"sebuah tempat sebagai tepi dari semuanya. sebuah tempat pulang, menemukan diriku sendiri yang kutinggalkan.."
Monday, March 31, 2008
senja, burung layang, dan pulang
dari jendela maharaja, mampang, 30032008
hari sudah hampir selesai. langit kemerahan sudah mulai kelabu. dari jendela, kulihat sehimpun burung layang terbangberputar-putar mengitari liang sarang mereka, mencari jejak tempat mereka mula. mencari tempat mereka ingin mendekam melewati malam. berputar lalu satu-satu bersembunyi. gedung-gedung di kejauhan mulai menjelma siluet. sebagian dihiasi lampu satu-satu. di bawah, jajaran rumah yang sesak seperti padang kunang-kunang. (kendaraan di bawah, melintas. tergesa.)
aku teringat pasarcidu. di atas rumahku, sore yang serupa, burung layang yang terbang dengan pola yang hampir sama. mengitari jejak mereka tadi pagi, untuk kembali. burung layang, yang pulang setiap senja itu, selalu menjelaskan padaku tentang pulang. kembali, pada tepi. titik kembali dari siklus yang terus berputar. semacam jeda.
cuma senja rasanya disana masih menyimpan langit ungu kemerahan. setiap tempat, memang punya langitnya masing-masing. lansekap yang serasa hampir lengkap menjelaskan padaku tentang pulang.
::
senja jatuh. kuning menyepuh pepohonan beton kota yang menjulang. burung layang terbang berputar melintasi udara kelabu. setelah sekian himpun jarak, inilah batasnya jauh. baginya inilah tepi. kembali pada serentang sarang yang merengkuh-lindungi.
juga setelah semua titik yang sempat kurangkai, padamu aku ingin kembali. tapi tanganmu yang mengulur, itukah rentangan yang akan meredam semua luka dan bilur ini?
300308
juga setelah semua titik yang sempat kurangkai, padamu aku ingin kembali. tapi tanganmu yang mengulur, itukah rentangan yang akan meredam semua luka dan bilur ini?
300308
Friday, March 28, 2008
suatu malam
::seusai menyusuri sudut-sudut kota
suatu malam, setelah sekian malam lainnya menyusuri jalan ibukota; terkadang terbit juga rasa takjub melihat kota yang sementara terlelap. lampu jalan yang masih benderang, kuning seperti kekunang yang berbaris takzim menunggu datangnya pagi, sebelum mereka padam, lalu hilang dalam terik siang. juga gedung-gedung beton yang tegak seperti raksasa yang termangu menunggu. dan jalan yang lengang-lapang. aspal yang basah setelah dibasuh hujan. pohon-pohon yang menunduk.
terakhir aku bertanya, inikah kota yang sama? yang terlihat demikian menyesakkan saat siang meraja? kemana semua pergi? (di beberapa titik jalan tertentu, hanya ada perempuan yang menunggu mereka yang hendak melepas sepinya dengan pergumulan-pergumulan yang sebentar. juga mereka yang melintas menempuh jarak).
tapi malam di kota ini --sebagaimana semua lansekap yang diterangi merkuri, tetap tak tersedia sebutir pun bintang. di langit, kita tak bisa mengindera legam malam yang seperti telaga yang demikian dalam. juga tak bisa menunggu meteor yang luluh melintasi rentangan langit malam, mencipta gegaris "bintang jatuh", dan sesekali membuat permohonan. sesuatu yang--kita tahu tak masuk akal, tapi rasanya melegakan.
itulah mengapa aku, pada akhirnya aku tak bisa betul-betul menyukai kota.
suatu malam, setelah sekian malam lainnya menyusuri jalan ibukota; terkadang terbit juga rasa takjub melihat kota yang sementara terlelap. lampu jalan yang masih benderang, kuning seperti kekunang yang berbaris takzim menunggu datangnya pagi, sebelum mereka padam, lalu hilang dalam terik siang. juga gedung-gedung beton yang tegak seperti raksasa yang termangu menunggu. dan jalan yang lengang-lapang. aspal yang basah setelah dibasuh hujan. pohon-pohon yang menunduk.
terakhir aku bertanya, inikah kota yang sama? yang terlihat demikian menyesakkan saat siang meraja? kemana semua pergi? (di beberapa titik jalan tertentu, hanya ada perempuan yang menunggu mereka yang hendak melepas sepinya dengan pergumulan-pergumulan yang sebentar. juga mereka yang melintas menempuh jarak).
tapi malam di kota ini --sebagaimana semua lansekap yang diterangi merkuri, tetap tak tersedia sebutir pun bintang. di langit, kita tak bisa mengindera legam malam yang seperti telaga yang demikian dalam. juga tak bisa menunggu meteor yang luluh melintasi rentangan langit malam, mencipta gegaris "bintang jatuh", dan sesekali membuat permohonan. sesuatu yang--kita tahu tak masuk akal, tapi rasanya melegakan.
itulah mengapa aku, pada akhirnya aku tak bisa betul-betul menyukai kota.
Subscribe to:
Posts (Atom)