"sebuah tempat sebagai tepi dari semuanya. sebuah tempat pulang, menemukan diriku sendiri yang kutinggalkan.."
Thursday, June 22, 2006
BANJIR
kalau saja kau ada di sini, akan kau lihat sisa jejak Maut yang mengangkut jiwa-jiwa ini. Dengan mengendarai bah, dirangkumnya satu-satu jiwa untuk kembali. Terbacakah tapaknya pada puing? pada sisa air. pada lumpur. pada jasad-jasad yang basah. betapa kehidupan adalah retak sementara.
Sunday, June 18, 2006
RUMAH*
">" border="0" alt="" />
(pada sebuah rantau yang panjang)
Pada sebuah pagi yang dingin, seorang kawan mulai bercerita tentang seseorang yang selalu bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya. Dalam seminggu, kata kawanku itu, orang itu akan sangat sulit dijumpai berada pada tempat yang sama dengan minggu sebelumnya. Ia selalu berziarah, menjenguk tempat-tempat yang sarat sejarah dan penuh pesona; entah itu Yunani, Mesir, kota-kota tua di Eropa atau entah belahan mana di bumi ini. Lelaki itu kerap disebut sebagai ”Peziarah Kebudayaan”. Ia Perantau.
”Mungkin ia tak lagi memerlukan Rumah. Dimanapun ia merasakannya,” ujar kawanku menerawang pada bingkai jendela, pada cuaca luar hujan berangin. Aku berpikir telah berapa banyak kenangan yang telah ia petik? Juga berapa tempat tetirah yang ia jumpai setelah demikian banyak berziarah? Tidakkah ia suatu saat merasa letih dan memutuskan untuk istirahat pada suatu tempat, seperti orang lainnya. Bermukim menikmati kehidupan dengan berdiam, tenang. Tidak dengan perjalanan yang berganti-ganti.
”Tapi apakah mungkin ia tak punya kesetiaan. Sebuah akar untuk berpijak. Boleh jadi ia tak punya cinta; sebab ia selalu bergerak dan selalu dalam perjalanan. Berhadapan dan menyesuai pada kenyataan baru yang asing”. ”Kau harus belajar tentang cinta dan kesetiaan yang lain..” ujar temanku mengutip sepotong sajak entah milik siapa, menuntaskan sarapannya kemudian berangkat menembusi cuaca yang galau dalam lingkung angin. Cuaca yang banyak membuat orang lebih memilih mendekam pada sebuah ruang yang hangat. Berdiam agar terhindar dari dingin yang menusuk.
***
Rumah tentu tak sekedar sebentuk ruang tempat berlindung dari cuaca. Rumah boleh jadi adalah tempat menyusun kenangan dan mengindera perubahan.; meneruskan kehidupan. Namun bagi jiwa-jiwa yang telah bepergian dan bertemu dengan banyak kenyataan, Rumah tentu tak sekedar tempat istirahat bagi tubuh yang lelah.
Rumah lebih bagi jiwa, yang juga berarti sebagai sebuah perasaan diterima dalam keadaan patah sekalipun. Tempat dimana seseorang bisa pulang tanpa harus menjelaskan sesuatu. Dimana seseorang diterima dalam segala keadaannya, dan itulah Rumah yang bersedia memeluknya. Bahkan sebagai yang datang bersama remuknya, dan toh, ia tetap disambut hangat sehangatnya.
Rumah adalah sebuah puisi, sebentuk tulisan yang setiap orang meresapinya dengan kesunyiannya masing-masing. Kesejukan yang diindera sebagai keindahan sendiri-sendiri oleh yang berdiam padanya.
Kita yang hidup adalah perantau yang terus menghadapi sehimpun kenyataan yang berubah-ubah dan tak terduga. Lalu mungkin kita hanya berumah pada kenangan. Berdiam pada sesuatu yang telah jadi masa lampau, sambil bergerak pada kekinian.
Tiap kita sebagai manusia modern, seperti ”jiwa-jiwa tak berumah”...;”Homeless Mind”, Peter L. Berger pernah berkata, mungkin dengan lirih dan muram. Tentang manusia modern yang sementara bergerak mengindera masa depan, namun di saat bersamaan separuh kakinya masih berpijak pada masa lalu. Tentang mengakar pada tradisi milik nenek moyang,tapi juga dengan kesetiaan yang lain; ”modernitas” –perburuan kehidupan masa depan yang bergerak cepat tak terduga.
Seperti kepercayaan pada petuah dan benda-benda keramat gaib lainnya dan saat bersamaan juga mengikut pada rutinitas tergesa-gesa pada setiap pagi di jalan kota besar. Orang yang gegas mencari ”sesuatu”. Mencari yang hilang atau mencari yang belum ditemukan. Seolah mencari sesuatu pada entah
(Rumah atau sebentuk yang dianggap rumah)
*Dimuat pada rubrik CERMIN, penerbitan kampus identitas
Universitas Hasanuddin, No. 591/ Awal April 2004
(pada sebuah rantau yang panjang)
Pada sebuah pagi yang dingin, seorang kawan mulai bercerita tentang seseorang yang selalu bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya. Dalam seminggu, kata kawanku itu, orang itu akan sangat sulit dijumpai berada pada tempat yang sama dengan minggu sebelumnya. Ia selalu berziarah, menjenguk tempat-tempat yang sarat sejarah dan penuh pesona; entah itu Yunani, Mesir, kota-kota tua di Eropa atau entah belahan mana di bumi ini. Lelaki itu kerap disebut sebagai ”Peziarah Kebudayaan”. Ia Perantau.
”Mungkin ia tak lagi memerlukan Rumah. Dimanapun ia merasakannya,” ujar kawanku menerawang pada bingkai jendela, pada cuaca luar hujan berangin. Aku berpikir telah berapa banyak kenangan yang telah ia petik? Juga berapa tempat tetirah yang ia jumpai setelah demikian banyak berziarah? Tidakkah ia suatu saat merasa letih dan memutuskan untuk istirahat pada suatu tempat, seperti orang lainnya. Bermukim menikmati kehidupan dengan berdiam, tenang. Tidak dengan perjalanan yang berganti-ganti.
”Tapi apakah mungkin ia tak punya kesetiaan. Sebuah akar untuk berpijak. Boleh jadi ia tak punya cinta; sebab ia selalu bergerak dan selalu dalam perjalanan. Berhadapan dan menyesuai pada kenyataan baru yang asing”. ”Kau harus belajar tentang cinta dan kesetiaan yang lain..” ujar temanku mengutip sepotong sajak entah milik siapa, menuntaskan sarapannya kemudian berangkat menembusi cuaca yang galau dalam lingkung angin. Cuaca yang banyak membuat orang lebih memilih mendekam pada sebuah ruang yang hangat. Berdiam agar terhindar dari dingin yang menusuk.
***
Rumah tentu tak sekedar sebentuk ruang tempat berlindung dari cuaca. Rumah boleh jadi adalah tempat menyusun kenangan dan mengindera perubahan.; meneruskan kehidupan. Namun bagi jiwa-jiwa yang telah bepergian dan bertemu dengan banyak kenyataan, Rumah tentu tak sekedar tempat istirahat bagi tubuh yang lelah.
Rumah lebih bagi jiwa, yang juga berarti sebagai sebuah perasaan diterima dalam keadaan patah sekalipun. Tempat dimana seseorang bisa pulang tanpa harus menjelaskan sesuatu. Dimana seseorang diterima dalam segala keadaannya, dan itulah Rumah yang bersedia memeluknya. Bahkan sebagai yang datang bersama remuknya, dan toh, ia tetap disambut hangat sehangatnya.
Rumah adalah sebuah puisi, sebentuk tulisan yang setiap orang meresapinya dengan kesunyiannya masing-masing. Kesejukan yang diindera sebagai keindahan sendiri-sendiri oleh yang berdiam padanya.
Kita yang hidup adalah perantau yang terus menghadapi sehimpun kenyataan yang berubah-ubah dan tak terduga. Lalu mungkin kita hanya berumah pada kenangan. Berdiam pada sesuatu yang telah jadi masa lampau, sambil bergerak pada kekinian.
Tiap kita sebagai manusia modern, seperti ”jiwa-jiwa tak berumah”...;”Homeless Mind”, Peter L. Berger pernah berkata, mungkin dengan lirih dan muram. Tentang manusia modern yang sementara bergerak mengindera masa depan, namun di saat bersamaan separuh kakinya masih berpijak pada masa lalu. Tentang mengakar pada tradisi milik nenek moyang,tapi juga dengan kesetiaan yang lain; ”modernitas” –perburuan kehidupan masa depan yang bergerak cepat tak terduga.
Seperti kepercayaan pada petuah dan benda-benda keramat gaib lainnya dan saat bersamaan juga mengikut pada rutinitas tergesa-gesa pada setiap pagi di jalan kota besar. Orang yang gegas mencari ”sesuatu”. Mencari yang hilang atau mencari yang belum ditemukan. Seolah mencari sesuatu pada entah
(Rumah atau sebentuk yang dianggap rumah)
*Dimuat pada rubrik CERMIN, penerbitan kampus identitas
Universitas Hasanuddin, No. 591/ Awal April 2004
Tuesday, June 13, 2006
Piala Dunia dan Nasionalisme di Sebuah Lorong
32 Negara berebut kulit bundar ini dalam Piala Dunia 2006. Ada cerita, di Jalan Titang Makassar. Warga lorong ini, sejak Piala Dunia 1998 lalu, (--meski rumah mereka terlihat sederhana dan tidak makmur) mengibarkan puluhan bendera berukuran besar dari Negara-negara peserta piala dunia sesuai dengan kesukaan mereka.
Di lorong sepanjang 4 ratus meter ini, ada Brasil, Jerman, Argentina, Inggris dan Arab Saudi, di depan rumah orang Bugis, Makassar, ataupun Toraja. Seperti kegembiraan yang tak mengenal batas. (--walaupun –entah siapa yang memulai, di lorong ini ada laranagan mengibarkan bendera Amerika Serikat ϑ ).
Dan saat tim kebanggaan mereka kalah, maka dengan lapang hati mereka, harus menurunkan bendera menjadi setengah tiang. Kenapa tak dicopot saja sekalian, namun menurut mereka; “ meskipun kalah, kawasan kita bersama harus tetap semarak dengan warna bendera yang kalah dan menang. Semuanya tetap mewarnai lorong ini”. Semuanya bergembira dengan kelapangan hati yang sederhana.
Ketika ada yang menyayangkan kenapa, tak ada warga yang mengibarkan bendera Indonesia, merah putih, sebagian warga –meski terlihat bimbang, cuma berucap; “ini musim Piala Dunia, bukan soal kemerdekaan…”
Di antero lain jagat ini tentu saja berlangsung cerita-cerita kecil kenduri tentang akbar olahraga yang bahkan mengalahkan Olimpiade yang memajang beragam cabang olahraga dan peserta dari berbagai Negara di dunia..
Piala dunia mungkin memang tentang musim yang tak tergantung pada cuaca. Tentang kegembiraan yang serentak. Mungkin ini tentang global village-nya Marshall Mc Luhan. Tapi yang jelas, tidak tentang nasionalisme…
Bencana dan Hati Kita
Belum lama, Jogja dan jawa tengah diguncang Gempa Tektonik dan membunuh lebih dari 5000 jiwa. –berarti memusnahkan populasi yang sejenis saya atau kau sebanyak kira-kira kalau dikumpul seluas beberapa lapangan sepakbola.
Banyak cerita. Ada yang menolak bantuan Negara asing, sambil berbicara di media kalau mereka bukan bangsa yang pemalas. Namun di saat bersamaan dan media yang sama; bercerita tentang negeri yang tertatih menegosiasi ulang utang luar negerinya.
Juga ada cerita miring tentang dana bantuan dari berbagai uluran tangan. Serta kisah-kisah sedih dan ajaib yang melatari kisah rubuhnya ribuan rumah dan terusirnya ibuan jiwa lainnya.
Aku teringat Aceh. Juga ingatan yang hampir sama sarkartiknya. –kecuali bahwa 26
Desember 2004 adalah hari ulangan tahun-ku yang ke-24, kini Tsunami akan mulai dilupakan. Kecuali kadang-kadang muncul cerita tentang musibah yang melanda sekitar 200 ribu jiwa ini.
Tapi kini kehidupan berjalan terus. Mereka mulai menghilang dari porsi pemberitaan di media-media. Setelah semua berangsur pulih, cerita dan juga ingatan mulai dialihkan ke malapetaka terbaru di negeri ini. Saat para korban kian berkutat dengan kehidupan yang terasa demikian keji, Televisi mulai mencari musibah terbaru untuk dijual kepada kita yang menonton semuanya sambil makan siang.
(tahu tidak, apa yang dipikirkan sebagian besar kami (--koresponden dan stringer stasiun tv, serta kacung rating lainnya) “ Sialan…Koresponden Jogja kaya lagi.”: Ada juga yang bilang sambil bersalaman : Selamat berpuasa..(--maksudnya liputan mereka di daerah ini akan sulit ditayangkan, karena prioritas bencana besar tersebut; jadi itu disebut “puasa”). Aneh kan cara sebagian wartawan melihat bencana. Mungkin bad news is a worse news..for our own humanity.
Hidup memang ajaib. Dan mungkin kita harus sering menghadapi dengan hati yang sarkartis.
Subscribe to:
Posts (Atom)