Lelaki itu menghisap dalam rokok kreteknya, lalu menghembuskan asapnya kuat –kuat. Seolah ingin melontarkan kalut yang menimbun dadanya bersama hamburan asap nikotin itu. Sekali, dua kali, tiga kali, sudah sejak beberapa jam lalu, lelaki itu diam di bawah lampu merkuri lima ratus watt, tersembunyi dalam remang malam di bawah atap kios yang sedari lepas magrib sudah tutup.
Wajahnya seperti lokomotif yang mendesis-desis dan mengeluarkan kepulan asap. Ia terus menghisap kreteknya, sambil sesekali menepuk lengannya, mengusir nyamuk yang menusuk kulitnya yang legam. Ia terus tenggelam dalam diamnya. Di sampingnya, menggeletak sebungkus rokok dan korek api. Rokok itu tinggal separuh, selebihnya sudah menjadi asap yang mengisi rongga dada lelaki itu, dan menguap ke langit malam. Ia terus bertahan dalam remang malam kios itu. Seperti patung budha yang diam diselubungi asap hio.
Sampai tiang listrik dari lorong seberang dipukul orang dua kali tanda malam sudah larut, barulah ia bergegas masuk ke dalam biliknya. Ruang sempit dari papan bekas peti buah yang dibangunnya tepat di atas selokan, yang lalu ditambalnya dengan lapisan plastik dari karung bekas gula. Sebelumnya, ia membakar dua lingkar obat nyamuk dan sekali lagi membakar sebatang kretek kemudian tenggelam dalam biliknya yang pasti akan segera dipenuhi asap.
Hampir tiap malam, begitulah yang rutin dilakukannya. Duduk di bawah lampu depan kios pasar yang sudah tutup. Merokok, dan diam termenung-menung memandang jalan. Sesekali menengadah mencari bulan atau melihat bintang. Dan selalu bergegas masuk setelah di kejauhan tiang listrik berdentang dua kali atau ia melihat anak-anak pasar yang tertatih mabuk mendekatinya.
***
Sebulan lalu, lelaki itu datang di pasar depan rumahku, entah ia berasal dari mana. Lelaki itu belum terlalu tua. Rambutnya belum sepenuhnya kelabu, beberapa uban bersembunyi di balik topi tua yang selalu dikenakannya. Wajahnya yang persegi tampak keras dengan hiasan kumis dan bekas cukuran janggut di dagunya. Pipinya cekung, karena keseringan menghisap kretek yang keras. Matanya coklat kemerahan. Mata yang memendam sungai keruh yang bergolak melawan hidup.
Setiap pagi, sebelum matahari meninggi, ia segera menenteng handuk, timba, dan celana pendeknya ke sumur di dalam lorong. Satu-satunya sumur umum di lorong dekat kiosnya. Dengan dada telanjang, ia mandi bersama anak-anak kecil yang juga tergesa untuk segera ke sekolah. Bergabung bersama perempuan-perempuan yang mencuci dan orang-orang yang sibuk mengambil air. Mereka menyemut di sekitar bundaran sumur kecil itu, seperti lelaron yang mengerumuni lampu.
Dan tak lama setelahnya, dengan rambut yang disisir ke belakang ia pun segera menggelar dagangannya, dan melebur dalam pasar yang sebentar kemudian dipenuhi hiruk pikuk jual-beli. Ia satu warna dari sekian banyak warna yang menyusun mozaik pasar itu. Bersama bau bacin, keringat, amis ikan, dan lumpur.
“Ikan...Ikan, kalau ibu tak percaya ini baru, boleh dikembalikan!!!”
“Tomatnya, Bu!!”
Ia turut memanggil pembeli seperti tukang becak, penjual ayam, penjual ikan, juga dengan bapak haji penjual beras yang mengundang pembeli.
Setelah siang, dan pasar usai, ia hanya berbaring di meja emperan bekas warung penjual nasi, membiarkan keranjang dagangannnya menggeletak begitu saja di emperan. Dan sorenya ia berjualan lagi menuggu orang-orang yang berbelanja untuk makan malam. Begitu mlam turun, ia pun mengemasi dagangannnya dan menutupnya dengan tenda.
Setiap hari. Rutin.
***
“Kampung Bapak di mana?” tanyaku di satu waktu ketika berteduh menunggu hujan reda.
Kuamati hujan yang tak kunjung reda, hujan ini membuatku tertahan untuk segera pulang ke rumah dan menikmati potongan ubi goreng yang selalu dibuat ibuku, jika hujan turun dan cuaca jadi dingin.
Ia menatapku sekilas, lalu menghisap kreteknya, kretek yang selalu sama, “Ah, kau. Kau suka juga rupanya dengan pertanyaan itu,.” sergahnya kemudian dengan bahasa Indonesia, namun masih terselip dialek daerah yang tak kukenali. Lalu ia terdiam, tidak menatap wajahku yang dipenuhi ketidakmengertian. Ia termenung, seperti menghitung hujan yang bertik-tik mencipta bunyi yang ritmik di atap seng emperan kios itu. Diam, hanya diisi dengan bunyi angin yang mengantar tempias titik air. Angin yang bertiup juga menghapus asap yang keluar dari mulut kami. Ia menatapku lagi, lalu menoleh ke arah jalan, ke arah hujan yang serupa barisan titik-titik air, bersama dingin yang menyapu wajah kami.
“Betulkah kampung halaman itu ada?”
“Mmmm. Ya, kukira..”jawabku tergagap.
“He eh..” Ia terkekeh, meski kudengar hembusan nafasnya lebih mirip keluh yang dalam.
“Kampung halaman itu sebenarnya tak ada, Nak. Dimanapun kita berada itulah kampung halaman kita. Tanah yang kita pijak, itulah kampung halaman kita. Tempat kita bertemu, dan berbuat pada orang-orang yang ada di dekat kita..” ia terus berbicara, dengan mata menerawang.
“Tapi kita kan seperti ikan, yang pernah hidup dalam satu air. Melebur jadi orang yang memiliki kebiasaan yang sama dengan orang-orang sekitar kita” aku bertanya lagi, meski tak sepenuhnya mengerti dengan yang kutanyakan.
“Kita memang lahir di satu tempat, belajar bicara, dan menyerap kebiasaan orang sekeliling kita dan seperti memiliki satu keluarga besar. Jadi kalau kita terusir memang sakit, karena ada bagian diri kita yang terampas dari situ.” ujarnya. “Tapi barangkali itu hanya soal kenangan, he eh … “ gumamnya menatap lurus ke arah jalan yang dipenuhi genangan air.
“Kita ingin kepastian, untuk kenangan, he eh. Kalau kita terusir; itulah yang terampas, dan itu yang kukira lebih sakit” ia terus berbicara, seperti berbicara pada angin. Ada sendu yang coba ia sembunyikan. Sejurus kemudian ia diam, memperhatikan anak-anak yang berlarian menembus hujan yag telah jadi gerimis.
“Bapak tidak pernah kangen? Sama anak bapak, atau mungkin keluarga ....”
Ia hanya diam.
“Bapak tidak pernah pulang? Kalau lebaran atau ada acara keluarga.” tanyaku lagi.
“Bapak mau pulang ke mana? Mereka juga punya kehidupan sendiri. Sesudah berkali-kali terusir, lama-lama bapak pikir, kampung halaman tempat kita harus pulang bukan di sini.
Tapi jauh, bahkan sangat jauh. Mungkin itu yang dinamakan akhirat, tempat tanah yang dijanjikan dan kita tak pernah lagi terusir. Tapi waktunya juga bukan kita yang memilih. dalam hidup ini. Mudah-mudahan Tuhan tidak mengusir bapak.” Ia menerawang, menatap keajuhan. Tiba-tiba mata coklatnya, tampak begitu letih. Ia memandang langit, seperti mencari kampung halaman di gelapnya langit.
***
“Apiiii”. “Api...”
Suara sirene meraung-raung. Suara orang yang berteriak memenuhi udara yang memerah.
Dini hari, dan teriakan-teriakan gaduh melingkungku dalam panik. Aku segera berlari keluar dan melihat jajaran kios di dekat rumahku sudah dilalap api. Semua orang yang tinggal di rumahku tergesa mengangkuti barang keluar rumah sambil berteriak. Langit seperti terbakar, dan sepertinya tak satupun kios yang luput dari pagar api. Asap merah kehitaman memenuhi angkasa mengantar berita duka pada langit. Jejeran kios itu sudah menjadi kerangka bara menyala dan runtuh ke selokan membentuk sungai api yang menyala-nyala .
Semua berlarian dengan panik menyiramkan air. Di sudut-sudut, ibu-ibu berpelukan dan bertangisan lirih, tenggelam dalam sesenggukan puttus asa.
Menjelang pagi, separuh pasar itu punah. Aku mencari Pak tua yang tak kutahu siapa namanya itu. Mungkin ia ada di antara orang- orang yang berjejer disepanjang jalan, di antara onggokan barang yang sempat diselamatkan, tapi ia tak ada. Mungkin ia sudah pulang. Pulang ke tempat dimana tak ada penggusuran paksa, pembakaran, dan operasi yustisi untuk menangkapi orang-orang yang tak memegang selembar kartu KTP; yang barangkali seperti stempel di pantat sapi, sekedar menjelaskan ia dimiliki oleh kelurahan mana. Tapi kenapa ia tak pamit.*
Pasar Cidu, Pebruari 2002