Dengan mata yang masih berat, aku duduk dalam kepungan asap, di sebuah tempat minum kopi, yang terselip di lorong belakang gudang tua --sisa-sisa kejayaan pasarcidu di tahun 60-an. Namanya Warung Kopi Daeng Naba, tapi entah sejak kapan warung ini ada.
Kini, dengan meja-meja yang mulai aus dimakan usia. Juga Dinding-dinding yang hitam, diasapi asap tembakau dan asap tungku kopi, setiap pagi warung ini menerima para lelaki-lelaki pasar cidu, yang datang. Lalu gelas demi gelas kopi-- yang lazim disebut sebagai "Kopi Tipis dan Kopi Tebal" mengalir dan mulai membasahi tenggorokan para pengunjung; ditingkahi obrolan. Hidup mulai dengan kopi.
Warung ini hanya berlantai tanah yang sebagian sempat dilapisi semen kasar, berdinding kayu, dengan meja kayu dan kursi plastik yang mungkin akan menakjubkan para eksekutif yang biasa menikmati kafein di Starbuck, Excelso ataupun tempat ngopi lainnya di mall-mall.
Namun, sepertinya dari sinilah sebagian besar lelaki di Pasar Cidu menyegarkan kembali harapannya. Atau menajamkan ingatan tentang kejadian di sekelilingnya, atau mungkin melepaskan sisa api di dadanya sebelum memulai hari dengan mata yang lebih nyala.
Seiring matahari yang beranjak naik, seolah menyorot dinding kusam gudang, di belakang Warung kopi milik Daeng Naba ini, para lelaki ini kemudian pulang. Sebuah Pagi dan Kopi. Seperti merayakan sebuah waktu dengan Dosa yang nikmat
"sebuah tempat sebagai tepi dari semuanya. sebuah tempat pulang, menemukan diriku sendiri yang kutinggalkan.."
Friday, April 28, 2006
Saturday, April 22, 2006
::apa kabar diri sendiri?
apa kabar diri sendiri, sore ini?
baik, bukan?
"mad, apapun yang kau hadapi, seberapa pun beratnya, ingatlah untuk tetap bernafas, dan yakinlah besok; semuanya akan baik-baik saja.. matahari, masih akan ada esok, dan kita masih harus menjalani hidup ini dengan keras kepala yang kita punya"
baik, bukan?
"mad, apapun yang kau hadapi, seberapa pun beratnya, ingatlah untuk tetap bernafas, dan yakinlah besok; semuanya akan baik-baik saja.. matahari, masih akan ada esok, dan kita masih harus menjalani hidup ini dengan keras kepala yang kita punya"
Saturday, April 01, 2006
Karnaval Jalan Kakatua
Aku ingin bercerita tentang Jalan Kakatua, di Makassar. Meski tak banyak yang menarik dari jalan ini kecuali setiap menjelang laga sepakbola PSM Makassar di stadion yang salah satu mulut pintu masuknya ada di jalan ini, maka Jalan Kakatua akan penuh dengan supporter yang tumpahruah dengan beraneka kostum , berwarna merah menyala.
Para supporter yang sebgaian besar masih belia ini tampak demikian hidup. Ada yang menggunakan topi bertanduk dan memenuhi wajahnya dengan coretan cat. Ada yang memegang pataka dan bendera berlambang tim sepakbola Makassar sambil bersorak-sorak, dan duduk gagah di sepeda motornya yang meraung-raung. Para supporter ini hampir serupa William Wallace dan pejuang Irlandia lainnya yang memegang tombak panjang dan menunggang kuda.
Hampir tak ada yang menggunakan helm. Semuanya mungkin percaya Tuhan akan melindungi kepala mereka dari aspal jalan ini. Yang jelas, polisi lalulintas yang biasanya akan dengan rakus memeras setiap pengendara yang tak memakai helm, kali ini, nampaknya membiarkan mereka menjadi raja barang sehari.
Ratusan supporter ini kemudian berkumpul di mulut pintu masuk stadion, menunggu mereka diizinkan masuk. Atau menunggu ada kemungkinan masuk di stadion tanpa harus membeli karcis. Sebagian akan memilih membayar beberapa ribu, dan dizinkan memanjat dari tali yang telah disediakan.
Yang jelas semua tumpah ruah, dan jalan ini demikian semarak seperti karnaval yang penuh warna. Setidaknya, para anakmuda yang sebagian berasal dari lorong-lorong sempit kota ini, bisa merasa gembira.
Juga merasakan kelapangan jalan yang menerima semua yang ingin berjalan di atasnya…meski ia orang gila dan gembel sekalipun.
Mungkin inilah karnaval Jalan Kakatua, yang selalu ada setiap menjelang adu sepak bola di stadion Andi Mattalatta (dulu namanya Stadion Mattoangin)
Para supporter yang sebgaian besar masih belia ini tampak demikian hidup. Ada yang menggunakan topi bertanduk dan memenuhi wajahnya dengan coretan cat. Ada yang memegang pataka dan bendera berlambang tim sepakbola Makassar sambil bersorak-sorak, dan duduk gagah di sepeda motornya yang meraung-raung. Para supporter ini hampir serupa William Wallace dan pejuang Irlandia lainnya yang memegang tombak panjang dan menunggang kuda.
Hampir tak ada yang menggunakan helm. Semuanya mungkin percaya Tuhan akan melindungi kepala mereka dari aspal jalan ini. Yang jelas, polisi lalulintas yang biasanya akan dengan rakus memeras setiap pengendara yang tak memakai helm, kali ini, nampaknya membiarkan mereka menjadi raja barang sehari.
Ratusan supporter ini kemudian berkumpul di mulut pintu masuk stadion, menunggu mereka diizinkan masuk. Atau menunggu ada kemungkinan masuk di stadion tanpa harus membeli karcis. Sebagian akan memilih membayar beberapa ribu, dan dizinkan memanjat dari tali yang telah disediakan.
Yang jelas semua tumpah ruah, dan jalan ini demikian semarak seperti karnaval yang penuh warna. Setidaknya, para anakmuda yang sebagian berasal dari lorong-lorong sempit kota ini, bisa merasa gembira.
Juga merasakan kelapangan jalan yang menerima semua yang ingin berjalan di atasnya…meski ia orang gila dan gembel sekalipun.
Mungkin inilah karnaval Jalan Kakatua, yang selalu ada setiap menjelang adu sepak bola di stadion Andi Mattalatta (dulu namanya Stadion Mattoangin)
Subscribe to:
Posts (Atom)