tadi petang, dari siaran berita di tivi, seorang siswa smp yang baru saja akan naik kelas 3, sampai harus melacurkan diri di lokalisasi dekat rumahnya, --dan mengaku, untuk bisa bayar tunggakan sekolahnya 100 ribu rupiah. aku terhenyak; sedemkian terdesakkah Arum (namanya tentu saja disamarkan) hingga harus menukar selangkangan dengan janji-janji manis hasil pendidikan yang akan memanusiakan manusia? jika benar; mungkin ia terdesak. tapi dimana semua yang seharusnya meyakinkan anak-anak negeri ini untuk bisa menempuh sekolah tanpa harus menjual semua milik mereka, termasuk selangkangan? (aku tak bisa meneruskan mendengar berita yang demikian merisaukan itu)
demikian buramkah wajah negeri yang gembar-gembor mengalokasikan 20 persen dari anggaran belanja harus untuk pendidikan?
demikian nistakah kita semua. anak negeri harus menjual semua yang mereka miliki hanya untuk tetap bersekolah? masyaallah negeri ini. inilah potret kita. potret negeri yang demikian menyedihkan.
jika besok, kau generasi yang tumbuh setelah kami semua musnah; maafkan aku. maafkan kami semua.
"sebuah tempat sebagai tepi dari semuanya. sebuah tempat pulang, menemukan diriku sendiri yang kutinggalkan.."
Friday, July 14, 2006
Monday, July 03, 2006
Di Pasar Cidu ada pesta.
Di pasar cidu ada pesta, pestanya meriah sekali. Datang tak dijemput pulang tak diantar.
Ada salah satu warga yang menikah, dan satu-satunya ruas jalan di Pasar Cidu pun ditutup untuk disulap sebagai ruang resepsi (ruang tambahan lainnya, tempat pelaminan dipasang adalah jembatan di atas kanal besar yang menghubungkan rumah dengan jalan). Setelah upacara salam-salaman selesai, pengantin pun masuk ke dalam rumah. Dan pesta sebenarnya baru dimulai.
(sebenarnya ada bau tuak, entah dari mulut siapa)
3 buah lampu 100 watt menjadi satu-satunya lighting, yang kuyakin dipasang dengan me-ngelos-kan meteran listrik sementara, agar bisa mengakses ratusan watt tanpa terbaca meteran.
Tahu kan elektone? Sejenis organ yang bisa berbagai jenis alat musik. Itulah band pengiringnya. Entah siapa yang memulai, dan Mamanya Andi meraih mic, dan mulai menyanyikan lagu lama berbahasa bugis. Dan kami semua bersorak, bersiul, bertepuk tangan.
Dan yang menarik menurutku, beberapa anak muda yang dandanannya agak mirip Punk –dengan rambut pirang, dan tindik di beberapa bagian tubuh, malah ikut menari mengikuti irama lagu bugis. Meski kuyakin musik kesukaan mereka adalah lagu-lagu baru yang bernada keras, atau paling tidak bukan yang berbahasa daerah, tapi ternyata mereka menari dan bertepuk tangan. Meski mereka memilih dandanan yang mereka anggap modern, namun toh yang “lokal” dan “tradisional” rupanya tetap ada diam-diam di sudut ingatan mereka.
(penyanyi band-elektone, nampak sibuk memperbaiki dandanannya. Tak terusik.)
Ganti berganti, semua ambil bagian menyanyi. Lalu si Ucuf menyanyi dangdut. Disusul Daeng sido, penjual ikan yang jika berbau arak, itu berarti ikannya tidak laku, dan ia pun menghabiskan sisa ikannya bersama arak.
(di kejauhan, bapak tukang pungut retribusi pasar, yang berkumis tebal melintang, duduk di atas meja ikan yang menjadi blokade jalan. Tersenyum-senyum)
Kursi plastik beraneka model berwarna merah berjejalan dipenuhi warga. Banyak yang datang dengan sandal seadanya. Beberapa di antaranya masih memakai riasan sisa acara sebelumnya.
Dan semuanya menari, menyanyi dan bertepuk tangan –juga si pirang. Semua rasanya menyatu, tertawa, menari, dan bertepuk tangan. Pesta dengan kesederhanaan yang mungkin tak terbayangkan. Tapi kupikir dengan itulah mereka turut merayakan kebahagiaan warganya, yang mungkin akan segera dibawa oleh suaminya dan nasib yang lainnya.
Kutemukan beberapa teman sepermainan yang telah merantau, yang pulang sekedar untuk menghormati pesta ini. Lalu kami berbincang tentang orang-orang yang kami kenal namun tak bisa datang. Dengan senyum masih terkembang asap tembakau menari-nari di antara kami.
Di pesta di pasar cidu. Semua datang tak diantar, lalu setelah lelah—mungkin ada yang mabuk dengan arak murahan, semuanya pun pulang tanpa diantar. Setelah pesta hanya bau amis dan bacin khas pasar yang tinggal.
28 Juni 2006, malam
Ada salah satu warga yang menikah, dan satu-satunya ruas jalan di Pasar Cidu pun ditutup untuk disulap sebagai ruang resepsi (ruang tambahan lainnya, tempat pelaminan dipasang adalah jembatan di atas kanal besar yang menghubungkan rumah dengan jalan). Setelah upacara salam-salaman selesai, pengantin pun masuk ke dalam rumah. Dan pesta sebenarnya baru dimulai.
(sebenarnya ada bau tuak, entah dari mulut siapa)
3 buah lampu 100 watt menjadi satu-satunya lighting, yang kuyakin dipasang dengan me-ngelos-kan meteran listrik sementara, agar bisa mengakses ratusan watt tanpa terbaca meteran.
Tahu kan elektone? Sejenis organ yang bisa berbagai jenis alat musik. Itulah band pengiringnya. Entah siapa yang memulai, dan Mamanya Andi meraih mic, dan mulai menyanyikan lagu lama berbahasa bugis. Dan kami semua bersorak, bersiul, bertepuk tangan.
Dan yang menarik menurutku, beberapa anak muda yang dandanannya agak mirip Punk –dengan rambut pirang, dan tindik di beberapa bagian tubuh, malah ikut menari mengikuti irama lagu bugis. Meski kuyakin musik kesukaan mereka adalah lagu-lagu baru yang bernada keras, atau paling tidak bukan yang berbahasa daerah, tapi ternyata mereka menari dan bertepuk tangan. Meski mereka memilih dandanan yang mereka anggap modern, namun toh yang “lokal” dan “tradisional” rupanya tetap ada diam-diam di sudut ingatan mereka.
(penyanyi band-elektone, nampak sibuk memperbaiki dandanannya. Tak terusik.)
Ganti berganti, semua ambil bagian menyanyi. Lalu si Ucuf menyanyi dangdut. Disusul Daeng sido, penjual ikan yang jika berbau arak, itu berarti ikannya tidak laku, dan ia pun menghabiskan sisa ikannya bersama arak.
(di kejauhan, bapak tukang pungut retribusi pasar, yang berkumis tebal melintang, duduk di atas meja ikan yang menjadi blokade jalan. Tersenyum-senyum)
Kursi plastik beraneka model berwarna merah berjejalan dipenuhi warga. Banyak yang datang dengan sandal seadanya. Beberapa di antaranya masih memakai riasan sisa acara sebelumnya.
Dan semuanya menari, menyanyi dan bertepuk tangan –juga si pirang. Semua rasanya menyatu, tertawa, menari, dan bertepuk tangan. Pesta dengan kesederhanaan yang mungkin tak terbayangkan. Tapi kupikir dengan itulah mereka turut merayakan kebahagiaan warganya, yang mungkin akan segera dibawa oleh suaminya dan nasib yang lainnya.
Kutemukan beberapa teman sepermainan yang telah merantau, yang pulang sekedar untuk menghormati pesta ini. Lalu kami berbincang tentang orang-orang yang kami kenal namun tak bisa datang. Dengan senyum masih terkembang asap tembakau menari-nari di antara kami.
Di pesta di pasar cidu. Semua datang tak diantar, lalu setelah lelah—mungkin ada yang mabuk dengan arak murahan, semuanya pun pulang tanpa diantar. Setelah pesta hanya bau amis dan bacin khas pasar yang tinggal.
28 Juni 2006, malam
Subscribe to:
Posts (Atom)