"sebuah tempat sebagai tepi dari semuanya. sebuah tempat pulang, menemukan diriku sendiri yang kutinggalkan.."
Sunday, August 14, 2005
senyap
Kau yang lelap dalam senyap malam; adakah kau tahu malam ini;aku masih terjaga mengindera malam dalam perih?
Kehilangan Rumah
Sekali lagi, aku harus kehilangan rumah. Tempatku pernah nyaman bernaung. Mungkin aku harus kembali melanjutkan perjalanan. Menempuh jarak menuju "Rumah";Meski hanya menduga jejak. Menuju sesuatu yang berkenan memanggilku singgah, meski kelak suatu waktu, aku harus lagi kehilangannya.
Mm, mungkin perjalanan menuju rumah, seperti perjalanan menuju Senja. Menuju sesuatu yang kian dekat, kian tak teraih. Entah.
Mm, mungkin perjalanan menuju rumah, seperti perjalanan menuju Senja. Menuju sesuatu yang kian dekat, kian tak teraih. Entah.
sedikit tentang "merdeka"
"merdeka!!!!"
Aku tak hendak berdebat tentang emosi yang meletup ketika para pejuang berteriak merdeka di tiap pertempuran...juga bukan tentang "merdeka" yang diteriakkan dan dicoretkan di gerbong-gerbong kereta selepas proklamasi dibacakan presiden Soekarno,17 agustus 1945 silam.
Atau "merdeka" yang kian rumit didefinisikan belakangan ini. Merdeka yang kemudian menyebut bebas dari intervensi lembaga asing bentukan Bretton Woods; IMF, atau neo-imprealisme lewat budaya, ekonomi atau apa pun.
Menjadi warga, menjadi bagian dari bangunan kekerabatan yang besar, tapi imajiner. Rasanya Menjadi anak bangsa, seperti hanya pada sepotong kalimat sinis; bahwa kita hanya menjadi warga Indonesia saat menjelang batas waktu pembayaran Pajak, dan saat menjelang Pemilu. entahlah.
aku ingin bercerita tentang sekilas perasaan saat menyusuri lorong menuju rumahku di pasar cidu. Sekilas perasaan "sebagai warga sebuah bangsa" saat berjalan menyusur lorong yang dipenuhi dengan bentangan ratusan bendera kecil yang diuntai dengan tali rafia, lalu diikat di tiang-tiang listrik terpasang di atas jalan, ibarat kanopi. Terlihat cantik disinari lampu merkuri. Namun tetap terasa rawan rasanya.
Meski jauh di dasar hati; serasa ada yang tertusuk, tapi bagiku inilah rasanya menjadi warga sebuah bangsa; ketika diam-diam turut tersenyum melihat bendera kecil menari-nari di bawah lampu..
Mungkin rasa "merdeka" di dini hari itu; hanya sebagai senyum simpul saat melihat bendera kecil tersebut menari-nari dalam angin dini hari yang dingin, meski sadar, esok ia akan kusam, putus lalu terlupakan.
Ah, "merdeka" andai saja kata itu tak pernah ada. Atau tak perlu ada?
(Maafkan aku, Bapak Bangsa. Mungkin aku murtad)
Aku tak hendak berdebat tentang emosi yang meletup ketika para pejuang berteriak merdeka di tiap pertempuran...juga bukan tentang "merdeka" yang diteriakkan dan dicoretkan di gerbong-gerbong kereta selepas proklamasi dibacakan presiden Soekarno,17 agustus 1945 silam.
Atau "merdeka" yang kian rumit didefinisikan belakangan ini. Merdeka yang kemudian menyebut bebas dari intervensi lembaga asing bentukan Bretton Woods; IMF, atau neo-imprealisme lewat budaya, ekonomi atau apa pun.
Menjadi warga, menjadi bagian dari bangunan kekerabatan yang besar, tapi imajiner. Rasanya Menjadi anak bangsa, seperti hanya pada sepotong kalimat sinis; bahwa kita hanya menjadi warga Indonesia saat menjelang batas waktu pembayaran Pajak, dan saat menjelang Pemilu. entahlah.
aku ingin bercerita tentang sekilas perasaan saat menyusuri lorong menuju rumahku di pasar cidu. Sekilas perasaan "sebagai warga sebuah bangsa" saat berjalan menyusur lorong yang dipenuhi dengan bentangan ratusan bendera kecil yang diuntai dengan tali rafia, lalu diikat di tiang-tiang listrik terpasang di atas jalan, ibarat kanopi. Terlihat cantik disinari lampu merkuri. Namun tetap terasa rawan rasanya.
Meski jauh di dasar hati; serasa ada yang tertusuk, tapi bagiku inilah rasanya menjadi warga sebuah bangsa; ketika diam-diam turut tersenyum melihat bendera kecil menari-nari di bawah lampu..
Mungkin rasa "merdeka" di dini hari itu; hanya sebagai senyum simpul saat melihat bendera kecil tersebut menari-nari dalam angin dini hari yang dingin, meski sadar, esok ia akan kusam, putus lalu terlupakan.
Ah, "merdeka" andai saja kata itu tak pernah ada. Atau tak perlu ada?
(Maafkan aku, Bapak Bangsa. Mungkin aku murtad)
Subscribe to:
Posts (Atom)