Saturday, November 25, 2006

welcome statue

selamat datang para peziarah. jenguklah terang kota ini.
bawalah semua mimpi yang kalian punya. mari menari.

selalu kulihat kalian tiba dengan sayap-sayap yang sukacita. sambil bersenandung, terbang mengitar pada kuning lelampu. berharap menukar resah yang kalian bawa dengan sebatang-dua batang harapan.

saat kulihat sebagian jatuh dengan sayap remuk. juga yang mati dalam kuyup hujan.
lalu sebagian terbang menyusuri gulita, ketika lampu kembali padam.

maafkan aku tak bisa lagi bersedih. aku hanya beku, dengan tangan membuka dan senyum yang kekal.

datanglah-datang para peziarah, betapa aku merindukanmu selalu.
selamat datang.

jakarta, 2006

Harapan

“Terkadang harapan kita, bisa jadi hanya kekosongan. Tapi kita terus memburunya tanpa sadar…”

Penggalan kata di atas sebenarnya ingin kukatakan kepada seseorang, tapi kuurungkan hanya karena kutahu mungkin saja saya termasuk di antaranya; mengejar sesuatu yang kukira nyata. Seperti mengejar fatamorgana.

Ia pamanku, seorang yang kutemui hanya setiap aku berada di kota ini. Seseorang yang diusianya yang ke-56 masih membujang. Entah sudah berapa lama ia disini, tapi tiap kali bertemu, ia hanya berbicara tentang sesuatu yang sebenarnya tak kupahami benar.

Kali kemarin terakhir aku bertemu, ia hanya bercerita; kalau ia sementara mengurus uang belasan peti dolar brazil dari zaman orde-lama, yang katanya akan dibeli seseorang yang entah. Barang ini, konon dalah hadiah buat Bung Karno (BK), di masa jayanya dulu, dan masih dikejar orang-orang tanpa penjelasan rinci mengapa mata uang lama tersebut masih dikejar.

(Aku hanya teringat Dana Revolusi simpanan BK yang banyak meninabobokan orang-orang yang ingin cepat kaya. Juga teringat orang-orang yang bermimpi akan nasib baik dan cepat kaya yang disediakan kehidupan ini, namun dihempas kenyataan.)

Sebelumnya, setia kali bersua, ia hanya bercerita tentang rencana ataupun proyek yang seperti sedang digelutinya. Tentang mimpi-mimpi bahwa nasib yang akan berubah cepat jika saja waktu berpihak dan ia tak perlu lagi berpindah dari satu tempat kawan ke tempat kawannya yang lain.

Setiap kali aku berbicara tentang pulang, Ia mengelak, seraya menyebut sekian rencana yang akan dilakukannya. Aku selalu bisa menebaknya, selalu berkenaan dengan benda-benda masa lalu, atau kehidupan yang gilang gemilang kalau saja nasib baik itu terjadi. Ia akan selalu menutupnya dengan, “ doakan saja, supaya ini cepat terlaksana..”. aku dengan putus asa, mungkin merapal “amin..”, meski seperti merapal kutukan akan keputus-asaanku sendiri karena tak mampu membujuknya.

Ia, kata pamanku itu, meski kudengar suara itu terdengar letih, ingin kembali ke kampung halaman kami dan menegakkan nama besar Kakek, yang adalah ayahnya –yang dulu adalah salah satu Tuan, dari 3 Tuan dimasanya. Nama besar yang menurutku berarti Kekayaan, Nama yang disebut handai taulan dengan takjub, dan mungkin dengan decak kagum. Dan ia mugnkin baru akan menikah dengan pesta yang meriah dan disesaki semua kerabat.

Jika kusebutkan tentang kehidupan yang tetap sederhana, tanpa harus dikepung mimpi yang muluk, ia hanya bilang kampung tempatku dan sebagian besar kerabat menetap, tidak menyediakan mimpi yang bisa dengan cepat menyata. Ia bilang; “hanya di kota ini, semua itu mungkin…”
Kalau saja ia tahu berapa ratus ribu harapan yang luluh lantak di kota ini.

Kadang kupikir ia hanya mengejar labirin ilusi yang menyelubungi dirinya dan membuatnya tetap berputar-putar, tanpa pernah kemana-mana. Tapi mungkin saja aku atau siapapun bias saja menjadi ia kan?

Mampang, Jakarta

Wednesday, November 22, 2006

Bush dan Negeriku

Dua kali memasuki Kota Bogor, saat kedatangan Bush; seperti melihat kenyataan kalau negeri ini memang memilukan.

Menjelang kedatangan presiden yang senang perang itu, ratusan tentara berseragan loreng menyebar mengelilingi kebun raya. Siaga mengokang senjata. Juga ratusan orang berseragam lainnya parker di sekitar persimpangan jalan yang sebelumnya sudah diblokir dengan kawat duri.

Warga Kota Hujan, yang biasanya tenang, dipaksa untuk berhenti melangsungkan kehidupan kota yang biasanya semarak dengan asinan, talas, dan hari yang semarak. Selama 2 hari kehidupan warga berhenti, meski biaya penyambutan yang dirogoh Pemerintah RI 6 miliar, namun kerugian ditaksir hampir mencapai 100 miliar rupiah, ditambah biaya yang tak terhitung lainnya.

Meski hampir diseluruh negeri, presiden yang dengan pandir mengaku mengemban titah tuhannya ini untuk meneruskan perang, disambut aksi protes, toh ia datang melenggang, dan ia disambut seperti messiah yang membawa peta jalan terang.

Dan dengan hati yang perih, mungkin inilah negeriku.