">" border="0" alt="" />
(pada sebuah rantau yang panjang)
Pada sebuah pagi yang dingin, seorang kawan mulai bercerita tentang seseorang yang selalu bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya. Dalam seminggu, kata kawanku itu, orang itu akan sangat sulit dijumpai berada pada tempat yang sama dengan minggu sebelumnya. Ia selalu berziarah, menjenguk tempat-tempat yang sarat sejarah dan penuh pesona; entah itu Yunani, Mesir, kota-kota tua di Eropa atau entah belahan mana di bumi ini. Lelaki itu kerap disebut sebagai ”Peziarah Kebudayaan”. Ia Perantau.
”Mungkin ia tak lagi memerlukan Rumah. Dimanapun ia merasakannya,” ujar kawanku menerawang pada bingkai jendela, pada cuaca luar hujan berangin. Aku berpikir telah berapa banyak kenangan yang telah ia petik? Juga berapa tempat tetirah yang ia jumpai setelah demikian banyak berziarah? Tidakkah ia suatu saat merasa letih dan memutuskan untuk istirahat pada suatu tempat, seperti orang lainnya. Bermukim menikmati kehidupan dengan berdiam, tenang. Tidak dengan perjalanan yang berganti-ganti.
”Tapi apakah mungkin ia tak punya kesetiaan. Sebuah akar untuk berpijak. Boleh jadi ia tak punya cinta; sebab ia selalu bergerak dan selalu dalam perjalanan. Berhadapan dan menyesuai pada kenyataan baru yang asing”. ”Kau harus belajar tentang cinta dan kesetiaan yang lain..” ujar temanku mengutip sepotong sajak entah milik siapa, menuntaskan sarapannya kemudian berangkat menembusi cuaca yang galau dalam lingkung angin. Cuaca yang banyak membuat orang lebih memilih mendekam pada sebuah ruang yang hangat. Berdiam agar terhindar dari dingin yang menusuk.
***
Rumah tentu tak sekedar sebentuk ruang tempat berlindung dari cuaca. Rumah boleh jadi adalah tempat menyusun kenangan dan mengindera perubahan.; meneruskan kehidupan. Namun bagi jiwa-jiwa yang telah bepergian dan bertemu dengan banyak kenyataan, Rumah tentu tak sekedar tempat istirahat bagi tubuh yang lelah.
Rumah lebih bagi jiwa, yang juga berarti sebagai sebuah perasaan diterima dalam keadaan patah sekalipun. Tempat dimana seseorang bisa pulang tanpa harus menjelaskan sesuatu. Dimana seseorang diterima dalam segala keadaannya, dan itulah Rumah yang bersedia memeluknya. Bahkan sebagai yang datang bersama remuknya, dan toh, ia tetap disambut hangat sehangatnya.
Rumah adalah sebuah puisi, sebentuk tulisan yang setiap orang meresapinya dengan kesunyiannya masing-masing. Kesejukan yang diindera sebagai keindahan sendiri-sendiri oleh yang berdiam padanya.
Kita yang hidup adalah perantau yang terus menghadapi sehimpun kenyataan yang berubah-ubah dan tak terduga. Lalu mungkin kita hanya berumah pada kenangan. Berdiam pada sesuatu yang telah jadi masa lampau, sambil bergerak pada kekinian.
Tiap kita sebagai manusia modern, seperti ”jiwa-jiwa tak berumah”...;”Homeless Mind”, Peter L. Berger pernah berkata, mungkin dengan lirih dan muram. Tentang manusia modern yang sementara bergerak mengindera masa depan, namun di saat bersamaan separuh kakinya masih berpijak pada masa lalu. Tentang mengakar pada tradisi milik nenek moyang,tapi juga dengan kesetiaan yang lain; ”modernitas” –perburuan kehidupan masa depan yang bergerak cepat tak terduga.
Seperti kepercayaan pada petuah dan benda-benda keramat gaib lainnya dan saat bersamaan juga mengikut pada rutinitas tergesa-gesa pada setiap pagi di jalan kota besar. Orang yang gegas mencari ”sesuatu”. Mencari yang hilang atau mencari yang belum ditemukan. Seolah mencari sesuatu pada entah
(Rumah atau sebentuk yang dianggap rumah)
*Dimuat pada rubrik CERMIN, penerbitan kampus identitas
Universitas Hasanuddin, No. 591/ Awal April 2004
No comments:
Post a Comment