Thursday, April 12, 2007

:s
kalau saja kau tahu, betapa binar matamu yang kekanakan itu demikian kurindukan.
mata yang menajamkan bilah-bilah rindu didadaku.

adam air


kemarin sempat melintas di dekat pantai lojie, barru, sulawesi selatan, tempat serpihan pertama pesawat naas adam air ditemukan. banyak cerita di dalamnya saat turut terlibat dalam pencarian. letih, demam, tawa, dan certa yang diam-diam lindap di kenangan.
namun dimanakah 102 nyawa yang ada di dalam KI-574 itu? (bagaimanakah kini rupa mereka yang hilang itu) kata sebuah kabar, mereka ada di dasar laut perairan mejene-sulawesi barat, kedalaman 2000 meter dan tertimbun sedimen pasir. mereka dimakamkan oleh laut. dan para kerabat hanya bisa menabur bunga.

ah, betapa kita semua memang fana...

::a morning in pasarcidu

Roda-roda becak berputar, memantulkan kilau lampu yang mulai tenggelam ditelan cahaya pagi. Bergerak mengikutri kayuhan pedal sang pengayuh yang mengantar orang-orang mencari hidupnya. Seperti ia yang mengayuh roda rezekinya. Satu satu, kadang sepasang orang lalu-lalang melintasi jalan yang mulai berderak. Hidup mulai berdenyut. Langit mulai terang. Di timur matari mulai terang kemerahan, sinarnya mengintip dari atap-toko dan lorong-lorong di pasar cidu.

Uap kopi, mengapung di dalam ruang. Meja-meja mulaio diisi orang-orang yang singgah. Lelaki berjaket katun tebal, menaikkan kerah, mencoba melindungi lehernya dari gigitan angin pagi. Kelompok bapak-bapak berkopiah, seorang menyampirkan sorban di bahunya, menyeruput sisa kopi kental di gelasnya; membiarkan kafein menyesap di sela-sela sisa giginya yang telah aus digerus usia. Lainnya berbincang tentang malam, tentang bahagian hidup yang telah usai. Tentang riuh rendah hidup yang masih mengusik.

Jam berdetak pelan. Di luar lampu mulai satu per satu padam.

Seorang lelaki lainnya termenung, menghisap rook dengan gerakan tangan yang hampir mekanis, seperti gerakan yang tak disadarinya, tak diingininya. Ia hanya membiarkan asap keluar dari mulutnya. Di depannya, gelas kosong dengan warna kuning telur di dasarnya. Apalagi kalau bukan telur ayam kampung setengah matang, yang dipercaya sebagai makanan penambah gairah hidup. Telur unggas kental, yang kerap dipercaya pengganti tenaga seusai persetubuhan yang melelahkan. Kuning telur yang belum matang betul, seperti akan kembali melumasi sendi yang longgar.

Hari mulai lagi di pasar cidu. Tentu dengan warna yang tak pernah sama.
(suatu pagi, ketika tak bisa lelap hingga malam usai)

dogtag dan kenangan


“saya percaya, setiap peluru, memuat namanya sendiri..”
::ucapan seorang kawan ketika ia bercerita tentang orang-orang yang mati saat menjalankan tugas peliputan.

Kalung dog-tag. Kalung yang liontinnya bertuliskan nama, golongan darah, dan beberapa informasi penting lainnya. Kalung ini banyak digunakan tentara amerika saat Perang Dunia ke-2, sebagai penanda kalau saja pemiliknya ditemukan mati, agar identitas mereka bisa segera dilacak. Meski jasadnya tak utuh lagi, setidaknya liontin dari logam tipi situ bisa menunjuk nama, kesatuan, ataupun asal jasad itu. Biasanya setiap dog-tag, akan turut dikembalikan kepada keluarga sebagai tanda kalau pemilik kalung tersebut telah dimakamkan di tempat ia berpulang.

Saat memutuskan memakai ini, aku tersadar kadang benda ini demikian menakutkan. Betapa tidak, Kalung ini memang diharapkan bisa menjelaskan siapa diriku –beserta golongan darah yang kubutuhkan kalau aku terluka parah, dan tak mampu lagi menjelaskan “diriku sendiri”.

Meski di setiap “scene” dari hidup ini, nasib buruk bisa saja selalu menyertai, namun toh jikapun itu terjadi, aku hanya bisa berharap kalau benda ini utuh dan bisa sedikit membantu menjelaskan diri (atau jasadku). Jika aku mati dan hilang di sebuah tempat, kuharap kalung berusaha menjelaskan kepada yang menemukanku, kalau aku memiliki tempat yang kuingin; aku dipulangkan ke sana.

Dan mungkin semua yang mengenakan benda sejenis ini, semisal gelang baja, ataupun penanda lainnya, mungkin memiliki harapan yang serupa. Agar jasad ini bisa dikembalikan kepada keluarga, untuk dimakamkan dengan layak. Sebagai tempat berziarah. Tempat orang sesekali dating, dan sedikit mengurai kenangan. Meskipun itu hanyalah harapan dari aku, ataupun mereka yang masih hidup, sebab yang mati, tak lagi berhak berkehendak.