*sekedar Kado pernikahan
Menulis tentang Abdul Rahman Farisi alias Boge, menulis tentang kawan lama, menulis tentang rekan yang baik. Kawan baik, lalu apakah selesai di situ? Apakah sepotong kata klise bisa menyimpul sosok yang –secara ukuran kasat mata memang sedikit besar disbanding beberapa kawan dekat lainnya yang –di masa muda dulu, masih kurang makan. Tentu saja tidak. Namun izinkanlah saya sedikit bercerita.
Ia kawan yang baik, tentusaja. Saya tidak pernah menemukan ia marah, meski postur seperti itu bagi saya yang besar di lingkungan pasar, adalah modal yang cukup untuk menjadi jumawa dan bertindak sebagai aggressor.
Saya mula mengenalnya saat Opspek Fakultas Ekonomi di sekiraAgustus 1998. Di sore yang kering dan putusasa, saat matahari mulai gelincir ke barat, para senior menemukansosok yang bisa membuat mereka lebih gembira, dan sekaligus menyatukan segala penderitaan kami. Ya, mereka menemukan Abdul-RahmanFarisi, pemuda tambun dengan celana lebar, dan baju polo-shirt berhias garis. Lelaki kelahiran 1 Juli, di kampong halamannya di selatan Sulawesi Tenggara, ia dipanggil La Boge. Meski penggunaaan ‘La’ untuk nama di Bugis-Makassar juga lazim digunakan, namun untuk lebih singkat, dan menghindarkannya menjadi asosiasi atau diduga sebagai orang Prancis atau Spanyol (yang bisa jadi membingungkan orang di kemudian hari) Maka jadilah ia cukup dipanggil Boge.
Selain itu, bentuk cukur rambut kami sebagai mahasiswa baru --yang tertindas—diharuskan Mohawk, dengan mencukur habis kedua sisinya membuat ia menemukan nama lain. Sore itu ia juga dilantik menjadi Godzilla (mengacu tentang monster yang mengacaukan kota New York, yang sedang diputar di bioskop pertengahan tahun 1998). Siluet matahari senja memastikan ia sebagai sosok yang setengah menakutkan, setengah misterius. Tapi itu hanya di sore itu.
Dan kisah itupun terus berjalan. Makin lama makin menebal. Di awal di kampus, Boge memilih aktif di perkumpulan Mahasiswa Pencinta Mushalla (semacam Remaja Masjid) di Fakultas Ekonomi. Saya tentu saja tak tahu motif utama Boge memilih aktif di lembaga penggiat mushalla sebagai organisasi pertamanya di kampus, mungkin memang didasari karena dia memang lelaki yang beriman. Di masa awal di kampus, sosok Boge juga kukenali sebagai kawan yang berani berteriak memegang mikrofon saat kami turut serta menduduki Bandara Internasional Hasanuddin. Perbuatan yang membuat kami diganjar gas air mata dan pentungan petugas, bahkan saat kami belum menyelesaikan semester pertama. Keberanian yang umumnya tak kami punyai, sebagai anak muda yang bingung memasuki dunia yang bergerak begitu cepat. Tapi ia berani dan berbeda.
Selebihnya kami seperti mencoba mencari bentuk lain di wadah yang berbeda. Mulai di lembaga Senat Mahasiswa hingga Boge melanlang buana ke tempat yang jauh. Saya lebih banyak di kampus, namun dalam jarak kami tetap berkawan hingga jauh di kemudian hari.
Sepanjang rentang itu, saya banyak lebih mengenal Boge melalui berbagai tulisan yang dibuat khusus untuk atau tentangnya. Baik oleh kawan Joko Hendarto, hingga komentar yang dalam-bijak-bestari dari Abdullah Sanusi. Ia telah di ibukota, dan berakhir pekan dengan badminton dan serunya politik di Senayan. Sesekali kami bertemu di meja kopi. Ia tak berubah menurutku; ramah, murah senyum dan terlihat bahagia. Kadang tentang jazz dan tea-time (kadang ia pernah membayangkan sebagai bangsawan Inggris yang menikmati rutinitas menikmati teh –meski pada dasarnya ia adalah salah satu bangsawan Muna, satu di antara sedikit yang terpilih)
Dan kinilah dia, mengabarkan akan meminang seseorang yang akan mengawaninya meniti jembatan kehidupan yang tak lagi bersendiri. Dunia yang akan lebih kaya dan berwarna dari hidupnya yang berisi politik, badminton dan sedikit kopi. Malam yang sedianya akan menjadi rahasia hingga Boge menyampaikannya sendiri, batal menjadi Rahasia (denganhuruf R). Rencana yang saya yakin disusun rapi, bocor kepada kawan-kawan yang tetap memantau Boge dari jauh. Dan kami pun bisa berbahagia lebih awal dari seharusnya. Saya yakin ada yang menghela nafas panjang dengan rasa syukur yang buncah sembari membatin –atau mungkin berseru; “Finally..” that’s oke. Itu tentu bukan karena apa-apa, selain rasa syukur yang telah demikian lama menanti kabar bahagia.
Pada pertemuan setelah ia melamar perempuan yang dipilihnya, kami sempat bertemu; dan cahaya wajahnya sangat berbeda. Kulihat ia bagai remaja yang merona-saat menerima telepon dan menjauh dariku yang sengaja ia datangi untukbertemu. Ah, mungkin itulah pengaruh Cinta..
Akhir kalam, tak ingin saya berdoa yang rumit kepada pasangan yang diberkati itu; seperti selamat menempuh hidup baru, semoga langgeng, sakinah bla..bla.. bla.. saya takut pasangan ini jadi khawatir jika terlalu banyak harapan dalam doa yang dititipkan pada mereka. Saya hanya bisa menyampaikan pesan yang tak banyak; SelamatBersenang-Senang..
Ya! Hanya itu agar senang senantiasa..dan rasa senang itulah yang menurut saya akan menyelesaikan banyak hal termasuk krisis, konflik atau ketidak-sefahaman akan mudah selesai jika didasari keinginan mencapai kesenangan.. –untukhal yang lebihreligius, siapalah saya ini yang berani menitip khutbah pada kalian?
Seorang senior yang telah lama menikah pernah berkata kepada saya; "maaf tidak bisa memberi nasehat, perkawinan kami pun belum selesai.".. selama semua berjalan, hanya mereka yang menjalaninya yang memahami bagaimana menyelesaikan semua aral yang melintang, yang bisa jadi menghalangi rasa senang mereka.
SelamatMenikah, Kawan. Sekali lagi selamat bersenang-senang!