antero lain jagat ini tentu saja berlangsung cerita-cerita kecil kenduri tentang akbar olahraga yang bahkan mengalahkan Olimpiade yang memajang beragam cabang olahraga dan peserta dari berbagai Negara di dunia..

Piala dunia mungkin memang tentang musim yang tak tergantung pada cuaca. Tentang kegembiraan yang serentak. Mungkin ini tentang global village-nya Marshall Mc Luhan. Tapi yang jelas, tidak tentang nasionalisme…